
11.8.14
Urbanisasi Pasca-Idul Fitri

Selama
ini, kaum urban masih dipandang sebagai masalah. Ketiadaan keterampilan serta
tingkat pendidikan yang tidak kompetitif untuk bersaing di kota, menyebabkan
banyak diantara kaum urban akhirnya bekerja serabutan. Bahkan, tak jarang kaum
pendatang dari desa ini menjadi problem bagi pemerintah setempat kota tujuan
urbanisasi.
Faktor Penarik dan Pendorong
Bila
ditelusuri secara mendalam akar musababnya, urbanisasi bukanlah fenomena
tunggal. Gelombang massa dari desa ke kota ini disebabkan oleh beberapa faktor
penarik. Pertama. urbanisasi menandai kuatnya magnetisme kota sebagai tempat
memenuhi kebutuhan ekonomi karena perputaran uang lebih besar. Kota adalah
pusat aktivitas bisnis, sentra industri serta
sentrum kebijakan administratif sehingga menyediakan banyak lapangan
kerja. Mencari penghidupan di kota lebih menjanjikan. Insting defensif yang
merupakan naluri yang sangat manusiawi, mengintroduksi imajinasi jika beranjak ke
kota untuk mengadu nasib menggamit masa depan adalah pilihan terbaik. Kota
dipandang sebagai tempat yang tepat untuk membangun mimpi-mimpi ekonomi.
Kedua,
ada semacam kesepakatan tak tertulis yang berlaku di tengah-tengah masyarakat
jika menjadi “orang kota” adalah sebuah prestise tersendiri. Masyarakat kota
dihargai sebagai satu kelas ekslusif di dalam masyarakat kita. Propaganda media
televisi, utamanya tayangan film atau sinetron, mengonstruksi satu citra jika
menjadi “orang kota” adalah kebanggaan.
Model
stratifikasi sosial yang abstrak ini tak lepas dari peradaban kota yang lebih
maju karena ditunjang oleh berbagai fasilitas seperti lembaga-lembaga
pendidikan berkualitas, akses informasi yang cepat, pusat layanan kesehatan
nomor satu, hingga pemanjaan penduduk kota dengan pusat-pusat perbelanjaan
serta berbagai sarana liburan dan hiburan. Kota mampu memenuhi kebutuhan dengan
fasilitas berkelas. Secara rasional, modernisme dan ekslusifisme masyarakat
kota dijelaskan oleh kelengkapan fasilitas tersebut.
Selain
faktor penarik dari kota tujuan, urbanisasi juga disebabkan oleh faktor
pendorong yang dari kampung asal. Faktor pendorong pertama adalah stagnasi
pembangunan desa, bahkan cenderung mengalami kemunduran akibat konversi lahan
pertanian menjadi perumahan serta peruntukan lain yang tak relevan dan
meruntuhkan kearifan lokal, adalah alasan mendasar mengapa banyak masyarakat
desa memilih hijrah ke kota.
Desa
yang dulu digambarkan asri, damai dan menyajikan harmoni dengan alam, kini
tandas dan tersisa hanya cerita. Pesona desa memudar oleh eksploitasi dan
kapitalisasi yang tidak memihak pada penduduk desa. Urbanisasi adalah ritus
sarkastik non verbal, menggantang makna bila desa tidak lagi menarik sehingga
tak layak huni.
Kedua,
dorongan kesadaran kosmik-teologis yang memandang urbanisasi merupakan bagian
dari ibadah. Agama Islam, secara tersirat menganjurkan umatnya untuk merantau. Tradisi
merantau bahkan dicontohkan oleh para Nabi, ulama dan orang-orang besar, baik
untuk menuntut ilmu maupun menyebarkan kebaikan. Perintah ini yang secara
tersirat dan tersurat banyak disebutkan di dalam Al Qur’an dengan frasa dan
kisah berbeda. Misalnya “bertebaran di muka bumi” (62:10), “mengutus seorang
rasul di ibu kotanya” (28 : 59), atau “dan dia Musa masuk ke kota Memphis)”
(28:15).
Di
dalam Islam, merantau dengan tujuan untuk menuntut ilmu atau tujuan-tujuan
kebaikan lainnya, bahkan disamakan dengan berada dijalan Allah (fii sabililah). Dimensi kosmik-teologis
ini menjadi sumbu spiritual yang terus menyalakan bara semangat para kaum urban
untuk mencapai kehidupan lebih baik.
Ketiga,
dorongan kebudayaan. Bagi beberapa etnis masyarakat Indonesia seperti Bugis,
Makassar dan Minang, urbanisasi yang dalam terma budaya disebut merantau merupakan
kearifan lokal. Merantau mengajarkan
banyak value yang tak diperoleh di kampung
halaman, seperti penguatan nilai pendidikan untuk survive, kemandirian serta toleransi
heterogenitas. Menjadi kaum urban berarti mematut ritus sakral meluah dimensi
nilai tinggi. Urbanisasi yang memperoleh legitimasi budaya akhirnya muncul
secara spiritual, sebagai habitus yang tak mungkin dapat dicegah atau diamputasi dari akar kehidupan bangsa
Indonesia.
Tuah UU Desa
Daripada
membatasi animo masyarakat melakukan urbanisasi dengan operasi yustisi atau sweeping pendatang baru lalu memaksa
mereka pulang kampung yang akhirnya juga ternyata kurang efektif, lebih bijak
jika pemerintah melakukan intropeksi diri aktual secara mendalam. Yakni
melakukan akselerasi pembangunan desa yang secara resmi telah memiliki payung
hukum melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang lalu
didetailkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Dengan
payung hukum tersebut, diharapkan agar pembangunan tidak lagi hanya terkonsentrasi
di kota atau pada daerah tertentu saja yang akhirnya mengakibatkan disparitas
spasial. UU Desa yang beberapa tahun diperjuangkan dan disiapkan oleh para
wakil rakyat adalah kristal harapan akan terwujudnya pemerataan pembangunan dan
tercapainya keadilan sosial ekonomi sebagai satu langkah efektif mereduksi
gelombang urbanisasi sebagaimana salah satu fundamen spirit pembuatan UU Desa.
Untuk melihat hasil transformasi UU Desa
menjadi produk pembangunan yang menyulap puluhan ribu desa di Indonesia menjadi
lebih modern dan maju, memang butuh proses dan durasi waktu yang lama. Besar
harapan, tuah UU Desa membawa kesejahteraan bagi masyarakat di kampung-kampung.
UU Desa adalah upaya sistematis dan jangka panjang mewujudkan ekualitas
frekuensi pembangunan dari kota-kota hingga ke desa-desa sehingga urbanisasi
untuk sekadar mengubah harkat ekonomi tak lagi menjadi sebuah alasan.
***Artikel ini diterbitkan oleh Harian Republika edisi Sabtu, 2 Agustus 2014