Mata Air Pikiran Mengalir Membentuk Kenyataan

  • Opini Kompas | IMF dan Malapraktik Diplomasi

    Jusman Dalle | Opini Harian Kompas Pemerintah memastikan bakal memberikan bantuan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9,4 triliun. Terkait komitmen Indonesia ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, IMF diharapkan tidak hanya menggunakan pinjaman ini untuk membantu negara-negara di Eropa, tetapi juga negara-negara di Asia dan Afrika.

  • Opini Republika | Urgensi Badan Haji

    Jusman Dalle - Opini Republika | Untuk mencapai tujuan pertama yaitu manfaat transformasi manajemen, Badan Haji yang nantinya bakal berfungsi sebagai eksekutor saja, merampingkan organisasi serta secara otomatis memotong rantai birokrasi bertingkat dan kompleks yang melibatkan banyak institusi. Badan Haji juga mengakhiri rezim monopoli kewenangan sebab Kemenag tinggal memegang satu fungsi, yaitu sebagai regulator sementara Komisi VIII DPR yang membawahi persoalan haji, berfungsi sebagai evaluator.

  • Profil Jusman Dalle

    Jusman juga menekuni digital marketing. Merancang dan membuat konten digital berupa tulisan (copywriter), visual dan audio visual untuk sejumlah perusahaan dan institusi skala nasional. Antara lain Partai Gerindra, Kedutaan Besar Jerman, Taksi Ekspress, Bank BTN, PLN, XL Axiata, Agung Podomoro Land, True Money, dll.

  • Rawan Pangan Negeri Pertanian

    Jusman Dalle - Opini Koran Tempo | Program revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan sejak 2005 masih sebatas lip service. Infrastruktur irigasi rusak parah, jalanan di desa-desa basis pertanian pun belum memadai. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 9,25 juta hektare juga baru sebatas “angin surga”.

26.10.17

Opini Kotan | Pudarnya Pesona Pusat Belanja

Oleh : Jusman Dalle
(Terbit di rubrik opini harian Kotan edisi 26/10/2017)
***
Berdasarkan riset Nielsen, pengeluaran masyarakat saat ini fokus pada tiga hal, yaitu makanan, pendidikan, serta kenyamanan dan gaya hidup (leisure dan lifestyle). Bahkan, pola tersebut terjadi pada seluruh kelompok masyarakat, baik masyarakat kelas atas, kelas menengah, maupun kelas bawah (Kontan, 14/10/2017)
Temuan riset Nielsen tersebut mulai membuka tabir tentang teka-teki mengapa banyak mal yang sepi. Perubahan gaya hidup dan pola belanja disinyalir berimbas pada penurunan penjualan di sektor ritel. Dari riset yang sama, Nielsen juga menangkap fakta bahwa penetrasi internet dalam budaya belanja masyarakat semakin kuat.

Saat ini, sebanyak 38% konsumen telah menjelma menjadi online shopper. Bukan tidak mungkin, mereka yang belanja di kanal-kanal digital merupakan konsumen pusat perbelanjaan yang berhasil diakuisisi oleh ekosistem digital. Dus, berbagai fakta di tersebut menguatkan gejala anomali. Terutama mengakibatkan deklinasi daya beli yang terlihat dari spending masyarakat yang menurun.
Pasalnya, penurunan daya beli terjadi ketika beberapa indikator makro justru merefleksikan optimisme dan menunjukkan performa yang baik-baik saja. Pasar modal bergairah, Indeks Harga Saham Gabungan bahkan mencatatkan rekor ke level 5.910 atau tertinggi sepanjang masa. Demikian pula tabungan masyarakat (DPK) yang tercatat jauh lebih baik dibandingkan tahun lalu. Bahkan menurut hasil studi Dana Reksa Institute, per September, kepercayaan konsumen meningkat. Indonesia bahkan dugadang-gadang sebagai negara dengan konsumen paling optimis di dunia.
Otokritik menarik disampaikan oleh pelaku usaha terkait lesunya kinerja sejumlah pusat perbelanjaan. Seperti dikemukakan oleh Jeffry Yamin, Marketing Director Green Pramuka City, bahwa fenomena penurunan daya beli yang melanda pusat-pusat perbelanjaan ditengarai akibat strategi pengembang properti yang ketinggalan zaman. Juga akibat over suplai mal dan salah menerapkan konsep.
Pusat perbelanjaan di Jakarta memang melimpah. Bahkan melebihi batas ideal dengan rasio jumlah penduduk. Pada tahun 2010, sudah berdiri lebih dari 174 pusat perbelanjaan. Tahun 2013, saat perekonomian Indonesia berkilau, pusat perbelanjaan di Jakarta meningkat drastis menjadi 564 mal.
Setiap tahun, pertumbuhan mal di Ibu Kota tercatat 3,4 persen. Bila angka itu konsisten, setiap tahun sedikitnya ada satu setengah lusin mal baru di Jakarta. Dengan pertumbuhan mal yang sedemikian pesat, perebutan pasar sangat ketat.
Riset BCA Sekuritas mengungkap bahwa mal-mal konvensional di Jakarta mengalami penurunan pengunjung. Mal yang teridentifikasi mengalami penurunan penjualan, semuanya masih menerapkan konsep dimana mal hanya jadi pusat perbelanjaan semata.Mal berkonsep lama, umumnya hanya mengandalkan toserba atau supermarket dan minim fasilitas penunjang.
Hadirnya mal tematik ikut andil memudarkan daya pikat mal konvensional. Dari riset yang sama, diketahui bahwa mal yang mengusung konsep baru semringah menikmati keuntungan besar. Mal-mal baru ini umumnya bagian dari superblok yang mengusung konsep triple play : housing, working dan shopping. Dikembangan di dalam satu kawasan yang mengusung konsep one stop living. Dimana hunian, perkantoran dan pusat gaya hidup menyatu dalam satu kawasan.
Dewasa ini, pusat perbelanjaan telah berubah jadi destinasi gaya hidup. Sebagai tujuan rekreasi harian, ruang bersosialisasi, tempat kerja, dan bahkan untuk olah raga dengan kian maraknya pusat kebugaran di mal. Target utama mal baru ini bukan mereka yang hendak belanja pakaian atau kebutuhan rumah tangga. Yang disasar adalah para pekerja kantoran yang butuh tempat makan siang dan ruang meeting yang nyaman, atau tamu hotel yang sedang berkegiatan dan rekreasi, hingga warga apartemen di kawasan yang rutin olah raga di gym.
Belanja Online
Berdasarka survei Mastercard, tercatat sebanyak 58,5% responden di Indonesia membeli barang lewat ponsel selama dua tahun berturut-turut. Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan online shopper via mobile terbesar ke-4 di Asia Pasifik. Temuan ini mengonfirmasi pergeseran perilaku konsumen.
Fenomena mal yang sepi tak diragukan lagi akibat perubahan pola dan perilaku belanja masyarakat. Ledakan ekonomi digital yang ditandai dengan menjamurnya mal online (baca : ecommerce) menjadi magnet baru. Ecommerce kini merupakan opsi alternatif dalam berbelanja. Terutama oleh generasi milenial.
Banyak keunggulan dan benefit sehingga ecommerce jadi pilihan. Terutama dari aspek harga yang kompetitif dan transparan. Ecommerce juga lebih praktis karena transaksi dapat dilakukan dimana saja sembari melakukan aktivitas lain. Selain efektivitas dan fleksibilitas waktu belanja, ecommerce juga diminati karena dapat dilakukan tanpa harus mengeluarkan extra price berupa energi, waktu dan ongkos transportasi.
Ledakan ecommerce akhirnya menggiring mal mengalami pegerseran fungsi. Mal tidak lagi dapat diandalkan sebagai tempat jual beli. Fungsi itu perlahan diakuisisi oleh ecommerce. Maka kita melihat dari riset BCA Sekuritas, mal yang didesain sebagai destinasi life style yang justru menikmati pertumbuhan.
Alasan pergeseran fungsi pusat perbelanjaan menginspirasi developer berinovasi. Pusat perbelanjaan disulap sebagai tonggak gaya hidup kaum urban.  Restoran, kafe, pusat kebugaran, atau tempat bermain anak lebih ditonjollkan ketimbang toko-toko pakaian. Inovasi ini mengikuti preferensi belanja konsumen perlahan beralih ke online.
Dalam penerapan starategi menggaet pengunjung, kreativitas pengembang mal diuji. Mal ditantang menawarkan nilai tambah berupa customer experience. Keunggulan kompartif berbasis pengalaman offline itu, tak dimiliki oleh ecommerce. Celah inilah yang mesti dimanfaatkan oleh para pengelola mal untuk menjaga eksistensi.
Di era gaya hidup, social customer experience merupakan kemewahan. Faktor pengalaman melatari mengapa secara regular justru cafe, restoran dan ruang-ruang bersosialisasi yang ramai di mal. Sementara butik dan toko aneka kebutuhan harian justru kurang bergairah. Kini, masyarakat ke mal bukan untuk belanja, tapi untuk menikmati suasana dan kenyamanan yang ditawarkan.
Sulit disangkal, perubahan lanskap bisnis ini dipicu oleh perilaku pasar dan ledakan teknologi digital. Kultur konsumen perlahan dibentuk oleh platform digital. Konsumen diakuisisi oleh oleh berbagai kanal daring. Fenomena ini akan terus terjadi tanpa bisa dibendung. Ia hanya bisa disikapi dengan inovasi.
Pelaku usaha, pengelola mal dan regulator dituntut kreatif untuk mendorong inovasi pusat perbelanjaan agar pesonanya tidak pudar di tengah lanskap bisnis yang berubah.