“ If you don't design your own life
plan, chances are you'll fall into someone else's plan. And guess what they
have planned for you? Not much” – Jim Rohn, Entrepreneur
Subuh hari ini saya bangun dengan sebuah kejutan kecil. Pelukan hangat istri kali ini disertai kecupan bertubi-tubi dan bisikan
lembut “Selamat ulang tahun akaaang,” dan ciuman
mendarat lagi. Sambil mengucek-ngucek mata dan mengumpulkan kesadaran, saya balas memeluk dan mengucap terima kasih pada istri. Oh iya, alhamdulillah, ternyata hari ini 5 Desember. Usia saya
bulat genap 27 tahun dalam hitungan alamanak Masehi.
Saya bukan orang yang merayakan ulang tahun, sehingga tak selalu
bisa mengingat atau melakukan kegiatan seremonial untuk menandai penambahan
usia. Bilapun ingat, biasanya saya mengisi hari ulang tahun dengan little
party atau pesta kecil yang beda dari pesta kebanyakan, yaitu MUHASABAH. Tersungkur bersyukur atas
nikmat tiada tara dari Allah SWT, sembari berucap terima kasih dan kadang mendo’akan
orang-orang yang telah memberikan makna dalam rentetan perjalanan hidup saya.
Mulai dari kedua orang tua, hingga orang-orang yang tak memiliki hubungan darah
dengan saya. Selama orang itu pernah berbuat baik, atau sekadar melintas dalam
skenario hidup saya, dia adalah orang penting.
Saya sepakat dengan lontaran kalimat Peeta Mellark di dalam film
The Hunger Game 2 : Catching Fire, "Usia tidak hanya soal berapa
tahun kita hidup, tapi seberapa besar manfaat (karya) yang kita berikan kepada
kehidupan". Karena itu, saya senantiasa berupaya menggunakan setiap
unit waktu untuk melakukan sesuatu yang produktif dan bermanfaat bagi diri dan
orang lain.
Orang-orang visioner biasanya
mengevaluasi capaian dan merevisi atau mengoreksi rencana kedepan. Mencoba menjadi
manusia visioner, saya ingin sedikit flashback tentang beberapa rencana
hidup yang alhamdulillah telah tercapai, dan berharap kisah ini menjadi utaian manik
kebaikan, sekaligus menebar inspirasi bagi pembaca sekalian.
Tahun 2007, pada dinding kamar tepat di atas posisi kepala di
tempat tidur, di secarik kertas saya menulis sejumlah impian. Selain tertulis, saya juga
bercerita kepada beberapa orang perihal impian-impian itu. Diantaranya saya
menulis target menulis di koran Fajar –kala itu, Fajar adalah koran
terbesar di Sulsel dan di Luar Jawa-. Walaupun waktu itu saya belum menulis di
media massa, tapi saya telah berani mengimpikan suatu saat tulisan saya
diterbitkan di harian terbesar se Sulsel.
Tiga tahun kemudian, alhamdulillah impian tersebut terwujud. Januari 2011 tulisan saya diterbitkan di Koran Fajar. Ketika
itu, saya senang bukan kepalang. Hati saya menari riang gembira. Rasanya seperti
sedang jatuh cinta, nembak si belahan jiwa dan diterima dengan mulus. Indah
sekali. Karena makin giat menulis, karya-karya saya bahkan melampaui impian
sebelumnya yang hanya menargetkan menulis di Fajar.
Hingga kini, tulisan saya bahkan telah diterbitkan koran-koran
terbesar di republik berpenduduk 250 juta jiwa ini, seperti Kompas, Jawa Pos,
Republika dan lain sebagainya. Sebuah rasa syukur, bahwa pemikiran dan gagasan-gagasan saya tenyata diterima oleh media dan dibaca mmasyarakat luas.
Reputasi sebagai penulis -khususnya di media massa- perlahan tumbuh dan menjadi pintu saya diundang berbagi inspirasi, menjadi
trainer dan pembicara tentang kepenulisan di berbagai kota. Di timur Indonesia,
paling jauh saya mengisi training di Jayapura, Papua dan di Indonesia barat, saya
pernah memberikan pelatihan menulis di Politeknik Negeri Batam. Kota-kota besar
di Pulau Jawa telah terjelajahi semua.
Tiada terduga sebelumnya, tenyata impian sederhana menulis di sebuah
harian lokal, membuka banyak jalan kebaikan bagi saya. Ya, saya memang berkeyakinan
bahwa “Allah SWT mengikuti prasangka hambaNya”. Prasangka,
pikiran-pikiran, impian atau harapan, sejatinya adalah doa halus yang tak
terlontar secara lisan. Semua doa-doa halus itu di dengarkan olehNya Yang
Maha Mendengar.
|
Workshop Kepenulisan di SMP-SMA Nurul Fikri Lembang |
Ada banyak impian lain yang juga terwujud, kesemuanya berangkat
dari keyakinan bahwa “Allah SWT mengikuti prasangka hambaNya”. Saya ingin
bercerita dua kisah lagi. Pertama, tahun 2009 diutus oleh organisasi, saya
berangkat ke Jakarta mengikuti agenda nasional. Perjalanan waktu itu bersama
beberapa orang teman delegasi dari Makassar. Karena itu kali pertama saya ke
Jakarta, rasanya kagum sekali melihat kemegahan Ibu Kota yang terpancar dari
rona gedung-gedung pencakar langit sepanjang Gatot Subroto - Sudirman hingga
Thamrin. Menangkap janji manis yang tersirat dari visualisasi artifisial itu, saya
tertarik dan berniat tinggal di Jakarta.
Singkat cerita, dalam perjalanan pulang menuju ke Bandara melintasi
Tol Ancol, kepada rekan saya berujar “Suatu saat saya akan kembali dan
tinggal di kota ini, mewujudkan mimpi-mimpi.” Waktu itu, sebenarnya saya
belum ingin pulang, walaupun uang di rekening hanya cukup untuk beli tiket. Tapi
saya sangat penasaran ingin menikmati Jakarta. Saya penasaran pada
tempat-tempat yang selama ini hanya bisa saya saksikan di layar kaca. Rasa penasaran
ini yang mendorong impian menjadi Jakartans (sebutan bagi warga Jakarta), semakin
kuat. Menjadi Jakartans itu superior.
Bagi kami orang-orang dari daerah, ada kekagumkan ketika berimajiansi
menjadi Jakartans yang setiap hari keindahannya disorot layar sinetron. Setting
cerita tayangan televisi yang berlatar Jakarta, selalu mengafirmasi masyarakat
di kampung untuk menikmati indahnya Ibu Kota. Kesan kesejahteraan di Jakarta,
terpancar kuat dari layar televisi hingga membius penduduk kampung rela
meninggalkan tanah lahirnya untuk sekadar membangun mimpi-mimpi di Ibu Kota.
Tiga tahun kemudian, yaitu tahun 2012 -ceritanya panjang- akhirnya saya betul-betul
tinggal di Jakarta. Dari bacaan tentang kisah beberapa tokoh ternama, saya menyadari
bahwa bagi orang-orang potensial, Jakarta bisa bak Raja Midas dalam epos
mitologi Yunani. Raja Midas adalah sosok yang bisa mengubah apapun yang
disentuhnya menjadi emas. Pun Jakarta, bisa mengubah hidup orang. Barangkali
85% orang-orang hebat di negeri ini ada di Jakarta. Jakarta menjanjikan banyak
hal.
Wajar, sebab Indonesia memang Jakarta sentris walau otonomi daerah
sudah berlangsung 15 tahun. Semua kebijakan berpusat di sini. 90% uang yang beredar
di Indonesia, ada di Jakarta. “Bila anda ingin menjadi orang nasional, tinggallah
di Jakarta. Sehebat apapun anda bila
belum tinggal di Jakarta, masih dianggap orang daerah”. Ini adalah magnet-magnet
mengapa saban tahun Jakarta selalu diserbu pendatang baru. Termasuk saya yang akhirnya
menjadi bagian dari pendatang baru itu.
Kembali ke soal impian, terakhir saya ingin membeberkan bahwa saya
berani tinggal di Jakarta yang kehidupannya keras dan tensi persaingan sengit, sebab
ketika waktu itu saya jalan-jalan ke Jakarta, tiba-tiba di tawari Mas Rijalul
Imam, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat KAMMI menggantikan beliau menjadi
Tenaga Ahli Anggota DPR RI. Saya terima tawaran itu dan akhirnya saya ngantor
di Senayan.
|
Peserta Seminar Jurnalistik Nasional di Unair, Surabaya |
Dan lagi-lagi ini juga impian saya yang terkabulkan. Tahun 2011, saya pernah bertutur ke seorang teman, bahwa rasa-rasanya
saya tertarik (impian) bekerja di DPR. Menjadi bagian dari DPR nampak penting.
DPR adalah sentrum kendali kebijakan di negeri ini. Para Anggota DPR memiliki fungsi
untuk membuat kebijakan (fungsi legislasi), mengatur anggaran (hak budgeting)
dan mengawasi (fungsi pengawasan). Bilamana ingin tau di bawa kemana dan
bagaimana cara orang-orang menjalankan NKRI, masuklah ke DPR. Saya melihat
tanpa jarak dan menjadi bagian darinya. Semua ada di sana.
Praktis, tiga kenyataan yang pernah dan sedang saya jalani saat ini, awalnya
dari impian. Saya makin yakin bila menjalani hidup ini, penting disertai oleh
impian-impian. Saya tidak setuju dengan orang yang mengatakan “biarlah hidup
mengalir, jalani saja.” Hidup yang mengalir dalam arti ia bergerak, move on,
progresif tentu saja indah dan lebih baik dibanding dengan hidup yang stagnan
dan terjebak dalam ketidakjelasan atau mengalami status quo. Tapi bilamana
aliran hidup ternyata bergerak ke arah yang salah. Laksana air sungai, ia terarus
ke muara comberan yang kotor, jorok dan berpenyakit, apa kita masih mau membiarkan hidup
mengalir?
Ketika kita di tanya cita-cita dan obsesi kedepannya apa, rencana selanjutnya
bagaimana, sudah tidak jaman mengatakan Let it flow atau “ya, mengalir
aja.” Semuanya harus jelas dan terukur .
Dari sekarang, mari mendesain hidup kita masing-masing bermula dari
impian. Impian itu gratis, untuk mewujudkannya Allah SWT hanya ingin kita
membuat sebab. Mungkin sebab-sebab yang nampak sederhana di mata manusia. Tapi
Allah SWT Yang Maha Hebat bisa mengubah sesuatu sederhana menjadi lompatan tak
terduga. Dalam hidup ini banyak keajaiban. Tapi keajabian hanya datang pada
orang-orang dirinya telah tersiapkan.
Menapaki usia yang makin bertambah tua dan umur yang kian berkurang,
saya terus memperbaiki rencana kehidupan dan tiada henti memupuk impian. Seperti
kata Jim Rohn, salah satu entrepreneur di negeri Abang Sam sana yang saya kutip
di awal tulisan ini, bahwa “Jika Anda tidak mendesain rencana hidup Anda
sendiri, kemungkinan Anda akan jatuh ke dalam rencana orang lain. Dan coba
tebak apa yang telah mereka rencanakan untuk Anda? Tidak banyak.”