- Jusman Dalle adalah Analis Ekonomi Society Reseacrh and Humanity Development (SERUM) Institute dan Pernah Bekerja Sebagai Tenaga Ahli DPR RI
19.12.14
Similaritas Geomoneter Rupiah
Oleh : Jusman Dalle
(Diterbitkan di kolom opini Republika, 19 Desember 2014))
***
Sukses pemulihan ekonomi Amerika
Serikat yang diikuti oleh rencana penaikan suku bunga acuan pada awal tahun
2015 mendatang sebagaimana telah diagendakan oleh Bank Sentral Amerika Serikat
atau The Fed, mengakibatkan gempa geomoneter. Mata uang berbagai Negara terguncang
dan dibuat rapuh. Rupiah juga tertekan tajam diikuti oleh nilai tukar yang
turun signifikan. Di atas berbagai mata uang dunia, dollar AS perkasa
melanglang.
Gravitasi similaritas geomoneter merupakan
daya tarik yang menyeret dinamika moneter global ke satu pusaran, tersebab ada
dominasi persebaran mata uang yang jamak digunakan. Gravitasi geomoneter dikendalikan
oleh dollar AS sebagai alat tukar dalam transaksi internasional, serta mata
uang Negara ekonomi paling berpengaruh di dunia. Mata uang Indonesia tak luput
menggantang kurs terperosok tajam, implikasi makin dalamnya hubungan dan
ketergantungan ekonomi antar Negara.
Sebelumnya, beberapa tahun terakhir,
dollar memang sempat berhijrah meninggalkan Amerika Serikat yang dirundung
krisis. Khususnya paska krsisis keuangan tahun 2008 dan berlanjut ke tahun
2012. Ketika itu, dollar dibenamkan massal dalam bentuk investasi di
negara-negara emerging market. Eksodus dollar sepanjang masa
krisis, akibatkan daya gravitasinya atas geomoneter dunia sempat melemah. Namun
kini kondisinya telah berbeda.
Proyeksi IMF, seperti dilansir oleh
Bloomberg Businessweek, tahun 2015 merupakan momentum bagi ekonomi Paman Sam
untuk back on track. Ekonomi AS
diperkirakan tumbuh 4,8% atau tertinggi setelah krisis. Sementara Negara-negara emerging market seperti Brasil, Rusia, India, Tiongkok dan Indonesia serta sebagian Negara Timur Tengah,
maupun Eropa dan Asia yang selama ini menagguk untung dari ekonomi AS yang
buntung selama krisis, tahun 2015 malah diprediksi berbalik akan mengalami
tahun kekecewaan di bidang ekonomi.
Namun sangat mengada-ada bila recovery ekonomi AS dijadikan alasan
pembenaran dan pembiaran melemahnya nilai tukar rupiah atas dollar yang
menyentuh level terendeh sejak krisis ekonomi tahun 1998. Penarikan uang dollar
serentak dan besar-besaran atau outflow
dari Indonesia seiring ekspektasi membaiknya ekonomi AS, adalah indikasi bila ekonomi
Indonesia tidak kompetitif dan tak berdaulat. Tidak kompetitif sebab kalah
hanya oleh harapan, sesuatu yang masih spekulatif terkait ekonomi AS kedepan.
Tidak berdaulat karena nilai tukar
rupiah terhadap dollar sangat dependen pada modal asing yang dibenamkan di
Indonesia. Dependensi ini merupakan resiko dari terlalu membuka kran investasi
asing menguasai ekonomi Indonesia. Akibatnya, sedikit saja gejolak di luar,
berimplikasi besar pada ekonomi Indonesia, termasuk dampak pada penurunan nilai
tukar mata uang.
Padagalibnya, dipahami bahwa ketika
spektrum ekonomi telah tercebur ke dalam globalisasi, maka stabilitas nilai
mata uang tak bisa didapuk bila daya tawar ekonomi lemah. Dengan interkoneksi
ekonomi yang nyaris tanpa sekat, terhubung oleh berbagai konsensus dagang
internasional dan kebutuhan kerjasama yang luas, mestinya pemerintah menyiapkan
diri.
Tiongkok jadi pelajaran bahwa agar
tak jadi pecundang, sebelum memasuki belantara liberalisasi, butuh persiapan
matang. Sejak tahun 1979, Tiongkok di bawah Deng Xiao Ping telah melakukan
revolusi di bidang ekonomi dan belajar dari Singapura, termasuk menyiapkan
komponen-komponen industri dan SDM. Maka ketika Tiongkok masuk ke dalam
liberalisasi ekonomi, ia datang dengan gagah dan kepala tegak. Bahkan moyang
kapitalisme, AS dibuat gagap.
Kebijakan permanen liberalisasi di
berbagai sektor, utamanya sektor investasi yang akibatkan perekonomian tak bisa
mandiri, tidak bakal bisa diatasi hanya dengan suntikan kebijakan generik yang
temporer. Kasus terpuruknya nilai tukar rupiah terhadap dollar sebab rupiah
sangat bergantung pada ekonomi global, lalu diobati dengan penaikan suku bunga
acuan, untuk jangka panjang malah kian melemahkan posisi Indonesia dalam
percaturan ekonomi global. Sebab selamanya rupiah harus mengikuti irama ekonomi
pengendali geomoneter yang diciptakan oleh dollar.
Dalam jangka pendek, penaikan suku
bunga acuan memang bisa diharapkan membuat arus dollar masuk ke Indonesia
secara massif, sebab para investor berburu return tinggi. Namun, masuknya modal
asing ke Indonesia mengakibatkan masa depan rupiah justru sedang terperangkap
dalam mata rantai kebergantungan.
Konsekuensi terlampau royal mengobral
potensi dalam negeri ke investor asing, pemerintah kehilangan kekuasaan. Seperti
kata Susan George, pengamat globalisasi yang kerap mengeritik liberalisme,
bahwa bangsa, wilayah dan perusahaan yang ditempatkan dalam kompetisi untuk
menarik investasi, hanya akan membuat pemerintah sulit mengatur perekonomian
lantas kehilangan kendali. Maka rezim obral investasi kepada investor asing
harus disudahi. Liberalisasi merupakan variable utama yang bikin nilai tukar
mata uang rupiah melemah.
Potensi konsumsi domestik yang sangat
tinggi dan berkontrobusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi, hanya jadi boomerang bagi kurs rupiah terhadap
dollar jika komponen-komponen konsumsi disuplai dari impor atau digarap oleh
investor asing. Maka pemerintah dituntut serius dorong industri lokal
berkembang dengan modal dan bahan baku lokal.
Saat ini, industri kecil dan padat
karya memang bisa bertumbuh dengan baik, tapi ia hanya memutar di sektor mikro
saja yang jauh dari visibilitas penguatan rupiah. Sementara kebutuhan suplai
barang dari sektor berteknologi tinggi, yang merupakan kebutuhan masyarakat kelas
menengah-atas dan lapis terbesar penggerak ekonomi di sektor konsumsi,
bersumber dari impor karena industri dalam negeri belum settle dan tidak kompetitif.
Di tengah pelemahan kurs rupiah atas
dollar, target pertumbuhan ekonomi di atas 7% yang dicanangkan pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla harus direvisi. Satu hal yang fatal terhadap nilai
tukar rupiah, bila di tengah realitas kurs yang terkulai dicanangkan
pertumbuhan tinggi. Bukan apa-apa, pertumbuhan tinggi yang tidak disertai
kesiapan hanya akan membuat rupiah kian terpuruk sebab kita akan terus
mengimpor sebagai konsekuensi dari upaya mencapai target pertumbuhan. Impor
berarti permintaan dollar akan terus tinggi.
Tak pantas mendewa-dewakan
pertumbuhan ekonomi yang dihela oleh modal asing dan bahan baku impor. Ia hanya
prestise dan gengsi yang miskin nilai. Pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh
impor bukan konstruksi fondasi ekonomi yang presisi. Buktinya, saat ini pertumbuhan
ekonomi lumayan tinggi, tapi rupiah malah dinobakan sebagai salah satu mata
uang sampah karena saking lemah daya tukarnya. Rupiah malah terjebak di gravitasi
similaritas geomoneter.
Maka menarik wacana yang dilontarkan
guru besar ekonomi dan kebijakan publik Harvard University, Kenneth Rogoff yang
mendorong agar kita mengkaji kembali mutlaknya pertumbuhan ekonomi yang cepat
dan stabil sebagai segalanya dari awal dan akhir suatu kebijakan. Dengan tidak
terlau ngotot jadikan pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya tolok ukur, di
masa depan kurs rupiah atas dollar bisa lebih stabil.
KETERANGAN