26.9.17
Opini Suara Pembaruan | Kedaulatan Ekonomi Digital
Kedaulatan Ekonomi Digital | Oleh Jusman Dalle
Opini Suara Pembaruan Edisi Kamis (28/9/2017)
***
Belum lama ini,
aplikasi photo dan video sharing Instagram merilis kota paling popular di fitur
Insta Story. Siapa yang jadi jawara? Bukan Tokyo yang merupakan kota terpadat
di dunia. Bukan pula Bangkok, London atau Paris, tiga besar kota paling banyak
dikunjungi di dunia seperti dilansir oleh Global Destination Cities Index.
Instagram
ternyata menobatkan Jakarta sebagai kampiun. Jakarta jawara dengan predikat
Kota Paling Popular di Insta Story. Capaian tersebut semakin mengukuhkan
Jakarta sebagai kota media sosial. Sekadar catatan, Jakarta juga pernah meraih
predikat kota paling sibuk di Twitter mengalahkan kota-kota besar dunia lainnya.
Sebagai ‘ibu
kota Instagram’, Jakarta menikmati banyak potensi ekonomi sehingga layak
disebut sebagai Kota Instanomi. Kota yang warganya meraup keuntungan ekonomi
dari berkah di Instagram. Dari aplikasi berbagi foto dan video, Instagram di
Indonesia bertransformasi menjadi mesin bisnis dan penggerak ekonomi.
Mesin Ekonomi
Eksistensi
masyarakat Indonesia di Instagram adalah kabar berharga bagi para pelaku
industri. Di Indonesia, basis pengguna Instagram mencapai angka 45 juta akun.
Angka itu merupakan yang terbesar di kawasan Asia Pasifik. Tak heran bila
Instagram dipandang sebagai arena penting dalam dunia bisnis. Terutama bagi
mereka yang menyasar captive market generasi
muda.
Produk-produk
terkait anak muda seperti fashion dan gadget, laris terjual di Instagram.
Banyak pelajar, mahasiswa, maupun anak muda biasa yang menjelma menjadi sosok
jutawan, menuai berkah ekonomi Instagram. Seorang selebriti Instagram
(selebgram) yang menerima jasa endors produk misalnya, per satu postingan atau
kotrak dengan sponsor dihargai 10 juta rupiah. Itu jika followernya minimum
20.000 akun.
Jika sudah
memiliki ratusan ribu hingga jutaan pengikut, maka harga yang dipasang pun kian
tinggi. Bisa mencapai angka 75 juta rupiah per postingan. Patokan harga itu
bisa kita lihat secara bebas di beberapa situs dan aplikasi penyedia jasa
endors selebgram.
Instagram
merupakan arena tumbuhnya gerakan ekonomi digital yang sarat kreativitas.
Instagram adalah rumah bagi ekosistem bisnis. Berbagai barang atau jasa dalam
bentuk fisik hingga karya-karya kreatif berbasis digital seperti art work,
lukisan digital, hingga grafis audio visual untuk keperluan iklan komersial,
diproduksi di aplikasi tersebut. Mungkin cuma di Indonesia kita bisa menemukan
riuhnya praktik jual beli di akun-akun Instagram.
Potensi Pajak
Gemuruh
ekonomi Instagram menarik kita kaji
dalam pendekatan penegakan kedaulatan ekonomi digital. Instagram adalah bagian dari wilayah kedaulatan digital
Indonesia. Instagram dan
semua media sosial yang kita gunakan sehari-hari, adalah perusahaan Over The Top (OTT). Beroperasi dengan menggunakan jaringan
internet milik operator seluler di wilayah NKRI. Instagram dan elemen-elemen di
dalamnya tentu saja harus tunduk pada aturan di negara ini. Termasuk dalam hal
kewajiban membayar pajak.
Pemerintah
sudah menyatakan kepincut dengan besarnya potensi pajak dari ekonomi digital. Pajak
tersebut akan sangat berarti bagi penerimaan negara. Ditjen Pajak memperkirakan
potensi penerimaan pajak dari bisnis ini mencapai 1,2 miliar dollar AS atau setara
dengan Rp 15,6 triliun. Angka itu tergolong tidak kecil untuk mengisi
pudi-pundi negara di tengah defisit APBN yang semakin melebar.
Untungnya,
Facebook sebagai induk Instagram menyatakan kesediaan menunaikan kewajiban.
Apalagi Facebook telah membuka kantor perwakilan secara resmi di Indonesia. Ini
merupakan kabar baik bagi upaya pemerintah menegakkan kedaulatan digital,
khususnya yang terkait dengan sektor ekonomi dan penerimaan negara.
Pemasukan
negara dari Instagram ini, bukan saja menyasar Instagram sebagai institusi
bisnis. Yang juga tak kalah manis potensinya adalah pajak dari para pelaku
bisnis yang berkecimpung di Instagram. Seperti pajak dari seorang pengguna
Instagram yang jadi publik figure di aplikasi tersebut (selebgram) ataupun dari
aktivitas bisnis toko online di Instagram. Skema pajak untuk pelaku ekonomi
digital kreatif di Instagram di di berbagai platform digital saya kira tidak
sulit diformulasikan. Cukup mengacu pada Pajak Penghasilan pasal 23 (PPh 23).
Sejauh pengalaman
saya sebagai praktisi ekonomi digital, pembayaran yang saya terima dari klien selalu
dipotong PPh 23. PPh 23 ini bahkan masuk dalam klausul purchase order. Disiplin pengenaan PPh 23 ini tentu juga karena
status klien saya yang merupakan perusahaan terbuka sehingga semua transaksinya
harus tercatat secara rapi.
Ekosistem Digital
Instagram telah
menjelma menjadi bagian dari gaya hidup generasi masa kini. Instagram hanya
bagian kecil dari bongkahan harta karun yang bersemayam yang terbawa arus
gelombang ekonomi digital. Selain Instagram, masih ada media sosial, instant
messanger dan berbagai platform ekonomi digital yang membentuk ekosistem bagi
industri ini.
Catatan
yang perlu digaris bawahi dari fenomena ini adalah pentingnya gerak cepat
pemerintah untuk hadir sepenuhnya di wilayah kedaulatan digital kita.
Tanggungjawab pemerintah memperkuat ekosistem digital tanah air. Pemerintah dituntut
berkontribusi nyata bagi pengembangan dan mendorong akselerasi aktivitas pelaku
industri ekonomi digital.
Telah ada
payung hukum Peraturan Presiden tentang Peta Jalan Ecommerce 2017-2019 sebagai
panduan untuk mencapai misi Indonesia sebagai kampiun ekonomi digital. Perpres
tersebut sebagai modal bagi pemerintah untuk mendorong pelaku ekonomi digital
lokal, anak-anak bangsa agar Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Ekonomi digital adalah primadona. Terbukti, pemain besar macam Alibaba atau
Tencent dari Tiongkok mulai menancapkan kuku-kukunya di Indonesia. Ini satu
kagembiraan.
Bahwa
ekonomi digital di tanah air punya prospek cerah. Namun di saat bersamaan,
mesti disadari bahwa kita diperhadapkan pada tantangan untuk tetap menjadi tuan
rumah di negeri sendiri. Hanya dengan cara demikian, kita percaya diri
berbicara tentang kedaulatan digital.