Suasana arena pameran sains dan teknologi Jerman di kampus Institut Teknologi Bandung |
29.10.15
Riset yang Diabaikan
Bila diukur dari karya yang dihasilkan, Indonesia bukanlah
negara yang terbelakang di bidang riset. Terbukti, sejumlah temuan anak negeri
ini terbilang merupakan inovasi orisinil. Mulai dari kompor bio massa yang hemat
bahan bakar dan ramah lingkungan temuan Nurul Huda, teknologi 4G temuan Khoirul
Anam, rompi pembasmi kanker temuan Warsito Taruno, mobil listrik karya Ricky
Elson hingga kaca berteknologi daun talas (anti air dan debu) karya dua pelajar
SMA Negeri 3 Semarang, Karya Tuah Kudratzat dan Sekarini Wening Ayu.
Yang justru
menjadi permasalah klasik dalam dunia riset Indonesia adalah minimnya dukungan
pemerintah, serta lemahnya sinergi antar lembaga. Padahal untuk mengembangkan riset menjadi karya inovatif
seperti dilakukan oleh Jepang, Jerman atau Korea, harus ada kemauan yang kuat
dan sinergi dari minimal tiga pelaku utama. Yaitu lembaga riset sebagai sumber
pengetahuan dan kreasi, industri sebagai pihak yang menjadikan hasil riset
sebagai produk yang memiliki nilai tambah dan membawa keuntungan ekonomi, serta
pemerintah yang meberikan dukungan pendanaan, menciptakan iklim politik yang
medukung, kepastian hukum, kemudahan birokrasi, dan insentif ekonomi.
Ketiga pelaku ini tak bisa dibiarkan berjalan
sendiri-sendiri. Pemerintah harus bertindak sebagai dirigen yang mampu menciptakan
orkestra kolaboratif nan produktif. Di Indonesia, pemerintah kadang-kadang justru
malah menjadi penghalang.
Betapa melimpah bakat cemerlang dan potensi emas negeri ini
yang justru “diambil” oleh negara lain. Ini bukan lagi soal nasionalis atau
tidak. Sangat manusiawi jika para ilmuwan tersebut memilih berkarir dan
berkarya di luar negeri, dengan alasan merasa nyaman dengan adanya dukungan fasilitas
serta apresiasi sehingga memungkinkan mereka terus berkarya.
Belajar dari Jerman, kesuksesan perusahaan maupun lembaga
industri mereka mengembangkan riset, berkat dorongan dan keterlibatan aktif negara.
Pemerintah memberikan porsi perhatian yang cukup besar mendukung riset hingga
sampai pada tahap produksi hasil-hasilnya.
Jerman tergolong negara yang ‘getol’ dalam mengejar dan
mengerjakan proyek riset/penelitian. Ini terbukti dari besarnya dana riset yang
dialokasikan. Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Michael Rottman
mengatakan, tak kurang dari 1000 triliun
rupiah atau separuh dari nilai APBN Indonesia riset bergulir setiap tahunnya.
Dengan dorongan yang kuat ini, maka wajar jika Jerman tak pernah putus nafas
dalam meningkatkan kualitas, kuantitas dan aspek menejemen industri yang
dimilikinya.
Bandingkan dengan Indonesia, hanya menganggarkan 0,09% APBN untuk riset. Angka yang sangat
menyesakkan di tengah besarnya tunjangan aparatus dan pejabat negara serta
kemewahan hidup yang mereka dapatkan dari APBN. Sementara negara-negara
lain se kawasan, Indonesia jauh tertinggal. Thailand misalnya, menyisihkan 0,25
persen angagran untuk riset, Malaysia 1 persen, serta Singapura 2,6 persen.
Mengapresiasi Anak Negeri
Keseriusan dalam bidang riset perlu dikuatkan Indonesia.
Negara yang sejatinya memiliki sumber daya baik alam maupun manusia yang
melimpah ini, tidak berpihak dalam dunia riset. Memang, riset membutuhkan dana
yang tidak sedikit dalam pelaksanaannya. Namun demikian, riset menjadi
investasi jangka panjang.
Pemerintah boleh saja all
out dalam mengundang asing berinvestasi langsung dalam sektor ekonomi,
namun kita jarang mendengar kabar pemerintah mengerahkan energi untuk
berinvestasi di bidang riset. Yang dilakukan kerap kali hanya seremoni dan hiburan
belaka. Dengan adanya lembaga-lembaga riset seperti LIPI, BPPT dan lembaga
serupa di kampus-kampus, atau bahkan Kemenristek sebagai muaranya, tak menjamin
ada lompatan dunia riset kita.
Sulit menemukan hasil riset yang diadopsi serta dikembangkan oleh pemerintah untuk kemaslahatan bersama. Jikapun
ada hasil riset kelas dunia yang ditelurkan oleh anak bangsa, biasanya malah
diabaikan oleh pemerintah dengan berbagi dalih.
Lihatlah misalnya mobil listrik yang dikembangkan ilmuwan
muda Indonesia, Ricky Elson yang di zaman Dahlan Iskan didorong menjadi
kebanggan nasional, kini diabaikan menjadi onggokan ilmiah. Alasan yang
diutarakan pun terkesan mengada-ada. Lebih ironis lagi, upaya pengembangan
kreatifitas dan inovasi berbasis riset tersebut malah diseret ke wilayah hukum.
Hal ini tentu mengundang keprihatinan kita. Terlebih ketika
nalar bisnis negeri jiran malah mambuncah untuk memiliki karya anak bangsa
tersebut untuk dikembangkan. Dan kata Ricky Elson, malah akan “diambil” dengan
timnya. Dalam artian, sdm-sdm mumpuni kita lebih diapresiasi oleh tetangga
ketimbang di rumah sendiri.
Kisah mobil listrik yang dipaksa terhenti risetnya atau
ESEMKA yang juga telah lama mangkrak setelah dijadikan alat politik, adalah
sekelumit catatan kelam dunia riset dan teknologi di Indonesia. Tepuk sorai dan
kebanggaan yang pernah mengiringi sebagai pertanda adanya harapan besar yang
menyala-nyala dari benak rakyat, malah kini dibiarkan karatan. Kesadaran bahwa
sains dan teknologi adalah mahkota yang memuliakan bagi siapa yang
menggunakannya, belumlah ada.
Pemerintah tak pernah mau belajar maju sebagaimana Jerman,
Jepang atau Korea yang leading di bidang teknologi, menelurkan banyak merek dan
produk digdaya yang kesemuanya bermula dari dukungan pemerintah di bidang riset
dan teknologi. Panen dari dunia teknologi tersebut mereka dapatkan berkat investasi di dunia riset.
Belajar dari Jerman
Pameran Sains dan Teknologi Jerman-Indonesia yang diadakan
di Museum Nasional (5 s.d 15 Oktober) dan di Intitut Teknologi Bandung (28 Oktober s.d 3 November), menarik kita
tengok sebagai mata air inspirasi untuk melihat bagaimana riset berkolaborasi
dengan sains dan tekologi serta industri dalam memajukan negara. Keikutsertaan
perusahaan-perusahaan kelas dunia dan lembaga maupun institusi riset-pendidikan
ternama dari Jerman, adalah peluang bagi Indonesia mendulang manfaat dan
mencari peluang kerjasama.
Tak tanggung-tanggung, pemerintah Jerman menggandeng
perusahaan global asal Jerman seperti BMW, Schenker, Bayer, Bosch, Siemens,
Lufthansa serta lembaga industri dan riset seperti Fraunhofer, ZMT, DAAD, DFG,
KIT sebagai peserta pameran. Kesemua perusahaan dan lembaga riset industri itu,
adalah mereka yang telah lama menjalin kerja sama dengan Indonesia. Perusahaan
Jerman yang berpartisipasi dalam peserta eksibisi, datang dari jajaran daftar
Fortune Global 500. Yaitu, 500 perusahaan terbaik secara global.
Melalui pameran ini, peran sains dan penelitian di Jerman
nampak jelas dalam mendorong kemajuan negara. Keunggulan ilmiah, inovasi, dan
kesuksesan ekonomi Jerman datang dari kawah cadradimuka yang bernama sains dan
teknologi. Tajuk "Fostering Ideas" yang diusung memperlihatkan
gambaran tentang lembaga penelitian ternama dan berbagai perusahaan papan atas Jerman
yang mengambil peran besar bagi pembangunan negara dan dunia.
Maka melalui pameran yang mempertontonkan betapa signifikan
peran riset, sain dan teknologi untuk memajukan Jerman, semoga mengetuk relung
sanubari pemerintah untuk mengambil pelajaran yang dituangkan dalam kebijakan.
Peluang sangat terbuka bagi Indonesia untuk mengembangkan riset. Jerman membuka
diri sebagai mentor dan mitra, baik perusahaan maupun lembaga riset industrinya.