|
Merek, menjadi medium diplomasi untuk meniupkan superioriats ke seluruh dunia |
Kenal dengan merek Coca-Cola, Starbucks, Levi’s atau Samsung
dan Hyundai? Sepintas, kebanyakan kita menganggap merek-merek atau
produk-produk global tersebut murni bisnis semata. Tak kurang dan tak lebih. Demikian
pula dengan film-film buatan Hollywood, Bollywood atau China. Juga dianggap
sekadar hiburan dan ajang menangguk profit saja.
Padahal, di balik merek-merek itu sebetulnya ada misi negara
asal mereka yang menumpangi. Itu yang saya sebut misi 'kolonialisasi kultur'. Sederhananya,
merek fashion, makanan, minuman ataupun hiburan menjadi alat bagi sebuah negara
untuk memasuki kultur negara lain. Tentu saja dengan menyampaikan pesan-pesan secara
lembut agar mudah adopsi sebagai budaya.
Maka ketika kita melihat Samsung atau Levi’s, tak bisa
dimungkiri, selalu ada bayangan tentang superioritas Korea Selatan atau Amerika
Serikat. Kekaguman terhadap produk canggih mereka, sekaligus menghadirkan
kekaguman pada negaranya. Atau paling tidak, kita mengakui dan menghargai
Korsel dan AS sebagai negara yang lebih maju. Ini bukan berarti kita inferior. Lebih
kepada upaya untuk mencoba objektif bahwa pencapaian mereka berada jauh di depan.
Ini merupakan langkah soft
diplomacy secara kultural. Mereka masuk ke dalam situasi kehidupan kita
sehari-hari. Tengok misalnya kelas menegah-atas yang ada di perkotaan.
Nongkrong di Starbucks, menenteng tas belanjaan dari Levi’s Store atau
memainkan gadget anyar besutan Samsung, menjadi lumrah kita jumpai di
pusat-pusat perbelanjaan.
Merek-merek raksasa AS atau Korsel, seakan telah menyatu
dengan kehidupan mereka. Pada satu titik, bahkan sampai di taraf ketergantungan
(addict). Tak mau beli celana jika
bukan merek Levi’s, tak mau pakai smartphone
jika bukan luaran teranyar dari Samsung.
Dari kasus ini, sebetulnya kita melihat bagaimana
kepentingan meraup laba telah menciptakan loyalitas. Dalam perspektif
marketing, loyalitas tertinggi akan diraih jika anda bisa menjadikan produk yang
anda jual menyatu dalam kehidupan customers dan menjadi gaya hidup mereka.
Kepentingan sebuah negara dari kasus bisnis lintas kultural ini, tentu saja
menjadi sumber pemasukan ekspor (devisa).
Maka tak bisa dimungkiri, ketika misalnya AS menggalang Trans
Pasific Partnership (TPP) yang sesungguhnya ingin dicapai adalah kepentingan
industri/ekonomi di dalam negeri mereka. Bagaimana TPP membuka kanal-kanal market bagi
produk perusahaan mereka untuk mendatangkan dollar dari negara yang memiliki prospek pasar
cerah seperti Indonesia yang jumlah penduduknya 250 juta dan sepertiganya
merupakan kelas menengah-atas.
Selain melalui kuasa korporasi global, ada juga cara yang
menurut saya “lebih beradab” dilakukan oleh sebuah negara untuk melancarkan
misi kultural mereka. Misalnya pemberian beasiswa dengan berbagai skema. Entah itu
kuliah gratis, pertukaran pelajar, atau short
course. Melalui peluang studi gratis, sebuah negar bisa mentransfer kultur
mereka ke negara lain diperantarai
anak-anak muda yang cenderung bangga dengan kemajuan dunia barat. Tentu saja
hal ini kurang menguntungkan secara ekonomi dibandingkan dengan diplomasi merek
sebagaimana disebutkan di atas.
Keuntungan yang dipetik lebih pada kekuatan relasional, bukan
manfaat finansial. Misi kultural jalur pendidikan ini, bahkan aktif digalang
oleh beberapa negara dengan tidak membatasi kuota peluang pelajar asing untuk
menempuh studi di negeri mereka. Amerika Serikat dan Jerman adalah dua contoh
negara yang melakukan ini.
Seperti dikutip dari Sciencemag.com, di kampus-kampus besar AS
jumlah pelajar asing bahkan mencapai 68%. Artinya, hanya 32% mahasiswa asli AS.
Demikian pula di Jerman yang proporsi mahasiswa asingnya cukup besar. Ini tentu
tidak lepas dari upaya Jerman dalam memajukan pendidikan mereka dengan
pemberian layanan terbaik. Termasuk memberikan banyak beasiswa penuh.
|
Pendidikan, juga menjadi sarana diplomasi kultural yang ramah
dan disambut antusias sebab saling menguntungkan. |
Tak heran jika Jerman menjadi destinasi studi terbaik kedua
di Eropa setelah setelah Inggris dan TERBAIK KEEMPAT DI DUNIA setelah Amerika
Serikat, UK dan Australia. Membanjirnya pelajar asing di Jerman juga karena peran
aktif pemerintah dan swasta. Jerman misalnya memiliki lembaga pertukaran
pelajar Deutscher Academischer Austausch Dienst (DAAD) yang aktif menjemput
bola melalui seminar atau ekspo seperti yang dilakukan di kampus ITB bersamaan
dengan digelarnya Pameran Sains dan Teknologi Jerman 28/10 s.d 3/11. Tak hanya
itu, DAAD bahkan membuka perwakilan resmi di 14 kota di dunia.
Kembali ke soal diplomasi kultural melalui medium pendidikan,
tentu saja hal ini disambut baik dan antusias. Siapa sih yang tidak ingin
melanjutkan studi di negara maju, apa lagi jika nir biaya alias gratis. Cara
ini bahkan bisa menciptakan bola salju, karena para scholars tentu membagi informasi ke kolega mereka. Bahkan ada yang
memfasilitasi dan menjadikannya lahan bisnis sebagai fasilitator pendidikan di
luar negeri.
Bagi Indonesia, keuntungan yang direngkuh tentu saja sangat
besar. Sebab kualitas sumber daya manusia kita ikut terdongkrak. Cuma memang
satu kekhawatiran, jika setelah studi banyak WNI yang justru kepincut tinggal di
laur negeri dengan berbagai alasan yang
logis.