31.10.15
Dari Diplomasi ke Peluang Ekonomi
Salah satu “hasil” lawatan Jokowi ke Amerika Serikat yang
banyak menuai protes adalah rencana pemerintah memboyong Indonesia bergabung
Trans Pasific Partnership (TPP). Yaitu satu “blok” ekonomi dan perdagangan
dunia yang berupaya mendorong liberalisasi, khususnya di kawasan Asia-Pasifik. Salah
satu klausul yang harus dipatuhi ketika bergabung dengan TPP adalah, kewajban
untuk membuka kran ekspor/impor ke negara anggota tanpa cukai. Ini seperti membuka pintu rumah kita untuk orang asing, dan orang asing tersebut bebas mengambil apa saja yang ia inginkan.
Jika dilihat secara jernih, TPP sebetulnya hanyalah alat diplomasi
ekonomi negara-negara maju dan mapan dari sisi industri untuk “menjajah” negara
lain dengan produknya. TPP, menjembatani Multi Nasional Coorporation untuk
membanjiri dunia dengan produk-produk mereka yang kompetitif. Sementara bagi
negara dengan pasar besar seperti Indonesia yang masih tertatih membangun
industri dan hanya mengandalkan bahan mentah untuk ekspor, hanyalah jadi korban
dan pelengap penderita saja.
TPP yang menjadi medium diplomasi yang tidak seimbang. Alih-alih
membawa keuntungan bagi semua anggotanya, pasti ada yang hanya diperi peran
figuran. Dalam artian, menjadi pasar dan supplier bahan baku yang tentu saja dihargai
murah karena lemahnya competitive
advantage. Maka adalah wajar jika janji Jokowi kepada Amerika Serikat untuk
membawa Indonesia bergabung dengan TPP yang lebih dilihat sebagai blok ekonomi
AS, dianggap sebagai langkah keliru dalam diplomasi ekonomi Indonesia.
Sebetulnya, membuka peluang-peluang ekonomi untuk membawa
kesejahteraan bagi rakyat, tak harus dengan menyerahkan kedaulatan pasar
Indonesia ke negara lain dalam skema perdagangan bebas. Banyak opsi yang bisa
dipilih, dimana Indonesia dan negara mitra sama-sama untung dan tidak ada yang dibuat bunting.
Misalnya, tawaran yang diberikan oleh Jerman bagi pelajar
dan ilmuawan Indonesia untuk meneliti atau melanjutkan studi di negeri
tersebut, selain mambantu Indonesia untuk membenahi kualitas sumber daya
manusia, juga merupakan medium untuk alih teknologi. Terlebih, institusi
pendidikan dan riset kedua negara memiliki banyak kerjasama di bidang teknologi.
Misalnya kerjasama Intitut Teknologi Bandung dengan GFZ Helmholtz Centre
Potsdam di bidang Mikroseismik, yang hasilnya bermanfaat untuk mengantisipasi
bencana gempa bumi.
Riset teranyar berupa teknologi “MicroGraviMoTis” atau
mikrogaviti untuk mengintegrasikan eksplorasi geologikal dan geofisikal di
Indonesia, Baru diluncurkan Agustus 2015. Temua itu membantu Indonesia dalam
mengoptimalkan pemanfaatan potensi-potensi sumber daya alam. Hasil kerjasama
kedua negara yang dipamerkan di ITB 28/10 s.d 3/11 adalah contoh konkret
diplomasi yang saling menguntungkan.
Jerman tentu saja turut menuai manfaat dari diplomasi
kultural yang mengedepankan pendekatan pendidikan, sains dan teknologi ini.
Sebagai negara yang maju di bidang teknologi, Jerman bisa menyiapkan
produk-produk yang dibutuhkan Indonesia untuk mengembangkan riset. Artinya, ada
keuntungan ekonomi di sana. Tapi kerjasama semacam ini, sama sekali tidak
merugikan Indonesia. Sebaliknya, kita meraih manfaat sebagaimana telah
disebutkan di atas.
So, pemerintah perlu jeli dan ketat dalam mengalkulasi
untung-rugi sebelum menandatangi sebuah kerjasama. Maksud hati ingin meraih
untung, jangan sampai malah buntung. Mari kita tolak rencana Jokowi
menjerumuskan Indonesia ke perangkap AS dan negara-negara maju lainnya yang bernama TPP.