14.10.17
Opini Kontan | Menimbang (Lagi) Aturan Nontunai
***
Dalam beberapa hari kedepan, dua
kebijakan baru gerakan nasional nontunai (cashless
society) bakal diberlakukan. Pungutan kutipan untuk setiap pengisian ulang (top up fee) uang elektronik efektif
berlaku per 20 Oktober. Isi beleid
itu adalah top up uang elektronik
lintas kanal dicatut biaya sebesar Rp 1.500. Sementara top up dalam satu kanal tarfinya sebesar Rp 750 untuk transaksi di
atas Rp 200 ribu.
Tak lama berselang, tepatnya 31
Oktober, pengguna jalan tol juga diwajibkan menggunakan uang elektronik. Kendati
akan segera berlaku, kedua kebijakan itu masih menuai berbagai kritik.
Elektronifikasi di ruas tol dan top up
fee, dinilai mengabaikan kepentingan publik. Bahkan berpotensi melabrak
sejumlah aturan.
Elektronifikasi di tol, bertentangan
dengan Undang Undang No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang secara tegas mengatur
bahwa setiap orang dilarang menolak menerima rupiah sebagai alat pembayaran,
baik uang logam maupun kertas. Kebijakan top
up fee bernasib sama. Dibayang-bayangi polemik dengan berbagai argumentasi
penolakan.
Tak terkecuali penerbit uang
elektronik, juga ikut angkat suara. Persatuan Bank Nasional (Perbanas) dan
Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), mengamini tuntutan publik bahwa biaya isi
ulang sebaiknya digratiskan saja. BI diminta merevisi beleid yang dipandang kontraporduktif dengan tujuan cashless society tersebut.
Pelaku industri perbankan mengaku
siap menyisihkan pos anggaran dari sumber lain untuk meningkatkan layanan
nontunai. Yang terpenting saat ini adalah mendorong animo masyarakat beralih ke
nontunai. Toh, nontunai berdampak positif bagi cost efficiency. Berkat elektronifikasi, perbankan dapat menghemat
biaya operasional hingga 40 persen.
Ada empat alasan mengapa beleid nontunai perlu ditimbang lagi. Pertama, menyelisihi amanat konstitusi.
Cashless society merupakan kebijakan
yang diterjemahkan dari Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia. Pada pasal 8 poin b, secara eksplisit tertuang tugas BI untuk
menciptakan kelancaran dalam sistem pembayaran. Bentuk kebijakannya adalah transaksi
berbasis uang elektronik.
Namun dalam lembar penjelasan Pasal
8, diuraikan bahwa pelaksanaan tugas BI memerlukan dukungan sistem pembayaran
yang efisien, cepat, aman, dan andal. Pada poin “efisien” inilah, rencana top up fee lemah secara konstitusional. Sangat berpotensi dibatalkan.
Kedua, industri untung tapi
masyarakat buntung. Pengguna uang elektronik sudah harus mengeluarkan biaya
ketika membeli kartu. Selain itu juga harus dikenakan biaya lagi sepanjang
menggunakan uang elektronik. Biaya setiap isi
ulang menempatkan uang elektronik laiknya produk konsumtif.
Sialnya, kutipan itu malah jadi keuntungan bagi penerbit kartu. Tarulahlah keuntungan rata-rata bank dari
penjualan kartu tersebut adalah sebesar Rp 10.000. Dari 69,45 juta uang
elektronik yang beredar saat ini, artinya penerbit kartu sudah mengantongi
keuntungan sebesar Rp 694,5 miliar rupiah. Keuntungan tersebut selaiknya disisihkan
sebagai biaya pengembangan layanan dan peningkatan infrastruktur yang jadi
dasar argumentasi top up fee.
Ketiga, bertentangan
dengan akal sehat ekonomi digital. Sulit disangkal, top up fee adalah potret ekonomi berbiaya mahal. Seberapapun kecil
dan terbatasnya dana yang dipungut, ia tetap tidak mencerminkan slogan efisiensi.
Inefisiensi, tak sejalan dengan gemuruh revolusi ekonomi keempat yang bergeser
ke digitalisasi.
Ekonomi digital dituntut mengurangi beban
lemak-lemak struktural. Di era ekonomi digital,
pemerintah mesti cermat dan adaptif memformulasi
struktur kebijakan yang mendorong industri berjalan di atas prinsip efisiensi. Inefisiensi
menyandera industri hingga tidak kompetitif.
Inkompetensi mengelola kebijakan
berbasis digital, bahkan mempengaruhi daya saing suatu bangsa. Padahal,
Presiden Joko Widodo serius berupaya melakukan deregulasi. Presiden berkali-kali
mengingatkan jajarannya untuk tidak membuat kebijakan yang menantang arus
ekonomi digital.
Keempat, top up fee tidak selaras dengan spirit
kebijakan publik yang mestinya berpihak pada kepentingan masyarakat. Cashless society adalah program BI. Maka
BI adalah pihak yang paling bertanggungjawab untuk melayani publik mewujudkan
kemudahan dan kelancaran bertransaksi. Di pundak BI melekat tanggung jawab
paling besar untuk menyukseskan cashless
society.
Bukan justru dilemparkan ke
kantong-kantong masyarakat yang mestinya dibela mati-matian oleh kebijakan. Sialnya, pada saat bersamaan pelaku
industri justru diberi peluang berselancar mencari untung di atas kebijakan publik tersebut. Ini ironis.
Solusi
Sebelum kadung berimplikasi negatif
terhadap gerakan nontunai, BI perlu menimbang lagi beleid uang elektronik. Apalagi
BI juga berkepentingan menyukseskan cashless
society sebagai tanggungjawab konstitusional. BI bahkan diuntungkan jika
animo masyarakat menggunakan uang elektronik semakin tinggi. BI menikmati
efisiensi sebesar Rp 4 triliun dalam setahun berkat migrasi ke uang elektronik.
BI seyogyanya menggunakan otoritas membela
dan berpihak pada kepentingan masyarakat. BI dituntut mendorong pelaku industri
agar bersinergi menyukseskan cashless
society. Sinergi tersebut dapat diwujudkan dengan sharing infrastruktur. Setiap
pemangku kepentingan diwajibkan membangun fasilitas secara proporsional sesuai
skala bisnis masing-masing.
Bank (penerbit kartu), minimarket,
supermarket, pengelola tol dan berbagai merchant
adalah pihak-pihak yang meraup benefit dari penggunaan uang elektronik. Ada
manfaat efisiensi yang mereka nikmati dari setiap transaksi uang plastik. Maka
lebih adil bila para pelaku industri tersebut yang menalangi peningkatan
layanan dan infrastruktur uang elektronik. Bukankah kebijakan mestinya berpijak
pada keadilan?