Mata Air Pikiran Mengalir Membentuk Kenyataan

  • Opini Kompas | IMF dan Malapraktik Diplomasi

    Jusman Dalle | Opini Harian Kompas Pemerintah memastikan bakal memberikan bantuan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9,4 triliun. Terkait komitmen Indonesia ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, IMF diharapkan tidak hanya menggunakan pinjaman ini untuk membantu negara-negara di Eropa, tetapi juga negara-negara di Asia dan Afrika.

  • Opini Republika | Urgensi Badan Haji

    Jusman Dalle - Opini Republika | Untuk mencapai tujuan pertama yaitu manfaat transformasi manajemen, Badan Haji yang nantinya bakal berfungsi sebagai eksekutor saja, merampingkan organisasi serta secara otomatis memotong rantai birokrasi bertingkat dan kompleks yang melibatkan banyak institusi. Badan Haji juga mengakhiri rezim monopoli kewenangan sebab Kemenag tinggal memegang satu fungsi, yaitu sebagai regulator sementara Komisi VIII DPR yang membawahi persoalan haji, berfungsi sebagai evaluator.

  • Profil Jusman Dalle

    Jusman juga menekuni digital marketing. Merancang dan membuat konten digital berupa tulisan (copywriter), visual dan audio visual untuk sejumlah perusahaan dan institusi skala nasional. Antara lain Partai Gerindra, Kedutaan Besar Jerman, Taksi Ekspress, Bank BTN, PLN, XL Axiata, Agung Podomoro Land, True Money, dll.

  • Rawan Pangan Negeri Pertanian

    Jusman Dalle - Opini Koran Tempo | Program revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan sejak 2005 masih sebatas lip service. Infrastruktur irigasi rusak parah, jalanan di desa-desa basis pertanian pun belum memadai. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 9,25 juta hektare juga baru sebatas “angin surga”.

19.12.14

Similaritas Geomoneter Rupiah

Oleh : Jusman Dalle
(Diterbitkan di kolom opini Republika, 19 Desember 2014))
***
Sukses pemulihan ekonomi Amerika Serikat yang diikuti oleh rencana penaikan suku bunga acuan pada awal tahun 2015 mendatang sebagaimana telah diagendakan oleh Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed, mengakibatkan gempa geomoneter. Mata uang berbagai Negara terguncang dan dibuat rapuh. Rupiah juga tertekan tajam diikuti oleh nilai tukar yang turun signifikan. Di atas berbagai mata uang dunia, dollar AS perkasa melanglang.
Gravitasi similaritas geomoneter merupakan daya tarik yang menyeret dinamika moneter global ke satu pusaran, tersebab ada dominasi persebaran mata uang yang jamak digunakan. Gravitasi geomoneter dikendalikan oleh dollar AS sebagai alat tukar dalam transaksi internasional, serta mata uang Negara ekonomi paling berpengaruh di dunia. Mata uang Indonesia tak luput menggantang kurs terperosok tajam, implikasi makin dalamnya hubungan dan ketergantungan ekonomi antar Negara.

Sebelumnya, beberapa tahun terakhir, dollar memang sempat berhijrah meninggalkan Amerika Serikat yang dirundung krisis. Khususnya paska krsisis keuangan tahun 2008 dan berlanjut ke tahun 2012. Ketika itu, dollar dibenamkan massal dalam bentuk investasi di negara-negara emerging market. Eksodus dollar sepanjang masa krisis, akibatkan daya gravitasinya atas geomoneter dunia sempat melemah. Namun kini kondisinya telah berbeda.
Proyeksi IMF, seperti dilansir oleh Bloomberg Businessweek, tahun 2015 merupakan momentum bagi ekonomi Paman Sam untuk back on track. Ekonomi AS diperkirakan tumbuh 4,8% atau tertinggi setelah krisis.  Sementara Negara-negara emerging market seperti Brasil, Rusia, India, Tiongkok dan  Indonesia serta sebagian Negara Timur Tengah, maupun Eropa dan Asia yang selama ini menagguk untung dari ekonomi AS yang buntung selama krisis, tahun 2015 malah diprediksi berbalik akan mengalami tahun kekecewaan di bidang ekonomi.
Namun sangat mengada-ada bila recovery ekonomi AS dijadikan alasan pembenaran dan pembiaran melemahnya nilai tukar rupiah atas dollar yang menyentuh level terendeh sejak krisis ekonomi tahun 1998. Penarikan uang dollar serentak dan besar-besaran atau outflow dari Indonesia seiring ekspektasi membaiknya ekonomi AS, adalah indikasi bila ekonomi Indonesia tidak kompetitif dan tak berdaulat. Tidak kompetitif sebab kalah hanya oleh harapan, sesuatu yang masih spekulatif terkait ekonomi AS kedepan.
Tidak berdaulat karena nilai tukar rupiah terhadap dollar sangat dependen pada modal asing yang dibenamkan di Indonesia. Dependensi ini merupakan resiko dari terlalu membuka kran investasi asing menguasai ekonomi Indonesia. Akibatnya, sedikit saja gejolak di luar, berimplikasi besar pada ekonomi Indonesia, termasuk dampak pada penurunan nilai tukar mata uang.
Padagalibnya, dipahami bahwa ketika spektrum ekonomi telah tercebur ke dalam globalisasi, maka stabilitas nilai mata uang tak bisa didapuk bila daya tawar ekonomi lemah. Dengan interkoneksi ekonomi yang nyaris tanpa sekat, terhubung oleh berbagai konsensus dagang internasional dan kebutuhan kerjasama yang luas, mestinya pemerintah menyiapkan diri.
Tiongkok jadi pelajaran bahwa agar tak jadi pecundang, sebelum memasuki belantara liberalisasi, butuh persiapan matang. Sejak tahun 1979, Tiongkok di bawah Deng Xiao Ping telah melakukan revolusi di bidang ekonomi dan belajar dari Singapura, termasuk menyiapkan komponen-komponen industri dan SDM. Maka ketika Tiongkok masuk ke dalam liberalisasi ekonomi, ia datang dengan gagah dan kepala tegak. Bahkan moyang kapitalisme, AS dibuat gagap.
Kebijakan permanen liberalisasi di berbagai sektor, utamanya sektor investasi yang akibatkan perekonomian tak bisa mandiri, tidak bakal bisa diatasi hanya dengan suntikan kebijakan generik yang temporer. Kasus terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap dollar sebab rupiah sangat bergantung pada ekonomi global, lalu diobati dengan penaikan suku bunga acuan, untuk jangka panjang malah kian melemahkan posisi Indonesia dalam percaturan ekonomi global. Sebab selamanya rupiah harus mengikuti irama ekonomi pengendali geomoneter yang diciptakan oleh dollar.
Dalam jangka pendek, penaikan suku bunga acuan memang bisa diharapkan membuat arus dollar masuk ke Indonesia secara massif, sebab para investor berburu return tinggi. Namun, masuknya modal asing ke Indonesia mengakibatkan masa depan rupiah justru sedang terperangkap dalam mata rantai kebergantungan.
Konsekuensi terlampau royal mengobral potensi dalam negeri ke investor asing, pemerintah kehilangan kekuasaan. Seperti kata Susan George, pengamat globalisasi yang kerap mengeritik liberalisme, bahwa bangsa, wilayah dan perusahaan yang ditempatkan dalam kompetisi untuk menarik investasi, hanya akan membuat pemerintah sulit mengatur perekonomian lantas kehilangan kendali. Maka rezim obral investasi kepada investor asing harus disudahi. Liberalisasi merupakan variable utama yang bikin nilai tukar mata uang rupiah melemah.
Potensi konsumsi domestik yang sangat tinggi dan berkontrobusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi, hanya jadi boomerang bagi kurs rupiah terhadap dollar jika komponen-komponen konsumsi disuplai dari impor atau digarap oleh investor asing. Maka pemerintah dituntut serius dorong industri lokal berkembang dengan modal dan bahan baku lokal.
Saat ini, industri kecil dan padat karya memang bisa bertumbuh dengan baik, tapi ia hanya memutar di sektor mikro saja yang jauh dari visibilitas penguatan rupiah. Sementara kebutuhan suplai barang dari sektor berteknologi tinggi, yang merupakan kebutuhan masyarakat kelas menengah-atas dan lapis terbesar penggerak ekonomi di sektor konsumsi, bersumber dari impor karena industri dalam negeri belum settle dan tidak kompetitif.
Di tengah pelemahan kurs rupiah atas dollar, target pertumbuhan ekonomi di atas 7% yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla harus direvisi. Satu hal yang fatal terhadap nilai tukar rupiah, bila di tengah realitas kurs yang terkulai dicanangkan pertumbuhan tinggi. Bukan apa-apa, pertumbuhan tinggi yang tidak disertai kesiapan hanya akan membuat rupiah kian terpuruk sebab kita akan terus mengimpor sebagai konsekuensi dari upaya mencapai target pertumbuhan. Impor berarti permintaan dollar akan terus tinggi.
Tak pantas mendewa-dewakan pertumbuhan ekonomi yang dihela oleh modal asing dan bahan baku impor. Ia hanya prestise dan gengsi yang miskin nilai. Pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh impor bukan konstruksi fondasi ekonomi yang presisi. Buktinya, saat ini pertumbuhan ekonomi lumayan tinggi, tapi rupiah malah dinobakan sebagai salah satu mata uang sampah karena saking lemah daya tukarnya. Rupiah malah terjebak di gravitasi similaritas geomoneter.
Maka menarik wacana yang dilontarkan guru besar ekonomi dan kebijakan publik Harvard University, Kenneth Rogoff yang mendorong agar kita mengkaji kembali mutlaknya pertumbuhan ekonomi yang cepat dan stabil sebagai segalanya dari awal dan akhir suatu kebijakan. Dengan tidak terlau ngotot jadikan pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya tolok ukur, di masa depan kurs rupiah atas dollar bisa lebih stabil.
KETERANGAN
  • Jusman Dalle adalah Analis Ekonomi Society Reseacrh and Humanity Development (SERUM) Institute dan Pernah Bekerja Sebagai Tenaga Ahli DPR RI