Terbit di kolom opini republika edisi Senin 18 September 2017 |
20.9.17
Opini Koran Republika | Polemik Migrasi Nontunai
Oleh : Jusman Dalle
(Direktur Eksekutif Tali Foundation dan Praktisi Ekonomi Digital)
***
Rencana menerapkan pembayaran menggunakan uang elektronik di
seluruh ruas tol per 31 Oktober 2017 menuai polemik. Elektronifikasi
tersebut merupakan bagian dari ekstensifikasi program Gerakan Nasional Non
Tunai (GNNT) atau cashless society yang
dicanangkan sejak Agustus tahun 2014 oleh Bank Indonesia. BI selaku pemangku
otoritas moneter mengemban amanat konstitusi untuk mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran, diwujudkan dengan program cashless society.
Pandangan yang
mendukung cashless society di ruas
tol melihat program itu mengikuti perkembangan sistem pembayaran masa kini yang
praktis, efisien dan aman. Elektronifikasi transaksi seirama dengan
perkembangan dunia bisnis, khususnya industri ekonomi digital. Penggunaan uang elektronik
mendapat dukungan penuh dari industri perbankan karena memberikan multi benefit.
Bagi pengelola
tol, penggunaan uang elektronik dapat mempercepat proses transaksi. Jalan tol
tak lagi dipasangi barikade dan gardu. Sasaran akhir dari program elektronifikasi
pembayaran tol adalah Multi Lane Free
Flow (MLFF), yaitu proses pembayaran tol tanpa henti. Rekayasa berbasis digital
payment tersebut bertujuan
menghilangkan atrean di gerbang tol. MLFF mewujudkan pembayaran cashless berkecepatan tinggi.
Di luar negeri, adopsi
MLFF sudah marak. Malaysia misalnya, berambisi menerapkan MLFF di seluruh ruas
tol pada tahun 2020. Diwartakan New Strait Times, hingga April 2016, sebanyak 28
persen ruas tol di negeri jiran telah menerapkan MLFF.
Adapun pendapat
yang kontra mengajukan beberapa argumentasi. Pertama, kebijakan itu dipandang
merugikan masyarakat. Ketika membeli kartu uang elektronik, masyarakat harus
menebus dengan harga yang nilainya lebih besar daripada saldo awal yang diterima.
Argumentasi
kedua, masyarakat harus menanggung beban
sepanjang menggunakan uang elektronik tersebut. Hal ini sebagaimana rencana pemerintah
memungut biaya untuk setiap isi ulang (top
up fee) uang elektronik. Dapat dibayangkan, besarnya biaya yang dibebankan
kepada masyarakat yang lantas dinikmati lembaga penerbit kartu.
Penerbit
mestinya tidak mencatut akumulasi profit recehan lewat kebijakan ini. Bebasn
biaya mengaburkan filosofi cashless
society yang mestinya berpegang teguh pada prinsip efisiensi. Untuk memacu
akselerasi cashless society, masyarakat
harusnya mendapat insentif bukan justru dikenakan disinsentif seperti rencana top up fee tersebut. Wacana top up fee akhirnya paling riuh ditolak.
Belum lagi dana
mengendap di dalam uang elektronik memberikan keuntungan ganda kepada perbankan
selaku penerbit kartu. Dana tersebut bank dapatkan secara cuma-cuma. Tidak
dihitung sebagai dana pihak ketiga sehingga tak ada kewajiban memberikan imbal
hasil laiknya simpanan. Selain itu, bank juga menikmati likuiditas secara
cuma-cuma.
Argumentasi ketiga,
uang elektronik masih eksklusif. Penggunaannya terbatas. Yaitu hanya diterima di
merchant-merchant tertentu yang bekerjasama dengan perusahaan penerbit kartu.
Fakta ini tidak
sejalan dengan prinsip penggunaan uang sebagai alat tukar laiknya uang kartal yang
diterima dimana saja sepanjang dalam lingkup wilayah hukum NKRI. Rupiah dijamin
oleh konstitusi sebagaimana tertuang dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2011
Tentang Mata Uang. Bahkan ada ancaman bila menolak rupiah dalam bertransaksi.
Sementara untuk
menggunakan nilai rupiah dalam wujud uang elektronik tidak mungkin dipaksakan lazimnya
privilege uang kartal. Uang
elektronik butuh infrastruktur pendukung. Maslahnya, kondisi infrastruktur saat
ini belum memadai. Positioning uang
elektronik belum relevan sebagai alat transaksi yang wajib. Kendala
aseptabilitas tersebut membuat sebagian masyarakat enggan migrasi ke transaksi
non tunai.
Argumentasi
keempat adalah dampak sosial pengangguran. Pandangan ini diartikulasikan oleh
kawan-kawan serikat pekerja. Bahkan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia
mensinyalir ada 20.000 pekerja langsung di gerbang tol terancam menganggur bila
otomatisasi tol ini diimplementasikan.
Pengelola tol
sudah membantah kekhawatiran tersebut. Dikatakan bahwa pekerja di gardu-gardu tol akan dialihkan ke
unit lain. Namun alasan ini disanggah balik. Puluhan ribu pekerja di gardu tol
tidak mudah diakomodir ke unit baru. Bila pun ada yang terserap, hanya sebagian
kecil yaitu mereka yang memiliki kualifikasi sebagai karyawan back office.
Opsi Solusi
Gelombang protes
dan suara kontra yang menghadang misi migrasi non tunai tentu membuat
pemerintah dilematis. Kebijakan evolusioner, mengubah kebiasaan masyarakat
secara mendasar memang bukan hal yang mudah. Dampaknya harus dipertimbangkan.
Sebab dalam situasi transformatif, selalu ada kelompok di dua kutub berbeda
yang harus diakomodir kepentingannya. Tak boleh satu digandeng dan satu ditinggalkan.
Penetrasi
teknologi di sebuah industri, kerap diperhadapkan pada opsi-opsi ambivalen.
Situasi serupa terjadi ketika pemerintah mengeluarkan aturan tentang
transportasi berbasis aplikasi yang dianggap berat sebelah, mengebiri iklim ekonomi
digital. Beberapa poin kebijakan yang bertentangan dengan realitas sosiologis
dan perkembangan ekonomi terkini itu, lantas dibatalkankan oleh Mahkamah Agung.
Kita tidak ingin kesalahan yang serupa terulang.
Lalu, bagaimana
memformulasikan kebijakan dalam situasi dilematis? Dari perspektif kebijakan
publik, sebetulnya kita mudah menemukan jawaban. Kuncinya, kebijakan harus
berpihak pada kepentingan publik. Paling tidak, ada dua opsi solusi untuk
mendepankan kepentingan publik dalam penerapan elektronifikasi transaksi di
seluruh ruas tol.
Pertama, elektronifikasi
diimplementasikan namun dengan tetap memberikan pilihan pembayaran secara
tunai. Paling tidak, di setiap gerbang tol, ada satu gardu tol manual. Gardu
tol alternatif ini juga sebagai antisipasi jikalau terjadi masalah pada gardu
tol otomatis yang kadang kala mengalami gangguan. Selain itu, aspirasi pekerja
juga diakomodir dalam opsi win-win
solution ini.
Opsi kedua,
terkait top up fee rasanya tidak ada
kepentingan publik dalam rencana kebijakan ini. Maka sebaiknya dibatalkan
sebelum kadung mencederai filosofi cashless
society yang bertumpu pada semangat efisiensi. Bilapun penerbit kartu atau
operator membutuhkan biaya perawatan infrastruktur pembayaran elektronik di
ruas tol seperti alasan yang diajukan, cukuplah pandai-pandai mengelola dana
mengendap dan likuiditas gratis yang potensinya bisa ratusan miliar rupiah.
Tentu saja tanpa
merugikan masyarakat seperti mewajibkan saldo minimum atau biaya administrasi
bulanan. Ingat, ini bukan simpanan. Selain itu, biaya maintenance bisa pula
dialokasikan dari pemotongan saldo uang elektronik yang diambil ketika aktivasi
(pembelian) kartu. Ini solusi jalan tengah yang secara logis masih bisa
dimaklumi masyarakat.
Kita akui bahwa
sudah tepat upaya otoritas untuk menyesuaikan dengan trend industri keuangan
masa kini melalui program cashless
society. Program tersebut harus didukung, mengingat sistem pembayaran
berbasis elektronik akan semakin terintegrasi secara solid di era ekonomi
digital. Evolusi yang tak mungkin kita hindari.
Namun sungguh
ironis ketika kebijakan mendorong migrasi ke non tunai malah kontraproduktif
dengan prinsip efisiensi. Kebijakan non tunai tidak boleh bertentangan dengan akal
sehat ekonomi digital dimana program ini bakal bermuara.