Mata Air Pikiran Mengalir Membentuk Kenyataan

  • Opini Kompas | IMF dan Malapraktik Diplomasi

    Jusman Dalle | Opini Harian Kompas Pemerintah memastikan bakal memberikan bantuan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9,4 triliun. Terkait komitmen Indonesia ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, IMF diharapkan tidak hanya menggunakan pinjaman ini untuk membantu negara-negara di Eropa, tetapi juga negara-negara di Asia dan Afrika.

  • Opini Republika | Urgensi Badan Haji

    Jusman Dalle - Opini Republika | Untuk mencapai tujuan pertama yaitu manfaat transformasi manajemen, Badan Haji yang nantinya bakal berfungsi sebagai eksekutor saja, merampingkan organisasi serta secara otomatis memotong rantai birokrasi bertingkat dan kompleks yang melibatkan banyak institusi. Badan Haji juga mengakhiri rezim monopoli kewenangan sebab Kemenag tinggal memegang satu fungsi, yaitu sebagai regulator sementara Komisi VIII DPR yang membawahi persoalan haji, berfungsi sebagai evaluator.

  • Profil Jusman Dalle

    Jusman juga menekuni digital marketing. Merancang dan membuat konten digital berupa tulisan (copywriter), visual dan audio visual untuk sejumlah perusahaan dan institusi skala nasional. Antara lain Partai Gerindra, Kedutaan Besar Jerman, Taksi Ekspress, Bank BTN, PLN, XL Axiata, Agung Podomoro Land, True Money, dll.

  • Rawan Pangan Negeri Pertanian

    Jusman Dalle - Opini Koran Tempo | Program revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan sejak 2005 masih sebatas lip service. Infrastruktur irigasi rusak parah, jalanan di desa-desa basis pertanian pun belum memadai. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 9,25 juta hektare juga baru sebatas “angin surga”.

11.8.14

Urbanisasi Pasca-Idul Fitri

Perpindahan penduduk dari desa ke kota atau urbanisasi, merupakan fenomena sosial yang terulang setiap tahun pasca perayaan lebaran Idul Fitri. Bersama kafilah pemudik (kaum urban lama) yang melakukan arus balik ke kota setelah pulang kampung, kaum urban baru beranjak ke kota-kota. Akibatnya, pasca Idul Fitri, kota-kota besar di Indonesia bertambah padat dibanjiri oleh pendatang baru.
Selama ini, kaum urban masih dipandang sebagai masalah. Ketiadaan keterampilan serta tingkat pendidikan yang tidak kompetitif untuk bersaing di kota, menyebabkan banyak diantara kaum urban akhirnya bekerja serabutan. Bahkan, tak jarang kaum pendatang dari desa ini menjadi problem bagi pemerintah setempat kota tujuan urbanisasi.
Jika tidak dikelola, urbanisasi memang menjadi momok. Alih-alih menjadi kekuatan sumber daya manusia potensial, kaum urban kerap hanya membawa masalah baru bagi kota-kota besar yang sebelumnya telah terbelit oleh kompleksitas problem sosial dan ekonomi, seperti kepadatan penduduk yang mereduksi ruang terbuka (public space), angka pengangguran dan kemiskinan tinggi, tindak kriminalitas merajalela, krisis sumber air bersih dan kerusakan lingkungan, serta berbagai problem turunan yang berakar dari kegagalan mengelola kaum urban.
Faktor Penarik dan Pendorong
Bila ditelusuri secara mendalam akar musababnya, urbanisasi bukanlah fenomena tunggal. Gelombang massa dari desa ke kota ini disebabkan oleh beberapa faktor penarik. Pertama. urbanisasi menandai kuatnya magnetisme kota sebagai tempat memenuhi kebutuhan ekonomi karena perputaran uang lebih besar. Kota adalah pusat aktivitas bisnis, sentra industri serta  sentrum kebijakan administratif sehingga menyediakan banyak lapangan kerja. Mencari penghidupan di kota lebih menjanjikan. Insting defensif yang merupakan naluri yang sangat manusiawi, mengintroduksi imajinasi jika beranjak ke kota untuk mengadu nasib menggamit masa depan adalah pilihan terbaik. Kota dipandang sebagai tempat yang tepat untuk membangun mimpi-mimpi ekonomi.
Kedua, ada semacam kesepakatan tak tertulis yang berlaku di tengah-tengah masyarakat jika menjadi “orang kota” adalah sebuah prestise tersendiri. Masyarakat kota dihargai sebagai satu kelas ekslusif di dalam masyarakat kita. Propaganda media televisi, utamanya tayangan film atau sinetron, mengonstruksi satu citra jika menjadi “orang kota” adalah kebanggaan.
Model stratifikasi sosial yang abstrak ini tak lepas dari peradaban kota yang lebih maju karena ditunjang oleh berbagai fasilitas seperti lembaga-lembaga pendidikan berkualitas, akses informasi yang cepat, pusat layanan kesehatan nomor satu, hingga pemanjaan penduduk kota dengan pusat-pusat perbelanjaan serta berbagai sarana liburan dan hiburan. Kota mampu memenuhi kebutuhan dengan fasilitas berkelas. Secara rasional, modernisme dan ekslusifisme masyarakat kota dijelaskan oleh kelengkapan fasilitas tersebut.
Selain faktor penarik dari kota tujuan, urbanisasi juga disebabkan oleh faktor pendorong yang dari kampung asal. Faktor pendorong pertama adalah stagnasi pembangunan desa, bahkan cenderung mengalami kemunduran akibat konversi lahan pertanian menjadi perumahan serta peruntukan lain yang tak relevan dan meruntuhkan kearifan lokal, adalah alasan mendasar mengapa banyak masyarakat desa memilih hijrah ke kota.
Desa yang dulu digambarkan asri, damai dan menyajikan harmoni dengan alam, kini tandas dan tersisa hanya cerita. Pesona desa memudar oleh eksploitasi dan kapitalisasi yang tidak memihak pada penduduk desa. Urbanisasi adalah ritus sarkastik non verbal, menggantang makna bila desa tidak lagi menarik sehingga tak layak huni.
Kedua, dorongan kesadaran kosmik-teologis yang memandang urbanisasi merupakan bagian dari ibadah. Agama Islam, secara tersirat menganjurkan umatnya untuk merantau. Tradisi merantau bahkan dicontohkan oleh para Nabi, ulama dan orang-orang besar, baik untuk menuntut ilmu maupun menyebarkan kebaikan. Perintah ini yang secara tersirat dan tersurat banyak disebutkan di dalam Al Qur’an dengan frasa dan kisah berbeda. Misalnya “bertebaran di muka bumi” (62:10), “mengutus seorang rasul di ibu kotanya” (28 : 59), atau “dan dia Musa masuk ke kota Memphis)” (28:15).
Di dalam Islam, merantau dengan tujuan untuk menuntut ilmu atau tujuan-tujuan kebaikan lainnya, bahkan disamakan dengan berada dijalan Allah (fii sabililah). Dimensi kosmik-teologis ini menjadi sumbu spiritual yang terus menyalakan bara semangat para kaum urban untuk mencapai kehidupan lebih baik.
Ketiga, dorongan kebudayaan. Bagi beberapa etnis masyarakat Indonesia seperti Bugis, Makassar dan Minang, urbanisasi yang dalam terma budaya disebut merantau merupakan kearifan lokal.  Merantau mengajarkan banyak value yang tak diperoleh di kampung halaman, seperti penguatan nilai pendidikan untuk survive, kemandirian serta toleransi heterogenitas. Menjadi kaum urban berarti mematut ritus sakral meluah dimensi nilai tinggi. Urbanisasi yang memperoleh legitimasi budaya akhirnya muncul secara spiritual, sebagai habitus yang tak mungkin dapat dicegah atau  diamputasi dari akar kehidupan bangsa Indonesia.
Tuah UU Desa
Daripada membatasi animo masyarakat melakukan urbanisasi dengan operasi yustisi atau sweeping pendatang baru lalu memaksa mereka pulang kampung yang akhirnya juga ternyata kurang efektif, lebih bijak jika pemerintah melakukan intropeksi diri aktual secara mendalam. Yakni melakukan akselerasi pembangunan desa yang secara resmi telah memiliki payung hukum melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang lalu didetailkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Dengan payung hukum tersebut, diharapkan agar pembangunan tidak lagi hanya terkonsentrasi di kota atau pada daerah tertentu saja yang akhirnya mengakibatkan disparitas spasial. UU Desa yang beberapa tahun diperjuangkan dan disiapkan oleh para wakil rakyat adalah kristal harapan akan terwujudnya pemerataan pembangunan dan tercapainya keadilan sosial ekonomi sebagai satu langkah efektif mereduksi gelombang urbanisasi sebagaimana salah satu fundamen spirit pembuatan UU Desa.
 Untuk melihat hasil transformasi UU Desa menjadi produk pembangunan yang menyulap puluhan ribu desa di Indonesia menjadi lebih modern dan maju, memang butuh proses dan durasi waktu yang lama. Besar harapan, tuah UU Desa membawa kesejahteraan bagi masyarakat di kampung-kampung. UU Desa adalah upaya sistematis dan jangka panjang mewujudkan ekualitas frekuensi pembangunan dari kota-kota hingga ke desa-desa sehingga urbanisasi untuk sekadar mengubah harkat ekonomi tak lagi menjadi sebuah alasan.

***Artikel ini diterbitkan oleh Harian Republika edisi Sabtu, 2 Agustus 2014