26.10.17
Opini Kotan | Pudarnya Pesona Pusat Belanja
Oleh : Jusman
Dalle
(Terbit di rubrik opini harian Kotan edisi 26/10/2017)
***
Berdasarkan riset Nielsen, pengeluaran
masyarakat saat ini fokus pada tiga hal, yaitu makanan, pendidikan, serta
kenyamanan dan gaya hidup (leisure dan lifestyle).
Bahkan, pola tersebut terjadi pada seluruh kelompok masyarakat, baik masyarakat
kelas atas, kelas menengah, maupun kelas bawah (Kontan, 14/10/2017)
Temuan riset Nielsen tersebut mulai membuka tabir tentang
teka-teki mengapa banyak mal yang sepi. Perubahan gaya hidup dan pola belanja disinyalir
berimbas pada penurunan penjualan di sektor ritel. Dari riset yang sama,
Nielsen juga menangkap fakta bahwa penetrasi internet dalam budaya belanja
masyarakat semakin kuat.
Saat ini, sebanyak 38% konsumen telah menjelma menjadi online
shopper. Bukan tidak mungkin, mereka
yang belanja di kanal-kanal digital merupakan konsumen pusat perbelanjaan yang
berhasil diakuisisi oleh ekosistem digital. Dus, berbagai fakta
di tersebut menguatkan gejala anomali. Terutama mengakibatkan deklinasi daya
beli yang terlihat dari spending
masyarakat yang menurun.
Pasalnya, penurunan daya beli terjadi ketika beberapa
indikator makro justru merefleksikan optimisme dan menunjukkan performa yang baik-baik saja. Pasar modal
bergairah, Indeks Harga Saham Gabungan bahkan mencatatkan rekor ke level
5.910 atau tertinggi sepanjang masa. Demikian pula tabungan masyarakat
(DPK) yang tercatat jauh lebih baik dibandingkan tahun lalu. Bahkan menurut
hasil studi Dana Reksa Institute, per September, kepercayaan konsumen
meningkat. Indonesia bahkan dugadang-gadang sebagai negara dengan konsumen
paling optimis di dunia.
Otokritik menarik disampaikan oleh pelaku usaha terkait
lesunya kinerja sejumlah pusat perbelanjaan. Seperti dikemukakan oleh Jeffry
Yamin, Marketing Director Green Pramuka City, bahwa fenomena penurunan daya
beli yang melanda pusat-pusat perbelanjaan ditengarai akibat strategi
pengembang properti yang ketinggalan zaman. Juga akibat over suplai mal dan salah menerapkan konsep.
Pusat perbelanjaan di Jakarta memang melimpah. Bahkan
melebihi batas ideal dengan rasio jumlah penduduk. Pada tahun 2010, sudah
berdiri lebih dari 174 pusat perbelanjaan. Tahun 2013, saat perekonomian
Indonesia berkilau, pusat perbelanjaan di Jakarta meningkat drastis menjadi 564
mal.
Setiap tahun, pertumbuhan mal di Ibu Kota tercatat 3,4
persen. Bila angka itu konsisten, setiap tahun sedikitnya ada satu setengah
lusin mal baru di Jakarta. Dengan pertumbuhan mal yang sedemikian pesat,
perebutan pasar sangat ketat.
Riset BCA Sekuritas mengungkap bahwa mal-mal konvensional
di Jakarta mengalami penurunan pengunjung. Mal yang teridentifikasi mengalami
penurunan penjualan, semuanya masih menerapkan konsep dimana mal hanya jadi
pusat perbelanjaan semata.Mal berkonsep lama, umumnya hanya mengandalkan
toserba atau supermarket dan minim fasilitas penunjang.
Hadirnya mal tematik ikut andil memudarkan daya pikat mal
konvensional. Dari riset yang sama, diketahui bahwa mal yang mengusung konsep
baru semringah menikmati keuntungan besar. Mal-mal baru ini umumnya bagian dari
superblok yang mengusung konsep triple play : housing, working dan shopping. Dikembangan di dalam satu kawasan
yang mengusung konsep one stop living.
Dimana hunian, perkantoran dan pusat gaya hidup menyatu dalam satu kawasan.
Dewasa ini, pusat perbelanjaan telah berubah jadi
destinasi gaya hidup. Sebagai tujuan rekreasi harian, ruang bersosialisasi,
tempat kerja, dan bahkan untuk olah raga dengan kian maraknya pusat kebugaran
di mal. Target utama mal baru ini bukan mereka yang hendak belanja pakaian atau
kebutuhan rumah tangga. Yang disasar adalah para pekerja kantoran yang butuh
tempat makan siang dan ruang meeting yang nyaman, atau tamu hotel yang sedang berkegiatan
dan rekreasi, hingga warga apartemen di kawasan yang rutin olah raga di gym.
Belanja Online
Berdasarka survei
Mastercard, tercatat sebanyak 58,5% responden di Indonesia membeli barang lewat
ponsel selama dua tahun berturut-turut. Angka tersebut menempatkan Indonesia
sebagai negara dengan online shopper
via mobile terbesar ke-4 di Asia Pasifik. Temuan ini mengonfirmasi pergeseran
perilaku konsumen.
Fenomena mal yang sepi tak diragukan lagi akibat perubahan
pola dan perilaku belanja masyarakat. Ledakan ekonomi digital yang ditandai
dengan menjamurnya mal online (baca : ecommerce)
menjadi magnet baru. Ecommerce kini merupakan opsi alternatif dalam
berbelanja. Terutama oleh generasi milenial.
Banyak keunggulan dan benefit sehingga ecommerce jadi pilihan. Terutama dari
aspek harga yang kompetitif dan transparan. Ecommerce
juga lebih praktis karena transaksi dapat dilakukan dimana saja sembari melakukan
aktivitas lain. Selain efektivitas dan fleksibilitas waktu belanja, ecommerce
juga diminati karena dapat dilakukan tanpa harus mengeluarkan extra price berupa energi, waktu dan
ongkos transportasi.
Ledakan ecommerce
akhirnya menggiring mal mengalami pegerseran fungsi. Mal tidak lagi dapat
diandalkan sebagai tempat jual beli. Fungsi itu perlahan diakuisisi oleh ecommerce. Maka kita melihat dari riset
BCA Sekuritas, mal yang didesain sebagai destinasi life style yang justru
menikmati pertumbuhan.
Alasan pergeseran fungsi pusat perbelanjaan menginspirasi
developer berinovasi. Pusat perbelanjaan disulap sebagai tonggak gaya hidup kaum urban. Restoran, kafe, pusat kebugaran, atau tempat
bermain anak lebih ditonjollkan ketimbang toko-toko pakaian. Inovasi ini
mengikuti preferensi belanja konsumen perlahan beralih ke online.
Dalam penerapan starategi menggaet pengunjung,
kreativitas pengembang mal diuji. Mal ditantang menawarkan nilai tambah berupa customer experience. Keunggulan
kompartif berbasis pengalaman offline
itu, tak dimiliki oleh ecommerce.
Celah inilah yang mesti dimanfaatkan oleh para pengelola mal untuk menjaga eksistensi.
Di era gaya hidup, social
customer experience merupakan
kemewahan. Faktor pengalaman melatari mengapa secara regular justru cafe,
restoran dan ruang-ruang bersosialisasi yang ramai di mal. Sementara butik dan toko
aneka kebutuhan harian justru kurang bergairah. Kini, masyarakat ke mal bukan
untuk belanja, tapi untuk menikmati suasana dan kenyamanan yang ditawarkan.
Sulit disangkal, perubahan lanskap bisnis ini dipicu oleh
perilaku pasar dan ledakan teknologi digital. Kultur konsumen perlahan dibentuk
oleh platform digital. Konsumen diakuisisi
oleh oleh berbagai kanal daring. Fenomena ini akan terus terjadi tanpa bisa
dibendung. Ia hanya bisa disikapi dengan inovasi.
Pelaku usaha, pengelola mal dan regulator dituntut
kreatif untuk mendorong inovasi pusat perbelanjaan agar pesonanya tidak pudar
di tengah lanskap bisnis yang berubah.