Mata Air Pikiran Mengalir Membentuk Kenyataan

  • Opini Kompas | IMF dan Malapraktik Diplomasi

    Jusman Dalle | Opini Harian Kompas Pemerintah memastikan bakal memberikan bantuan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9,4 triliun. Terkait komitmen Indonesia ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, IMF diharapkan tidak hanya menggunakan pinjaman ini untuk membantu negara-negara di Eropa, tetapi juga negara-negara di Asia dan Afrika.

  • Opini Republika | Urgensi Badan Haji

    Jusman Dalle - Opini Republika | Untuk mencapai tujuan pertama yaitu manfaat transformasi manajemen, Badan Haji yang nantinya bakal berfungsi sebagai eksekutor saja, merampingkan organisasi serta secara otomatis memotong rantai birokrasi bertingkat dan kompleks yang melibatkan banyak institusi. Badan Haji juga mengakhiri rezim monopoli kewenangan sebab Kemenag tinggal memegang satu fungsi, yaitu sebagai regulator sementara Komisi VIII DPR yang membawahi persoalan haji, berfungsi sebagai evaluator.

  • Profil Jusman Dalle

    Jusman juga menekuni digital marketing. Merancang dan membuat konten digital berupa tulisan (copywriter), visual dan audio visual untuk sejumlah perusahaan dan institusi skala nasional. Antara lain Partai Gerindra, Kedutaan Besar Jerman, Taksi Ekspress, Bank BTN, PLN, XL Axiata, Agung Podomoro Land, True Money, dll.

  • Rawan Pangan Negeri Pertanian

    Jusman Dalle - Opini Koran Tempo | Program revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan sejak 2005 masih sebatas lip service. Infrastruktur irigasi rusak parah, jalanan di desa-desa basis pertanian pun belum memadai. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 9,25 juta hektare juga baru sebatas “angin surga”.

22.11.14

Melihat Interstellar dari Sudut Kritik Propaganda Amerika


Mari selalu berupaya melihat misi yang disisipkan di balik setiap film buatan Hollywood yang kita tonton. Pun menyaksikan film INTERSTELLAR, sebagai pengigat, kira-kira ini catatan kritis yang perlu jadi filter tentang sinema bergenre fiksi ilmiah tersebut. Agar ketika menikmati keindahan sinematik yang tersaji di Interstellar, kita tetap melihatnya secara kritis.
Film ini, tak ubahnya film lain tentang bakal berakhirnya kehidupan di bumi karena berbagai faktor internal maupun karena faktor eksternal. Di berbagai film produksi Hollywood, biosfir kerap digambarkan sebagai lapisan yang tak lagi ramah dihuni. Entah itu karena terjadi serangan alien, bencana alam, wabah penyakit mematikan, kelangkaan pangan, dan bahkan perang diciptakan sebagai instrumen jika bumi dalam krisis teramat parah sehingga layak untuk dikosongkan.

Propaganda serupa juga terjadi di film Interstellar. Dimana bumi digambarkan sedang sakit dan harus ditinggalkan.  Film ini menambah daftar panjang alat propaganda dan kerja keras Amerika Serikat (AS) mengisi pikiran masyarakat dunia dengan ketakutan, bahwa kehidupan di bumi akan punah. Interstellar seolah-olah ingin menegaskan perihal datangya “kiamat” yang hanya akan terjadi di planet bumi, tidak di planet lain. Namun kiamat di bumi dapat kita hindari. Menghindari kiamat tersebut, AS ajarkan caranya melalui berbagai temuan mereka, seperti dikesankan di dalam film Interstellar.
Padahal, jikalau mau jujur, secara nyata, kerusakan di planet ini berkat peran besar AS. Berpusat di AS, mesin kapitalisme bekerja tanpa jeda, mengeksploitasi sumber daya alam yang ada.
Sementara ketakutan hidup di bumi merebak, imajinasi perjalanan antar galaksi/bintang (interstellar) untuk mencari planet lain sebagai rumah baru, dijejalkan dengan pendekatan saintifik untuk peroleh legitimasi tanpa bantahan. Secara halus dan ilmiah, manusia disuruh eksodus ke planet antah berantah.
Pemerintah beberapa negara, secara ekonomi rugi habiskan anggaran bikin riset dan roket untuk menembus ruang semesta. AS, si negara kaya sebaliknya. Pengeluaran menuju luar angkasa adalah investasi. Sebab dari situ dapur bisnisnya mengepul. Banyak industri yang dihidupi oleh kelatahan negara lain ingin ikut jejak AS jadi pelancong alam raya. Kahususnya bisnis persenjataan dan bisnis yang berkaitan dengan penjelajahan ke antariksa.
Musykilnya, sementara perhatian manusia tersedot ke luar angkasa yang tanpa batas, AS malah sibuk menjajah bumi, menyedot habis seluruh isinya dengan berbagai cara. Entah itu dengan cara-cara yang soft lewat diplomasi ekonomi, budaya dan politik, maupun dengan penggunaan kekuatan militer. Singkatnya, ketika perhatian dunia semua tertuju ke luar angkasa,  dalam diam minim sorotan, AS mengeksploitasi sumber daya alam di berbagai Negara. Perlahan, planet yang luas dan masih sangat kaya raya ini jatuh ke dalam hegemoni mereka.
Negara-negara lain yang terbawa irama AS untuk jelajah semesta, gagal menemukan kehidupan baru di luar sana. Habis anggaran untuk riset, serta juga menderita kekurangan. Sebab, kian banyak Negara tanpa sadar melepaskan sumber daya alam mereka ke berbagai perusahaan AS, di bawah tekanan berbagai konsensus dagang atas nama globalisasi. Lagi-lagi, AS yang menguasai. AS cerdik, juga licik. Menadah kekayaan serta sumber daya melimpah, dengan menciptakan ketakutan pada mulanya. Termasuk ketakutan yang ditebar lewat sinema.

Sebagai seorang muslim, kita sangat dan bahkan wajib mendukung perkembangan ilmu pengetahuan yang membuka tabir misteri, betapa luasnya ciptaan Allah SWT yang betul-betul tak berbatas dan memilki kerumitan dimensi ruang-waktu yang sulit dipahami manusia. Tapi kalau sains digunakan untuk membodoh-bodohi dan menakut-nakuti agar manusia berpikir untuk tinggalkan planet bumi, saya kira itu sudah menyesatkan dan patut dibenci.
Oh ya, satu lagi. Di Interstellar diceritakan tentang hukum relativitas Albert Einstein yang mengungkap perbedaan waktu di bumi dengan galaksi lain. Perbandingannya sehari di galaksi lain, tujuh tahun di bumi. Kalau di dalam Al Qur’an surat As Sajadah ayat 5 (silahkan cek Al Qur’an), seribu tahun di bumi, hanya setara sehari dengan di luar angkasa sana.
Salam Akal Sehat!
Bintaro, 7 November 2014