Mata Air Pikiran Mengalir Membentuk Kenyataan

  • Opini Kompas | IMF dan Malapraktik Diplomasi

    Jusman Dalle | Opini Harian Kompas Pemerintah memastikan bakal memberikan bantuan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9,4 triliun. Terkait komitmen Indonesia ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, IMF diharapkan tidak hanya menggunakan pinjaman ini untuk membantu negara-negara di Eropa, tetapi juga negara-negara di Asia dan Afrika.

  • Opini Republika | Urgensi Badan Haji

    Jusman Dalle - Opini Republika | Untuk mencapai tujuan pertama yaitu manfaat transformasi manajemen, Badan Haji yang nantinya bakal berfungsi sebagai eksekutor saja, merampingkan organisasi serta secara otomatis memotong rantai birokrasi bertingkat dan kompleks yang melibatkan banyak institusi. Badan Haji juga mengakhiri rezim monopoli kewenangan sebab Kemenag tinggal memegang satu fungsi, yaitu sebagai regulator sementara Komisi VIII DPR yang membawahi persoalan haji, berfungsi sebagai evaluator.

  • Profil Jusman Dalle

    Jusman juga menekuni digital marketing. Merancang dan membuat konten digital berupa tulisan (copywriter), visual dan audio visual untuk sejumlah perusahaan dan institusi skala nasional. Antara lain Partai Gerindra, Kedutaan Besar Jerman, Taksi Ekspress, Bank BTN, PLN, XL Axiata, Agung Podomoro Land, True Money, dll.

  • Rawan Pangan Negeri Pertanian

    Jusman Dalle - Opini Koran Tempo | Program revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan sejak 2005 masih sebatas lip service. Infrastruktur irigasi rusak parah, jalanan di desa-desa basis pertanian pun belum memadai. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 9,25 juta hektare juga baru sebatas “angin surga”.

29.10.15

Riset yang Diabaikan

Suasana arena pameran sains dan teknologi Jerman di kampus Institut Teknologi Bandung

Bila diukur dari karya yang dihasilkan, Indonesia bukanlah negara yang terbelakang di bidang riset. Terbukti, sejumlah temuan anak negeri ini terbilang merupakan inovasi orisinil. Mulai dari kompor bio massa yang hemat bahan bakar dan ramah lingkungan temuan Nurul Huda, teknologi 4G temuan Khoirul Anam, rompi pembasmi kanker temuan Warsito Taruno, mobil listrik karya Ricky Elson hingga kaca berteknologi daun talas (anti air dan debu) karya dua pelajar SMA Negeri 3 Semarang, Karya Tuah Kudratzat dan Sekarini Wening Ayu.

Yang justru menjadi permasalah klasik dalam dunia riset Indonesia adalah minimnya dukungan pemerintah, serta lemahnya sinergi antar lembaga. Padahal untuk mengembangkan riset menjadi karya inovatif seperti dilakukan oleh Jepang, Jerman atau Korea, harus ada kemauan yang kuat dan sinergi dari minimal tiga pelaku utama. Yaitu lembaga riset sebagai sumber pengetahuan dan kreasi, industri sebagai pihak yang menjadikan hasil riset sebagai produk yang memiliki nilai tambah dan membawa keuntungan ekonomi, serta pemerintah yang meberikan dukungan pendanaan, menciptakan iklim politik yang medukung, kepastian hukum, kemudahan birokrasi, dan insentif ekonomi.

Ketiga pelaku ini tak bisa dibiarkan berjalan sendiri-sendiri. Pemerintah harus bertindak sebagai dirigen yang mampu menciptakan orkestra kolaboratif nan produktif. Di Indonesia, pemerintah kadang-kadang justru malah menjadi penghalang. 

Betapa melimpah bakat cemerlang dan potensi emas negeri ini yang justru “diambil” oleh negara lain. Ini bukan lagi soal nasionalis atau tidak. Sangat manusiawi jika para ilmuwan tersebut memilih berkarir dan berkarya di luar negeri, dengan alasan merasa nyaman dengan adanya dukungan fasilitas serta apresiasi sehingga memungkinkan mereka terus berkarya.

Belajar dari Jerman, kesuksesan perusahaan maupun lembaga industri mereka mengembangkan riset, berkat dorongan dan keterlibatan aktif negara. Pemerintah memberikan porsi perhatian yang cukup besar mendukung riset hingga sampai pada tahap produksi hasil-hasilnya.

Jerman tergolong negara yang ‘getol’ dalam mengejar dan mengerjakan proyek riset/penelitian. Ini terbukti dari besarnya dana riset yang dialokasikan. Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Michael Rottman mengatakan,  tak kurang dari 1000 triliun rupiah atau separuh dari nilai APBN Indonesia riset bergulir setiap tahunnya. Dengan dorongan yang kuat ini, maka wajar jika Jerman tak pernah putus nafas dalam meningkatkan kualitas, kuantitas dan aspek menejemen industri yang dimilikinya.

Bandingkan dengan Indonesia, hanya menganggarkan 0,09% APBN untuk riset. Angka yang sangat menyesakkan di tengah besarnya tunjangan aparatus dan pejabat negara serta kemewahan hidup yang mereka dapatkan dari APBN. Sementara negara-negara lain se kawasan, Indonesia jauh tertinggal. Thailand misalnya, menyisihkan 0,25 persen angagran untuk riset, Malaysia 1 persen, serta Singapura 2,6 persen.

Mengapresiasi Anak Negeri

Keseriusan dalam bidang riset perlu dikuatkan Indonesia. Negara yang sejatinya memiliki sumber daya baik alam maupun manusia yang melimpah ini, tidak berpihak dalam dunia riset. Memang, riset membutuhkan dana yang tidak sedikit dalam pelaksanaannya. Namun demikian, riset menjadi investasi jangka panjang.

Pemerintah boleh saja all out dalam mengundang asing berinvestasi langsung dalam sektor ekonomi, namun kita jarang mendengar kabar pemerintah mengerahkan energi untuk berinvestasi di bidang riset. Yang dilakukan kerap kali hanya seremoni dan hiburan belaka. Dengan adanya lembaga-lembaga riset seperti LIPI, BPPT dan lembaga serupa di kampus-kampus, atau bahkan Kemenristek sebagai muaranya, tak menjamin ada lompatan dunia riset kita.

Sulit menemukan hasil riset yang diadopsi serta dikembangkan oleh pemerintah untuk kemaslahatan bersama. Jikapun ada hasil riset kelas dunia yang ditelurkan oleh anak bangsa, biasanya malah diabaikan oleh pemerintah dengan berbagi dalih.

Lihatlah misalnya mobil listrik yang dikembangkan ilmuwan muda Indonesia, Ricky Elson yang di zaman Dahlan Iskan didorong menjadi kebanggan nasional, kini diabaikan menjadi onggokan ilmiah. Alasan yang diutarakan pun terkesan mengada-ada. Lebih ironis lagi, upaya pengembangan kreatifitas dan inovasi berbasis riset tersebut malah diseret ke wilayah hukum.

Hal ini tentu mengundang keprihatinan kita. Terlebih ketika nalar bisnis negeri jiran malah mambuncah untuk memiliki karya anak bangsa tersebut untuk dikembangkan. Dan kata Ricky Elson, malah akan “diambil” dengan timnya. Dalam artian, sdm-sdm mumpuni kita lebih diapresiasi oleh tetangga ketimbang di rumah sendiri.

Kisah mobil listrik yang dipaksa terhenti risetnya atau ESEMKA yang juga telah lama mangkrak setelah dijadikan alat politik, adalah sekelumit catatan kelam dunia riset dan teknologi di Indonesia. Tepuk sorai dan kebanggaan yang pernah mengiringi sebagai pertanda adanya harapan besar yang menyala-nyala dari benak rakyat, malah kini dibiarkan karatan. Kesadaran bahwa sains dan teknologi adalah mahkota yang memuliakan bagi siapa yang menggunakannya, belumlah ada.

Pemerintah tak pernah mau belajar maju sebagaimana Jerman, Jepang atau Korea yang leading di bidang teknologi, menelurkan banyak merek dan produk digdaya yang kesemuanya bermula dari dukungan pemerintah di bidang riset dan teknologi. Panen dari dunia teknologi tersebut mereka dapatkan berkat investasi di dunia riset.

Belajar dari Jerman

Pameran Sains dan Teknologi Jerman-Indonesia yang diadakan di Museum Nasional (5 s.d 15 Oktober) dan di Intitut Teknologi Bandung  (28 Oktober s.d 3 November), menarik kita tengok sebagai mata air inspirasi untuk melihat bagaimana riset berkolaborasi dengan sains dan tekologi serta industri dalam memajukan negara. Keikutsertaan perusahaan-perusahaan kelas dunia dan lembaga maupun institusi riset-pendidikan ternama dari Jerman, adalah peluang bagi Indonesia mendulang manfaat dan mencari peluang kerjasama.

Tak tanggung-tanggung, pemerintah Jerman menggandeng perusahaan global asal Jerman seperti BMW, Schenker, Bayer, Bosch, Siemens, Lufthansa serta lembaga industri dan riset seperti Fraunhofer, ZMT, DAAD, DFG, KIT sebagai peserta pameran. Kesemua perusahaan dan lembaga riset industri itu, adalah mereka yang telah lama menjalin kerja sama dengan Indonesia. Perusahaan Jerman yang berpartisipasi dalam peserta eksibisi, datang dari jajaran daftar Fortune Global 500. Yaitu, 500 perusahaan terbaik secara global.

Melalui pameran ini, peran sains dan penelitian di Jerman nampak jelas dalam mendorong kemajuan negara. Keunggulan ilmiah, inovasi, dan kesuksesan ekonomi Jerman datang dari kawah cadradimuka yang bernama sains dan teknologi. Tajuk "Fostering Ideas" yang diusung memperlihatkan gambaran tentang lembaga penelitian ternama dan berbagai perusahaan papan atas Jerman yang mengambil peran besar bagi pembangunan negara dan dunia.

Maka melalui pameran yang mempertontonkan betapa signifikan peran riset, sain dan teknologi untuk memajukan Jerman, semoga mengetuk relung sanubari pemerintah untuk mengambil pelajaran yang dituangkan dalam kebijakan. Peluang sangat terbuka bagi Indonesia untuk mengembangkan riset. Jerman membuka diri sebagai mentor dan mitra, baik perusahaan maupun lembaga riset industrinya.