22.4.13
Pertaruhan Keadilan Subsidi BBM
Oleh : Jusman Dalle
***
Nampak jelas gurat kegalauan terlukis di wajah pemerintah
menghadapi bayang-bayang jebolnya kuota BBM bersubsidi. Ini terlihat dari dua
pernyataan berbeda yang disampaikan oleh pemerintah dalam waktu hampir
bersamaan. Yang pertama, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada Rabu
(13/3) menyampaikan bahwa dalam waktu 1
pekan – 2 pekan ke depan, Presiden SBY berjanji akan mengumumkan opsi kebijakan
praktis pemerintah untuk memperbaiki pola pemberian subsidi energi. Kebijakan
tersebut akan fokus pada upaya mengurangi alokasi volume BBM bersubsidi yang
kemungkinan besar mengikuti pola konversi minyak tanah ke elpiji yang sukses
dijalankan. Tidak ada opsi penaikan harga (Bisnis Indonesia, 14/3/2013)
Dua hari kemudian (16/3), pernyataan berbeda justru disampaikan
oleh Menteri ESDM Jero Wacik. Bahwa kenaikan harga BBM menjadi opsi
penyelamatan anggaran subsidi BBM. Jero menegaskann jika secara ekonomi
BBM subsidi memang harus mengalami kenaikan. Kalkulasi terberat mengenai naik
tidaknya harga BBM bersubsidi tentu saja persoalan politik. Karena kebijakan
tersebut tidak populis sehingga rentan meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada
pemerintah, khususnya Partai Demokrat yang tidak bisa lepas dari asosiasi dan
bayang-bayang Presiden SBY. Tahun ini merupakan tahun politik, setahun jelang
pemilihan umum dan pemilihan presiden tahun 2014 mendatang.
Pemerintah
dilema menaikkan harga BBM jelang pemilu dan pilpres sebab isu kenaikan harga
BBM memang sangat sensitif dan mudah digiring dan digoreng sebagai isu politik
menarik karena menyangkut hajat hidup rakyat banyak yang dalam waktu singkat
bisa berubah hujat pada pemerintah. Opsi menaikkan harga BBM bersubsidi ibarat
buah simalakama.
Ironisnya,
jika pemerintah tetap enggan menaikkan harga BBM bersubsidi APBN terancam jebol
karena realisasi kuota volume BBM bersubsidi 2013 menurut perkiraan Bank
Indonesia (BI) bakal membengkak hingga mencapai 50 juta kiloliter. Sesuai
APBN 2013, subsidi BBM ditetapkan Rp193,8 triliun dengan asumsi volume 46 juta
kiloliter, harga minyak mentah Indonesia 100 dolar AS per barel, dan kurs
Rp9.300 per dolar AS. Kenyataannya, saat ini kurs rupiah sudah menyentuh Rp 9.
600 hingga Rp 9.701 per dolar AS.
Untuk
diketahui konsumsi BBM dalam negeri 1,3 juta perbarel perhari (bph) sementara
lifting minyak kita hanya 830 ribu (bph). Karena lonjakan konsumsi BBM
bersubsidi, sekitar 470 ribu barel perhari diantaranya merupakan impor sehingga
pembengkakan subsidi ini rentan menimbulkan komplikasi ekonomi di tengah
volatilitas harga minyak dunia.
BBM bersubsidi dipastikan membebani neraca perdagangan, menyedot
devisa, menekan nilai tukar rupiah serta memantik inflasi. Jika ini terjadi
berlarut-larut maka bakal membuat ekonomi Indonesia kocar kacir. Makro ekonomi
kita bakal jeblok. Gejala komplikasi ekonomi tersebut terlihat dari realisasi
belanja subsidi BBM pada dua bulan pertama tahun 2013. Sepanjang
Januari-Februari, belanja subsidi BBM sudah menyedot anggaran sekitar Rp, 37,8
triliun.
Konsumsi
BBM bersubsidi diperkirakan sebesar Rp.800 miliar sampai Rp. 900 miliar per
harinya. Ironisnya, pemerintah
mengetahui jika selama ini kurang lebih 74% BBM bersubsidi menguap percuma. Salah
sasaran karena dikonsumsi oleh kendaraan pribadi atau kalangan masyarakat
mampu. Subsidi yang salah sasaran tersebut menjadi alasan paling mendasar
mengapa harga BBM saat ini yang disama ratakan, tidak lagi relevan
dipertahankan.
Energi Ekonomi
Dijelaskan oleh
Robert U. Ayers dan Benjamin Warr (2010) di dalam bukunya The Economic
Growth Engine, BBM merupakan bahan bakar yang memacu kerja mesin
perekonomian dan mentransmisi kesejahteraan sehingga persoalan energi selalu
menjadi isu ekonomi dan politik yang teramat penting bagi setiap negara.
Sebagai growth leading economies, yaitu negara dengan pertumbuhan
ekonomi tinggi dan membuka jalan bagi Indonesia menjadi berubah status dari
negara berkembang menjadi negara maju, kebutuhan energi akan semakin besar
sehingga politik energi harus diproyeksikan menjawab kebutuhan tersebut.
Nyatanya, subsidi
BBM telah menyebabkan tarikan nafas APBN megap-megap dan menimbulkan komplikasi
ekonomi. Ini diamini oleh Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi. Wamendag
menuding konsumsi BBM yang berlebihan satu-satunya penyebab persoalan tersebut
(Tempo,25/2/2013). Konsumsi BBM membuat anggaran kedodoran sehingga
melambungkan impor dan menutup prospek ekspor nonmigas yang tertelan lubang
defisit.
Semestinya,
pemerintah membaca dan mengantisipasi lonjakan subsidi yang menyebabkan APBN
jebol dengan melihat trend positif pada sektor perekonomian beberapa tahun
terakhir. Seperti pertumbuhan ekonomi tinggi yang dipastikan linier dengan
kebutuhan konsumsi energi, khususnya BBM. Baik untuk industri maupun konsumsi
masyarakat sehari-hari.
Menurut Gabungan
Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), pada tahun 2012 penjualan
mobil mencetak rekor terjual sebanyak 1 juta unit. Demikian pula dengan sepeda motor, kendaraan yang hari-hari ini
kita saksikan memenuhi jalanan. Sepeda motor banyak digunakan oleh masyarakat
sebagai alternatif, karena tidak layaknya moda transportasi umum. Periode Januari-Oktober 2012, sepeda motor
yang terjual sebanyak 6.025.697. Belied pengetatan uang muka (DP) bagi kredit
otomotif yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) tak menyurutkan antusiasme
masyarakat memiliki kendaranaan pribadi jenis ini untuk memperlancar aktivitas
mereka.
Solusi Realokasi Subsidi
Rencana kebijakan dual
price atau pemberlakuan dua harga BBM yang bakal mulai diterapkan beberapa waktu ke depan, bukan merupakan
solusi jangka panjang. Masih ada celah penyelewengan dan permasalahan lain yang
mungkin terjadi dengan kebijakan tersebut. pemerintah mesti mebuat road map
kebijakan energi untuk jangka panjang.
Beberapa solusi
seperti diversifikasi penggunaan energi dari minyak dan gas ke energi
alternatif seperti geotermal dan biofuel dengan harga lebih murah sebagaimana
sudah sering diwacanakan, harus segera diteken di atas konsideran kebijakan.
Desain penghematan, harus mengantisipasi dampak pada daya beli masyarakat. Llagi
lagi ini soal upaya menjaga gairah pertumbuhan ekonomi.
Solusi lain yang
paling bijak, hemat penulis adalah menaikkan harga BBM lalu merealokasi efisiensi
subsidi tersebut pada upaya penguatan kemandirian ekonomi personal. Subsidi menukik
untuk kegiatan ekonomi ril, seperti bantuan modal usaha, beasiswa, subsidi kesehatan dan skim subsidi
yang sifatnya memacu produktivitas.
Jika direalokasi untuk
subsidi pendidikan misalnya, dipastikan tepat sasaran sebab semua keluarga di
Indonesia pasti mengeluarkan pos anggaran pendidikan untuk anak-anak mereka. Sehingga
jika pemerintah memberikan beasiswa dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah
Atas, selain meringankan beban keluarga yang tidak mampu dan selama ini masih
sulit mengakses pendidikan, juga merupakan investasi bagi penguatan kualitas
SDM di masa depan.
Model subsidi langsung,
akan lebih efektif dan tepat sasaran dalam memperkuat akses ekonomi serta daya
beli masyarakat secara individu lalu diikuti oleh naiknya standar ekonomi.
Dengan demikian, berapapaun harga BBM dan berbagai kebutuhan lainnya tetap bisa
terjangkau.
Jika menggali
khazanah sejarah, skema subsidi langsung pernah diterapkan dan terbukti mampu
menjaga stabilitas ekonomi, sosial dan politik. Philip Hitti di dalam buku
fenomenalnya History Of Arab (2005) menjelaskan, pada masa diasti
Umayyah, Khalifah Al Walid I menganggarkan subsidi untuk orang Islam Arab di
Damaskus dan distriknya mencapai 45.0000 bilangan. Demikian pula pada masa
pemerintahan Marwan I, Hims dan distriknya juga mengeluarkan biasa pensiun
20.000 bilangan.
Senada dengan
Hitti, pakar ekonomi Islam Umer Chapra dalam karyanya Sistem Moneter Islam
(2000) juga menegaskan model subsidi yang commited terhadap keadilan
sosial ekonomi tersebut. Menurut Chapra, dalam sebuah sistem nilai yang
menjunjung keadilan sosial, normalnya tidak ada justifikasi bagi
pelayanan-pelayanan yang disubsidi bagi orang kaya atau mereka yang memiliki
daya jangkau harga (purchasing power). Hanya mereka yang tidak mampu
membayar harga realistis yang harus ditolong. Strategi ini untuk meminimalisir
penggunaan-penggunaan mubadzir terhadap barang dan jasa yang didukung subsidi
umum.
Dalam konteks Indonesia,
model subsidi yang diuraikan oleh Chapra atau potret yang di-capture
oleh Hitti, relevan dengan konstitusi kita. Yaitu mengembalikan APBN pada track
yang sebenarnya sebagaimana menjadi anutan negara demokrasi modern. APBN sebagai
instrumen fiskal dan stimulan ekonomi. Bukan
untuk komoditas politik berbungkus program populis atas nama “subsidi” untuk
rakyat namun ternyata menyimpan bom waktu.
Lagian, sangat dzalim
jika demi popularitas bertopeng subsidi, pemerintah menambah utang untuk
menutup defisit APBN yang kemungkinan makin membengkak. Dan naga-naganya, jurus
menambah utang untuk subsidi (yang 74% dinikmati kelompok masyarakat
mampu), sudah tak bisa ditunda. Pada 9 Maret 2013 lalu pemerintah telah
menerbitkan global bond atau surat utang global berdenominasi dolar Amerika
Serikat senilai 3 miliar dolar atau 28 triliun untuk antisipasi kebutuhan valas guna menyelamatkan neraca perdagangan yang salah satunya disebabkan oleh impor BBM yang melonjak. Surat utang global yang akan
dilunasi hingga 30 tahun ke depan itu diterbitkan dalam dua seri, yakni RI0423
dan RI0443. Singkatnya, generasi muda saat ini dibebani utang demi popularitas
pemerintah.
KETERANGAN : Jusman Dalle adalah Analis Ekonomi Society
Reseacrh and Humanity Development (SERUM) Institute, dan Tenaga Ahli Anggota
DPR RI Komisi VII Membidangi Energi dan Sumber Daya Mineral