|
image/cvplaza.com |
“First you make habits, then your habits make you”, demikian tulis Ilene Segalove di dalam buku berjudul 40 Days and 40 Nights: Taking
Time Out for Self-Discover . Saya setuju dengan ungkapan
yang berarti “Pertama kamu membuat kebiasaan, maka kebiasaan akan ‘membuat’
kamu” tersebut. Merujuk pada kisah orang-orang yang sukses dalam karir dan
minatnya masing-masing, tak dapat dimungkiri bila buah keberhasilan mereka
berkat disiplin dalam merawat kebiasaan berkualitas di dalam hidupnya.
Jika boleh meminjam ungkapan yang juga dipopulerkan oleh Stephen
Covey di dalam bukunya 7 Habits of Highly Effective People tersebut,
dan mengubah dalam sudut renung berbeda, saya ingin menulis “First you make
hobbies, then your hobbies make you.” Ya, Pada awalnya kamu membuat
hobi, kemudian hobi yang akan membuat kamu.
Selain kebiasaan (habits) yang lebih tepat diasosiasikan
pada kata sifat, saya percaya bila hobi (hobbies) juga merupakan satu
kata kunci kesuksesan. Hobi merupakan aktivitas dalam rupa pekerjaan yang kita
senangi dan lakukan berulang-ulang. Karena menekuni hobi, beberapa orang
kemudian menjadi ahli.
Kebiasaan dengan hobi memang mirip, tidak persis sama. Ia berjarak
pada bentuk aktivitasnya. Saya tegaskan kembali, kebiasaan lebih
dikesankan pada kata sifat dan buahnya adalah akhlak, atitude
atau perilaku. Sedangkan hobi biasanya berupa kata kerja. Karena itu,
orang yang mematuti hobi akan jadi terampil. Hobi erat kaitannya
dengan bakat (talent).
Telah jamak terkisah dalam ragam cerita seorang pengusaha, atlit, politisi,
hingga selebriti, bila awal mula mereka meniti sukses berangkat dari sebuah
hobi. Mungkin karena itu, sejak TK atau SD guru-guru kita telah mengajari kita membuat hobi. Agar ia melekat persis
dibenak dan keseharian. Pun, di berbagai form biodata biasanya ada kolom
khusus hobi.
Saya mau mencontohkan diri sendiri. Saya termasuk orang yang
memiliki banyak hobi. Sejauh ini ada dua hobi saya yang telah menghasilkan,
serta ada lagi satu hobi baru yang sedang giat-giatnya saya rawat. Pertama adalah
hobi desain grafis yang sesungguhnya berkar dari apresiasi tinggi terhadap
karya seni. Sebab semua hal yang berbagu seni, pasti saya senangi.
Hobi desain grafis belum lama saya tekuni. Saya mengaktualisasikan hobi ini dengan menggunakan komputer. Pertama kali saya menyentuh
komputer tahun 2005 atau kelas tiga SMA waktu itu. Parahnya lagi, saya baru bisa
mengoperasikan komputer saat kuliah semester satu. Namun walau terbilang baru
dalam dunia komputerisasi, debut saya langsung produktif di dunia perkomputeran. Pada
satu kesempatan, karya desain saya ikutkan dalam Kompetsisi Desain
Grafis Tingkat Nasional, selain menyabet 'gelar' Desain Terfavorit juga masuk kategori Top Five alias Lima
Besar. Itu terjadi ditahun ketiga atau keempat saya bisa mengoperasikan
komputer.
|
image/buzz-network.blogspot.com |
Anak-anak jaman sekarang, kalau kata Profesor Rhenald Kasali, baru
lahir sudah pegang mouse, sudah akrab gadget dan perangkat
teknologi tapi ternyata justru terperangkap. Anak-anak masa kini malah konsumtif
menggunakan komputer. Hanya menghabiskan uang orang tua dan masa dininya untuk
bermain game online. Memprihatinkan!
Kembali ke soal hobi desain grafis, karena hobi ini juga saya
memulai bisnis dan masih berjalan sampai sekarang. Bisnis ini menjadi salah satu sumber penghasilan saya. Saya kadang diminta membuat desain logo organisasi atau
perusahaan, desain undangan, baju dan lain-lain. Omsetnya sih belum gede,
paling antara Rp 20 juta sampai Rp 40 juta perbulan.
Hobi saya yang kedua yang ini menurut saya dampaknya lebih besar. Berkah dariNya, karena hobi ini, saya bisa menikah, dipanggil menjadi Tenaga Ahli Anggota DPR RI (tidak mudah kerja di Senayan), dan saat ini seorang pengusaha nasional yang juga politisi ternama ingin membuatkan sebuah perusahaan penerbitan untuk saya kelola (sekarang saya sedang membuat
business plan dan membentuk tim).
Beberapa minggu lalu saya dipanggil ketemu dengan beliau, di tunjukin
sejumlah asetnya. Beliau juga bercerita mengenai planingnya kedepan. Saya serasa seperti Putera Mahkota yang akan diserahi tahta. Beliau sangat serius menjelaskan gagasan-gagasannya pengembangan bisnisnya kepada saya. Saya tahu, beliau salah satu orang
penting di republik ini. Sibuk dan butuh proses lobi yang lama untuk bisa ketemu. Alhamdulillah, kali ini, beliau yang
mengundang saya. Ketemu langsung, ngobrol hanya berdua. Enak kan! Hehe.
Ya, awalnya sih juga dari hobi. Oh iya, sampai lupa hobi apa gerangan.
Ialah hobi menulis.
Sebetulnya telah lama saya gemar menulis. Waktu SMP, saya nembak
anak kepala desa pakai karya tulis saya, dalam bentuk puisi. Dan, diterima.
Hehe. Tapi hobi menulis ini baru saya tekuni kembali empat tahun terakhir. Sejak
akhir tahun 2010, saya aktif menulis dan mengirim tulisan ke berbagai media
massa.
Alhamdulillah, sampai saat ini ratusan tulisan saya telah
diterbitkan di seantero Indonesia dari Aceh hingga Papua. Kurang lebih 38 media
massa. Mulai dari Kompas, Jawa Pos, Republika, Tempo, Detik.com dan lain
sebagainya. Intinya, saya merasa menulis adalah dunia saya. Saya menemukan
keindahan dalam menulis. Ada energi baru pada setiap kata yang saya lontarkan
lewat jeda-jeda makna. Bagi saya, menulis adalah membuka jendela makna yang lalu dari setiap untaian
katanya mengalir energi positif untuk sesama.
Terakhir, hobi yang sedang giat-giatnya saya rawat adalah hobi lari.
Lari adalah olah raga favorit saya. Sejak SMA, saya sudah gemar olah raga lari.
Olah raga lari termasuk murah dan mudah. Hanya butuh sepatu dan
kita bisa lari dimana saja. Ketika masih tinggal di Makassar biasanya saya lari
keliling di Lapangan Karebosi, lalu ke Taman Macan sekitar dua atau tiga kali
putaran dan saya lanjutkan lari finis di Pantai Losari.
Di Jakarta, selain di Gym (treadmill) setiap hari Minggu saya
lari di Ancol. Di Ancol ada track khusu lari. Suasananya lebih tenang, sejuk
dan bisa sekaligus refreshing di pantai sambil kuliner. Selain di Ancol, rute
lari saya di Jakarta adalah di jalur Car Free Day sepanjang Bendungan Hilir –
Bundaran HI – Monas.
Setelah lebih banyak di Bandung (saya tidak menyebutnya pindah ke
Bandung, karena rencana akhir tahun ini bakal tinggal di Jakarta lagi), saya
lari di jalur Bandung Car Free Day. Yaitu sepanjang Jalan Insinyur Haji Djuanda
alias di Dago. Tapi di Bandung Car Free Day, orang yang lari saya perhatikan
tak banyak. Bisa dihitung dengan jari. Yang banyak adalah yang jualan, lalu
yang senam ada juga yang sekedar nongkrong cuci mata. Karena saya rutin lari
3-4 kali seminggu, selain hari Ahad (Bandung Car Free Day) saya biasanya lari
di Monumen Perjuangan.
Hobi lari ini, barangkali berbeda dengan dua hobi saya yang lain. Bila
desain grafis dan menulis bisa menghasilkan sesuatu secara kontan, olah raga
lari hasilnya tidak kelihatan. Tapi sangat bisa dirasakan. Lari, bagi saya
adalah investasi penting. Saya menemukan vitalitas, kegembiraan dan energi
positif bila rutin lari. Lari adalah olah raga yang indah.
Sebagai bukti keseriusan menekuni olah raga ini, saya kembali
membeli sepatu olah raga khusus lari pabrikan NIKE, tipe Free Run 3. Walau harganya tiga kali
lipat dari sepatu Rebook saya sebelumnya, tidak apa-apalah. Sedikit membuktikan
komitmen bahwa saya mencintai olah raga ini. Siapa tau suatu saat saya bisa
ikut lari marathon dan jadi juara. Kan bisa saja. Hehehe.
Sama seperti hobi gesain
grafis dan menulis yang semula tak pernah saya proyeksikan manfaatnya luar
biasa besar. So, I LOVE MY HOBBIES, DO YOU?
Bila berkenan, silahkan meninggalkan komentar dan melahap artikel saya lainnya :D Pengalaman Masa Kecil : Antara China, Spartan dan Dahlan Iskan