***Ini bukan tulisan seorang psikolog, hanya suami (calon) psikolog yang setelah jadi ayah bagi Narafatih Navineo Raya, selalu mencari referensi dan berkontemplasi. Agar bisa mendidik tidak pakai cara-cara konvensional atau gaya lama, bercita-cita mampu “menciptakan” Raya jadi manusia hebat, insan di atas rata-rata.
4.12.14
Doktrin Salah Soal Cita-Cita
Sedari kecil,
oleh orang tua dan guru di sekolah kita telah diajarkan bercita-cita.
Pertanyaan yang jamak terlontar dari para orang tua, “ananda cita-citanya mau jadi apa?” atau bentuk frase tanya yang
serupa. Saking kuatnya doktrin untuk bercita-cita “mau jadi apa”, bahkan di buku-buku tulis yang selalu dilengkapi
biodata, kita harus torehkan cita-cita. Di usia yang masih belia, dunia anak
belum mengenal banyak profesi. Maka pertanyaan cita-cita “mau jadi apa”, adalah satu hal yang cukup berat dan kadang bikin
bingung.
Tak jarang
anak-anak yang masih lugu dan polos, belum mengerti profesi apa yang mesti
dicita-citakan, lantas nyontek cita-cita dari teman. Yang penting terbilang
keren atau populer. Biasanya, cita-cita anak-anak adalah yang kerap bersentuhan
dengan keseharian mereka. Misalnya cita-cita jadi dokter, jadi guru, jadi
tentara atau jadi polisi. Karena hanya pekerjaan-pekerjaan itu yang biasa
mereka lihat dan ketahui.
Saya memandang
penting untuk merangsang anak berpikir besar, sebab Indonesia melimpah SDM
namun masih sangat jarang yang membuat karya fenomenal, bermanfaat bagi umat
manusia, memperbaiki kualitas peradaban serta mengubah sejarah.
Sudahlah. Kalau
bisa, hentikan pertanyaan, “mau jadi apa”
yang ciptakan generasi berpikir kecil dan pendek. Mari ganti dengan
pertanyaan “mau ciptakan atau berkarya apa”.
Beri anak-anak kita pemantik agar memancangkan cita-cita besar. Cukup kita,
generasi masa lalu yang begini-begini saja. Tak bikin apa-apa. Karena memang selama
puluhan tahun kita didoktrin salah tentang cita-cita. Hanya diajarkan untuk “mau jadi apa” bukan distimulus untuk menciptakan sesuatu.
Kata Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, saat ini orang bisa dengan mudah
menjadi apa saja yang ia mau. Tapi setelah “menjadi” belum tentu ia menciptakan
atau melakukan sesuatu. Misalnya, seseorang dapat dengan mudah diangkat “menjadi” pemimpin karena faktor
keturunan atau melalui praktik yang tidak benar. Namun setelah “menjadi”, tak lantas mutlak ia bisa menciptakan sistem kepemimpinan yang
baik. Tak ada garansi ia betul betul berkarakter seperti pemimpin yang ideal
dan membawa sukses pada daerah atau institusi yang dipimpinnya. Banyak orang
yang jadi pemimpin tapi hanya
mengisi waktu (periode) kepemimpinan.
Karena saya juga
tinggal di Bandung, mari kita ambil contoh karya yang dicipta oleh pemimpin kota
yang sejuk ini. Gebrakan Walikota Bandung, Ridwan Kamil menarik jadi contoh
pemimpin yang berkarya, diantaranya : program membuat banyak taman, menata
pedestarian yang ramah bagi pejalan kaki bahkan ada jalur khusus untuk
penyandang difabel, membuat jalanan Bandung kini mulus semua, serta gang-gang yang
tadinya seram kini jadi benderang bermandikan cahaya lampu jalanan.
Saya merasakan, Kang
Emil adalah satu contoh pemimpin yang berbuat
atau melakukan sesuatu. Kang Emil tak sekadar menjadi (walikota) tapi berkarya untuk Bandung. Di ratusan daerah lain, banyak orang
yang menjadi kepala daerah seperti
Kang Emil, tapi tidak melakukan apa-apa.
Tidak ada karya.
Jadi kita para
orang tua, guru dan siapa saja pecinta anak-anak yang inginkan anak tak salah
memancang asa, sebelum menanyakan kepada anak tentang cita-cita, mestinya kita
buka cakrawala mereka. Sajikan penjelasan berbagai macam profesi dengan cara
menarik, lengkap dengan
temuan-temuannya. Sering bacakan kisah para penemu, creator dan inovator.
Ketimbang baca
dongeng kancil dan buaya, mending perbanyak referensi anak dari kisah para
penemu. Misalnya tentang kisah Thomas Alva Edison, atau cerita tentang inovator
seperti Steve Jobs dan lain sebagainya. Saya kira, kita kaya akan kisah para
tokoh pengubah sejarah dan dunia. Kisah mereka, akan menguatkan imajinasi
anak-anak kita sehingga ada panduan dalam bercita-cita untuk menjadi orang
besar menciptakan/berkarya sesuatu.
Akan lebih efektif
lagi jika sembari bacakan kisah Steve Jobs, berikan kepada anak kita iPhone
atau iPad serta handphone konvensional (non smartphone) agar secara aktual mereka
merasakan kehebatan Steve Jobs dengan membandingkan canggihnya hasil inovasi
yang dilakukan. Begitu juga dengan kisah-kisah manusia hebat lainnya, sertakan
bukti dan karya mereka untuk dirasakan sang anak. Agar kehebatan itu mengalir,
terserap ke dalam diri anak. Anak-anak biasanya suka simulasi, atau minimal ilustrasi.
Anda setuju
dengan pemikiran untuk mengganti pertanyaan pada anak, dari tanya “mau jadi apa” à “mau
bikin/berkarya apa”? Silahkan dibagikan ke teman-teman. Semoga bermanfaat
untuk masa depan Indonesia dan umat manusia.
Bintaro, 4 Desember 2014