Mata Air Pikiran Mengalir Membentuk Kenyataan

  • Opini Kompas | IMF dan Malapraktik Diplomasi

    Jusman Dalle | Opini Harian Kompas Pemerintah memastikan bakal memberikan bantuan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9,4 triliun. Terkait komitmen Indonesia ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, IMF diharapkan tidak hanya menggunakan pinjaman ini untuk membantu negara-negara di Eropa, tetapi juga negara-negara di Asia dan Afrika.

  • Opini Republika | Urgensi Badan Haji

    Jusman Dalle - Opini Republika | Untuk mencapai tujuan pertama yaitu manfaat transformasi manajemen, Badan Haji yang nantinya bakal berfungsi sebagai eksekutor saja, merampingkan organisasi serta secara otomatis memotong rantai birokrasi bertingkat dan kompleks yang melibatkan banyak institusi. Badan Haji juga mengakhiri rezim monopoli kewenangan sebab Kemenag tinggal memegang satu fungsi, yaitu sebagai regulator sementara Komisi VIII DPR yang membawahi persoalan haji, berfungsi sebagai evaluator.

  • Profil Jusman Dalle

    Jusman juga menekuni digital marketing. Merancang dan membuat konten digital berupa tulisan (copywriter), visual dan audio visual untuk sejumlah perusahaan dan institusi skala nasional. Antara lain Partai Gerindra, Kedutaan Besar Jerman, Taksi Ekspress, Bank BTN, PLN, XL Axiata, Agung Podomoro Land, True Money, dll.

  • Rawan Pangan Negeri Pertanian

    Jusman Dalle - Opini Koran Tempo | Program revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan sejak 2005 masih sebatas lip service. Infrastruktur irigasi rusak parah, jalanan di desa-desa basis pertanian pun belum memadai. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 9,25 juta hektare juga baru sebatas “angin surga”.

4.12.14

Doktrin Salah Soal Cita-Cita

Sedari kecil, oleh orang tua dan guru di sekolah kita telah diajarkan bercita-cita. Pertanyaan yang jamak terlontar dari para orang tua, “ananda cita-citanya mau jadi apa?” atau bentuk frase tanya yang serupa. Saking kuatnya doktrin untuk bercita-cita “mau jadi apa”, bahkan di buku-buku tulis yang selalu dilengkapi biodata, kita harus torehkan cita-cita. Di usia yang masih belia, dunia anak belum mengenal banyak profesi. Maka pertanyaan cita-cita “mau jadi apa”, adalah satu hal yang cukup berat dan kadang bikin bingung.


Tak jarang anak-anak yang masih lugu dan polos, belum mengerti profesi apa yang mesti dicita-citakan, lantas nyontek cita-cita dari teman. Yang penting terbilang keren atau populer. Biasanya, cita-cita anak-anak adalah yang kerap bersentuhan dengan keseharian mereka. Misalnya cita-cita jadi dokter, jadi guru, jadi tentara atau jadi polisi. Karena hanya pekerjaan-pekerjaan itu yang biasa mereka lihat dan ketahui.
Saya memandang penting untuk merangsang anak berpikir besar, sebab Indonesia melimpah SDM namun masih sangat jarang yang membuat karya fenomenal, bermanfaat bagi umat manusia, memperbaiki kualitas peradaban serta mengubah sejarah.

Sudahlah. Kalau bisa, hentikan pertanyaan, “mau jadi apa” yang ciptakan generasi berpikir kecil dan pendek. Mari ganti dengan pertanyaan “mau ciptakan atau berkarya apa”. Beri anak-anak kita pemantik agar memancangkan cita-cita besar. Cukup kita, generasi masa lalu yang begini-begini saja. Tak bikin apa-apa. Karena memang selama puluhan tahun kita didoktrin salah tentang cita-cita. Hanya diajarkan untuk “mau jadi apa” bukan distimulus untuk menciptakan sesuatu.

Kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, saat ini orang bisa dengan mudah menjadi apa saja yang ia mau. Tapi setelah “menjadi” belum tentu ia menciptakan atau melakukan sesuatu. Misalnya, seseorang dapat dengan mudah diangkat “menjadi” pemimpin karena faktor keturunan atau melalui praktik yang tidak benar. Namun setelah “menjadi”, tak lantas mutlak ia bisa menciptakan sistem kepemimpinan yang baik. Tak ada garansi ia betul betul berkarakter seperti pemimpin yang ideal dan membawa sukses pada daerah atau institusi yang dipimpinnya. Banyak orang yang jadi pemimpin tapi hanya mengisi waktu (periode) kepemimpinan.

Karena saya juga tinggal di Bandung, mari kita ambil contoh karya yang dicipta oleh pemimpin kota yang sejuk ini. Gebrakan Walikota Bandung, Ridwan Kamil menarik jadi contoh pemimpin yang berkarya, diantaranya : program membuat banyak taman, menata pedestarian yang ramah bagi pejalan kaki bahkan ada jalur khusus untuk penyandang difabel, membuat jalanan Bandung kini mulus semua, serta gang-gang yang tadinya seram kini jadi benderang bermandikan cahaya lampu jalanan.

Saya merasakan, Kang Emil adalah satu contoh pemimpin yang berbuat atau melakukan sesuatu. Kang Emil tak sekadar menjadi (walikota) tapi  berkarya untuk Bandung. Di ratusan daerah lain, banyak orang yang menjadi kepala daerah seperti Kang Emil, tapi tidak melakukan apa-apa. Tidak ada karya.

Jadi kita para orang tua, guru dan siapa saja pecinta anak-anak yang inginkan anak tak salah memancang asa, sebelum menanyakan kepada anak tentang cita-cita, mestinya kita buka cakrawala mereka. Sajikan penjelasan berbagai macam profesi dengan cara menarik,  lengkap dengan temuan-temuannya. Sering bacakan kisah para penemu, creator dan inovator.

Ketimbang baca dongeng kancil dan buaya, mending perbanyak referensi anak dari kisah para penemu. Misalnya tentang kisah Thomas Alva Edison, atau cerita tentang inovator seperti Steve Jobs dan lain sebagainya. Saya kira, kita kaya akan kisah para tokoh pengubah sejarah dan dunia. Kisah mereka, akan menguatkan imajinasi anak-anak kita sehingga ada panduan dalam bercita-cita untuk menjadi orang besar menciptakan/berkarya sesuatu.

Akan lebih efektif lagi jika sembari bacakan kisah Steve Jobs, berikan kepada anak kita iPhone atau iPad serta handphone konvensional (non smartphone) agar secara aktual mereka merasakan kehebatan Steve Jobs dengan membandingkan canggihnya hasil inovasi yang dilakukan. Begitu juga dengan kisah-kisah manusia hebat lainnya, sertakan bukti dan karya mereka untuk dirasakan sang anak. Agar kehebatan itu mengalir, terserap ke dalam diri anak. Anak-anak biasanya suka simulasi, atau minimal ilustrasi.

Anda setuju dengan pemikiran untuk mengganti pertanyaan pada anak, dari tanya “mau jadi apa” à “mau bikin/berkarya apa”? Silahkan dibagikan ke teman-teman. Semoga bermanfaat untuk masa depan Indonesia dan umat manusia.

***Ini bukan tulisan seorang psikolog, hanya suami (calon) psikolog yang setelah jadi ayah bagi Narafatih Navineo Raya, selalu mencari referensi dan berkontemplasi. Agar bisa mendidik tidak pakai cara-cara konvensional atau gaya lama, bercita-cita mampu “menciptakan” Raya jadi manusia hebat, insan di atas rata-rata.
Bintaro, 4 Desember 2014