Mata Air Pikiran Mengalir Membentuk Kenyataan

  • Opini Kompas | IMF dan Malapraktik Diplomasi

    Jusman Dalle | Opini Harian Kompas Pemerintah memastikan bakal memberikan bantuan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9,4 triliun. Terkait komitmen Indonesia ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, IMF diharapkan tidak hanya menggunakan pinjaman ini untuk membantu negara-negara di Eropa, tetapi juga negara-negara di Asia dan Afrika.

  • Opini Republika | Urgensi Badan Haji

    Jusman Dalle - Opini Republika | Untuk mencapai tujuan pertama yaitu manfaat transformasi manajemen, Badan Haji yang nantinya bakal berfungsi sebagai eksekutor saja, merampingkan organisasi serta secara otomatis memotong rantai birokrasi bertingkat dan kompleks yang melibatkan banyak institusi. Badan Haji juga mengakhiri rezim monopoli kewenangan sebab Kemenag tinggal memegang satu fungsi, yaitu sebagai regulator sementara Komisi VIII DPR yang membawahi persoalan haji, berfungsi sebagai evaluator.

  • Profil Jusman Dalle

    Jusman juga menekuni digital marketing. Merancang dan membuat konten digital berupa tulisan (copywriter), visual dan audio visual untuk sejumlah perusahaan dan institusi skala nasional. Antara lain Partai Gerindra, Kedutaan Besar Jerman, Taksi Ekspress, Bank BTN, PLN, XL Axiata, Agung Podomoro Land, True Money, dll.

  • Rawan Pangan Negeri Pertanian

    Jusman Dalle - Opini Koran Tempo | Program revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan sejak 2005 masih sebatas lip service. Infrastruktur irigasi rusak parah, jalanan di desa-desa basis pertanian pun belum memadai. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 9,25 juta hektare juga baru sebatas “angin surga”.

5.10.17

Opini Republika | Bangsa Paling Dermawan

Oleh Jusman Dalle
(Terbit di Kolom Opini Republika Edisi Rabu 4 Oktober 2017)

Membanggakan, Indonesia kembali masuk dalam jajaran negara paling dermawan di dunia. Dalam daftar World Giving Index 2017 yang baru saja dirilis Charities Aid Foundation (CAF), Indonesia menempati posisi kedua. Di atas Indonesia, ada Myanmar yang mengisi posisi pertama. Tetangga jauh yang justru merobohkan makna kedermawanan akibat tragedi kemanusiaan Rohingya.
Bila berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan sebagai tonggak kedermawanan (filantropi), maka Myanmar tentu tak layak menyandang predikat dermawan. Budaya berderma Myanmar, boleh saja kuat. Tapi pengusiran terhadap Rohingya yang jadi sorotan dunia, mencederai nilai-nilai kedermawanan. Berderma, semestinya menegakkan kemanusiaan, menyulam jalinan kebersamaan. Bukan menistakan seperti yang terjadi terhadap Rohingnya.
Dalam sub kategori kedermawanan mengorbankan waktu untuk membantu sesama, Indonesia berada di posisi puncak. Menungguli semua negara di dunia, masyarakat Indonesia paling aktif mendedikasikan waktu demi membantu sesama. Ini artinya, kedermawanan masyarakat Indonesia juga disertai aksi nyata turun ke lapangan. Membersamai dan merasakan apa yang dialami oleh mereka yang membutuhkan uluran tangan.
Eskalasi Filantropi
Eskalasi gelombang filantropi di negeri ini memang memberikan optimisme. Meski belum ada data valid mengenai jumlah lembaga filantropi yang beroperasi di Indonesia, tapi kita bisa menyaksikan sekaligus merasakan betapa masif inisiatif gerakan kedermawanan di tengah-tengah masyarakat. Ada yang bersifat swadaya, tak sedikit pula yang disokong oleh institusi bisnis, pemerintah maupun NGO.
Semuanya seolah berkompetisi dalam menebar kebaikan. Tak terkecuali lembaga filantropi berbasis keagamaan, juga turut mengambil peran signifikan dalam aksi-aksi sosial kemanusiaan. Mengaktualisasikan pesan-pesan keagamaan yang sarat solusi sosial.
Menurut Charities Aid Foundation, aspek religiusitas merupakan faktor penting yang mendorong maraknya gerakan kedermawanan. Agama, bertabur pesan untuk berbagi dan peduli. Maka di setiap agama kita mengenal adanya konsep berbagi seperti zakat, infaq atau sedekah dalam agama Islam.
Menariknya, meskipun dilatari oleh spirit reliji, gerakan filantropi mampu menerobos sekat-sekat perbedaan. Tak memilah penerima manfaat berdasarkan jenis agama yang dianut. Semua yang membutuhkan diberi uluran tangan.
Dalam gerakan aspiratif umat Islam bertajuk #Aksi299 misalnya, peserta aksi berinisiatif menggalangan dana untuk korban letusan Gunung Agung di Bali. Meski Bali dikenal sebagai basis komunitas bagi saudara-saudara kita yang beragama Hindu, namun tidak menjadi tembok penghalang bagi umat Islam untuk peduli dan berbagi.
Cakupan gerakan filantropi pun kian beragam. Ada yang bergerak di bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi dan kebencanaan. Yang terakhir ini paling marak. Tentu saja tak terlepas dari kondisi geografis Indonesia sebagai daerah rawan bencana sehingga butuh solidaritas tinggi untuk saling membantu.
Gerakan filantropi, bisa jadi dipandang sebagai jalan sunyi dalam borkontribusi membangun negeri. Tak seriuh jalan bisnis atau politik yang selalu menyedot sorot kamera dan tepuk sorak masyarakat. Tapi filantropi berbeda, karena ia lahir dari panggilan jiwa dan memberikan kenikmatan batin bagi mereka yang melakoni gerakan sosial ini.
Maka di tingkat global, kita melihat bahkan orang terkaya di planet ini pun tetap saja butuh wadah filantropi untuk mengekspresikan kebebasan jiwa. Siapa yang tak kenal Bill Gates dan istrinya Melinda Gates, kedua sosok ini memilih memfokuskan perhatian di bidang kesehatan. Bill dan Melinda keliling ke berbagai penjuru bumi mengemban misi kemanusiaan justru tidak dengan menampilkan kemewahan material. Tumpukan kekayaan mereka tanggalkan.
Di dalam negeri, kita juga punya perbendaharaan sosok-sosok filantropi. Di bidang pendidikan misalnya, siapa yang tidak kenal dengan Sukanto Tanoto. Melalui Tanoto Foundation, konglomerat yang merintis usaha dari bawah ini malang melintang di dunia beasiswa Indonesia. Bagi pelajar dan mahasiswa, nama "Tanoto" mungkin lebih dikenal sebagai pemberi beasiswa ketimbang pemilik Asian Agri dan berbagai bisnis di bawah naungan group Royal Golden Eagle International.
Tanoto Foundation, bisa dikatakan sebagai 'brand' donatur beasiswa legendaris. Sukses melahirkan SDM-SDM berkualitas. Ini dibuktikan oleh data bahwa sebanyak 67% dari peraih beasiswa Tanoto Foundation berkarir di perusahaan papan atas. Mulai dari perusahana multi nasional, BUMN maupun perusahaan swasta nasional. Tak heran bila kemudian beasiswa Tanoto Foundation menjadi incaran para pelajar dan mahasiswa.
Dalam skala NGO swadaya, kita tentu tidak meragukan lagi reputasi Dompet Dhuafa yang 24 tahun terakhir mendedikasikan potensi keuangan umat menjadi gelombang kebaikan yang berdampak sosial ekonomi. Lembaga yang sejarahnya tak bisa dilepaskan dari rahim dan nama besar Republika ini, telah menebarkan manfaat dan melebarkan sayap hingga memiliki lima cabang di luar negeri.
Hasil kajian dan rumusan University of Oxford dan United Nation Development Program (UNDP) memetakan multidimentional poverty index (MPI). Bahwa kemiskinan multidimensi mencakup banyak hal. Bukan soal akses ekonomi atau penghasilan semata, tapi juga terkit dengan sektor lain. Termasuk pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi.
Maka tepat dasar pemikiran yang diajukan oleh lembaga filantropi seperti Tanoto Foundation maupun Dompet Dhuafa. Bahwa penanggulangan kemiskinan yang efektif membutuhkan pendekatan holistik yang meliputi pendidikan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas hidup. Gerakan filantropi yang menyentuh multidimensi pengentasan kemiskinan dilakoni oleh lembaga-llembaga filantropi untuk memberikan dampak berkelanjutan.
Filantropi Digital
Hal menarik dari perkembangan filantropi dewasa ini, bahwa spektrum gerakan filantropi kian inklusif. Mengalami transformasi seiring terjadinya digitalisasi di berbagai sektor. Untuk mengoptimalkan dampak, filantropi mengadopsi perkembangan teknologi komunikasi. Filantropi semakin digemari, termasuk oleh anak-anak muda sebagai motor utamanya.
Di kanal-kanal digital, kita mengenal beberapa lembaga filantropi yang dijalankan dengan platform daringl. Gerakan filantropi berbasis aplikasi di smartphone, bukan didirikan oleh konglomerat. Tapi ia lahir dari rahim keterpanggilan anak muda yang ingin berkontribusi membangun negeri. Filantropi digital besutan anak bangsa seperti Kitabisa.com, mempertemukan arus kedermawanan masyarakat dengan gelombang digital.
Inovasi filantropi, tentu saja semakin mengoptimalkan dedikasi yang bisa diberikan. Juga menggugah semangat kebersamaan secara efektif dan bertenaga. Filantropi digital, sekaligus bentuk nyata upaya merawat budaya berbagi dengan pendekatan kontributif nan modern.
Kampanye penggalangan dana teranyar dari Kitabisa.com misalnya, mengajak anak-anak bangsa untuk ikut berkontribusi mewujudkan impian Presiden Indonesia Ketiga, B.J. Habibie yang juga menjadi impian kita untuk melahirkan pesawat buatan anak bangsa. Kampanye bertajuk "Dukungan Untuk R80" menggema di media sosial dan berbagai saluran digital, dan hingga saat ini telah mengumpulkan donasi lebih dari Rp 1 miliar.
Bukan nominal yang jadi target utama "Dukungan Untuk R80", tapi bagaimana menggugah kepedulian dan menciptakan arus dukungan terhadap kebangkitan teknologi Indonesia. Ada misi nasionalisme dan patriotisme di balik gerakan filantropi daring untuk pesawat R80 yang telah jadi proyek strategis nasional itu.
Dalam konteks negara, eskalasi gerakan filantropi dengan berbagai variannya, meringankan beban politik pemerintah. Banyak agenda yang mestinya dihela oleh APBN, sebagian telah dijalankan oleh para filantropis dari dukungan dana masyarakat. Dengan sinergi dan sokongan pemerintah, dampak dari gerakan filantropi tentu bakal semakin eskalatif dan masif.