Mata Air Pikiran Mengalir Membentuk Kenyataan

  • Opini Kompas | IMF dan Malapraktik Diplomasi

    Jusman Dalle | Opini Harian Kompas Pemerintah memastikan bakal memberikan bantuan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9,4 triliun. Terkait komitmen Indonesia ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, IMF diharapkan tidak hanya menggunakan pinjaman ini untuk membantu negara-negara di Eropa, tetapi juga negara-negara di Asia dan Afrika.

  • Opini Republika | Urgensi Badan Haji

    Jusman Dalle - Opini Republika | Untuk mencapai tujuan pertama yaitu manfaat transformasi manajemen, Badan Haji yang nantinya bakal berfungsi sebagai eksekutor saja, merampingkan organisasi serta secara otomatis memotong rantai birokrasi bertingkat dan kompleks yang melibatkan banyak institusi. Badan Haji juga mengakhiri rezim monopoli kewenangan sebab Kemenag tinggal memegang satu fungsi, yaitu sebagai regulator sementara Komisi VIII DPR yang membawahi persoalan haji, berfungsi sebagai evaluator.

  • Profil Jusman Dalle

    Jusman juga menekuni digital marketing. Merancang dan membuat konten digital berupa tulisan (copywriter), visual dan audio visual untuk sejumlah perusahaan dan institusi skala nasional. Antara lain Partai Gerindra, Kedutaan Besar Jerman, Taksi Ekspress, Bank BTN, PLN, XL Axiata, Agung Podomoro Land, True Money, dll.

  • Rawan Pangan Negeri Pertanian

    Jusman Dalle - Opini Koran Tempo | Program revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan sejak 2005 masih sebatas lip service. Infrastruktur irigasi rusak parah, jalanan di desa-desa basis pertanian pun belum memadai. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 9,25 juta hektare juga baru sebatas “angin surga”.

22.4.13

Pertaruhan Keadilan Subsidi BBM

Oleh : Jusman Dalle
***
Nampak jelas gurat kegalauan terlukis di wajah pemerintah menghadapi bayang-bayang jebolnya kuota BBM bersubsidi. Ini terlihat dari dua pernyataan berbeda yang disampaikan oleh pemerintah dalam waktu hampir bersamaan. Yang pertama, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada Rabu (13/3)  menyampaikan bahwa dalam waktu 1 pekan – 2 pekan ke depan, Presiden SBY berjanji akan mengumumkan opsi kebijakan praktis pemerintah untuk memperbaiki pola pemberian subsidi energi. Kebijakan tersebut akan fokus pada upaya mengurangi alokasi volume BBM bersubsidi yang kemungkinan besar mengikuti pola konversi minyak tanah ke elpiji yang sukses dijalankan. Tidak ada opsi penaikan harga (Bisnis Indonesia, 14/3/2013)

Dua hari kemudian (16/3), pernyataan berbeda justru disampaikan oleh Menteri ESDM Jero Wacik. Bahwa kenaikan harga BBM menjadi opsi penyelamatan anggaran subsidi BBM. Jero menegaskann jika secara ekonomi BBM subsidi memang harus mengalami kenaikan. Kalkulasi terberat mengenai naik tidaknya harga BBM bersubsidi tentu saja persoalan politik. Karena kebijakan tersebut tidak populis sehingga rentan meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah, khususnya Partai Demokrat yang tidak bisa lepas dari asosiasi dan bayang-bayang Presiden SBY. Tahun ini merupakan tahun politik, setahun jelang pemilihan umum dan pemilihan presiden tahun 2014 mendatang.
Pemerintah dilema menaikkan harga BBM jelang pemilu dan pilpres sebab isu kenaikan harga BBM memang sangat sensitif dan mudah digiring dan digoreng sebagai isu politik menarik karena menyangkut hajat hidup rakyat banyak yang dalam waktu singkat bisa berubah hujat pada pemerintah. Opsi menaikkan harga BBM bersubsidi ibarat buah simalakama.
Ironisnya, jika pemerintah tetap enggan menaikkan harga BBM bersubsidi APBN terancam jebol karena realisasi kuota volume BBM bersubsidi 2013 menurut perkiraan Bank Indonesia (BI) bakal membengkak hingga mencapai 50 juta kiloliter. Sesuai APBN 2013, subsidi BBM ditetapkan Rp193,8 triliun dengan asumsi volume 46 juta kiloliter, harga minyak mentah Indonesia 100 dolar AS per barel, dan kurs Rp9.300 per dolar AS. Kenyataannya, saat ini kurs rupiah sudah menyentuh Rp 9. 600 hingga Rp 9.701 per dolar AS.
Untuk diketahui konsumsi BBM dalam negeri 1,3 juta perbarel perhari (bph) sementara lifting minyak kita hanya 830 ribu (bph). Karena lonjakan konsumsi BBM bersubsidi, sekitar 470 ribu barel perhari diantaranya merupakan impor sehingga pembengkakan subsidi ini rentan menimbulkan komplikasi ekonomi di tengah volatilitas harga minyak dunia.
BBM bersubsidi dipastikan membebani neraca perdagangan, menyedot devisa, menekan nilai tukar rupiah serta memantik inflasi. Jika ini terjadi berlarut-larut maka bakal membuat ekonomi Indonesia kocar kacir. Makro ekonomi kita bakal jeblok. Gejala komplikasi ekonomi tersebut terlihat  dari realisasi belanja subsidi BBM pada dua bulan pertama tahun 2013. Sepanjang Januari-Februari, belanja subsidi BBM sudah menyedot anggaran sekitar Rp, 37,8 triliun.
Konsumsi BBM bersubsidi diperkirakan sebesar Rp.800 miliar sampai Rp. 900 miliar per harinya. Ironisnya, pemerintah mengetahui jika selama ini kurang lebih 74% BBM bersubsidi menguap percuma. Salah sasaran karena dikonsumsi oleh kendaraan pribadi atau kalangan masyarakat mampu. Subsidi yang salah sasaran tersebut menjadi alasan paling mendasar mengapa harga BBM saat ini yang disama ratakan, tidak lagi relevan dipertahankan.
Energi Ekonomi
Dijelaskan oleh Robert U. Ayers dan Benjamin Warr (2010) di dalam bukunya The Economic Growth Engine, BBM merupakan bahan bakar yang memacu kerja mesin perekonomian dan mentransmisi kesejahteraan sehingga persoalan energi selalu menjadi isu ekonomi dan politik yang teramat penting bagi setiap negara. Sebagai growth leading economies, yaitu negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan membuka jalan bagi Indonesia menjadi berubah status dari negara berkembang menjadi negara maju, kebutuhan energi akan semakin besar sehingga politik energi harus diproyeksikan menjawab kebutuhan tersebut. 
Nyatanya, subsidi BBM telah menyebabkan tarikan nafas APBN megap-megap dan menimbulkan komplikasi ekonomi. Ini diamini oleh Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi. Wamendag menuding konsumsi BBM yang berlebihan satu-satunya penyebab persoalan tersebut (Tempo,25/2/2013). Konsumsi BBM membuat anggaran kedodoran sehingga melambungkan impor dan menutup prospek ekspor nonmigas yang tertelan lubang defisit.
Semestinya, pemerintah membaca dan mengantisipasi lonjakan subsidi yang menyebabkan APBN jebol dengan melihat trend positif pada sektor perekonomian beberapa tahun terakhir. Seperti pertumbuhan ekonomi tinggi yang dipastikan linier dengan kebutuhan konsumsi energi, khususnya BBM. Baik untuk industri maupun konsumsi masyarakat sehari-hari.
Menurut Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), pada tahun 2012 penjualan mobil mencetak rekor terjual sebanyak 1 juta unit. Demikian pula dengan  sepeda motor, kendaraan yang hari-hari ini kita saksikan memenuhi jalanan. Sepeda motor banyak digunakan oleh masyarakat sebagai alternatif, karena tidak layaknya moda transportasi umum.  Periode Januari-Oktober 2012, sepeda motor yang terjual sebanyak 6.025.697. Belied pengetatan uang muka (DP) bagi kredit otomotif yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) tak menyurutkan antusiasme masyarakat memiliki kendaranaan pribadi jenis ini untuk memperlancar aktivitas mereka.
Solusi Realokasi Subsidi
Rencana kebijakan dual price atau pemberlakuan dua harga BBM yang bakal mulai diterapkan  beberapa waktu ke depan, bukan merupakan solusi jangka panjang. Masih ada celah penyelewengan dan permasalahan lain yang mungkin terjadi dengan kebijakan tersebut. pemerintah mesti mebuat road map kebijakan energi untuk jangka panjang.
Beberapa solusi seperti diversifikasi penggunaan energi dari minyak dan gas ke energi alternatif seperti geotermal dan biofuel dengan harga lebih murah sebagaimana sudah sering diwacanakan, harus segera diteken di atas konsideran kebijakan. Desain penghematan, harus mengantisipasi dampak pada daya beli masyarakat. Llagi lagi ini soal upaya menjaga gairah pertumbuhan ekonomi.
Solusi lain yang paling bijak, hemat penulis adalah menaikkan harga BBM lalu merealokasi efisiensi subsidi tersebut pada upaya penguatan kemandirian ekonomi personal. Subsidi menukik untuk kegiatan ekonomi ril, seperti bantuan modal usaha,  beasiswa, subsidi kesehatan dan skim subsidi yang sifatnya memacu produktivitas. 
Jika direalokasi untuk subsidi pendidikan misalnya, dipastikan tepat sasaran sebab semua keluarga di Indonesia pasti mengeluarkan pos anggaran pendidikan untuk anak-anak mereka. Sehingga jika pemerintah memberikan beasiswa dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas, selain meringankan beban keluarga yang tidak mampu dan selama ini masih sulit mengakses pendidikan, juga merupakan investasi bagi penguatan kualitas SDM di masa depan.
Model subsidi langsung, akan lebih efektif dan tepat sasaran dalam memperkuat akses ekonomi serta daya beli masyarakat secara individu lalu diikuti oleh naiknya standar ekonomi. Dengan demikian, berapapaun harga BBM dan berbagai kebutuhan lainnya tetap bisa terjangkau.
Jika menggali khazanah sejarah, skema subsidi langsung pernah diterapkan dan terbukti mampu menjaga stabilitas ekonomi, sosial dan politik. Philip Hitti di dalam buku fenomenalnya History Of Arab (2005) menjelaskan, pada masa diasti Umayyah, Khalifah Al Walid I menganggarkan subsidi untuk orang Islam Arab di Damaskus dan distriknya mencapai 45.0000 bilangan. Demikian pula pada masa pemerintahan Marwan I, Hims dan distriknya juga mengeluarkan biasa pensiun 20.000 bilangan.
Senada dengan Hitti, pakar ekonomi Islam Umer Chapra dalam karyanya Sistem Moneter Islam (2000) juga menegaskan model subsidi yang commited terhadap keadilan sosial ekonomi tersebut. Menurut Chapra, dalam sebuah sistem nilai yang menjunjung keadilan sosial, normalnya tidak ada justifikasi bagi pelayanan-pelayanan yang disubsidi bagi orang kaya atau mereka yang memiliki daya jangkau harga (purchasing power). Hanya mereka yang tidak mampu membayar harga realistis yang harus ditolong. Strategi ini untuk meminimalisir penggunaan-penggunaan mubadzir terhadap barang dan jasa yang didukung subsidi umum.
Dalam konteks Indonesia, model subsidi yang diuraikan oleh Chapra atau potret yang di-capture oleh Hitti, relevan dengan konstitusi kita. Yaitu mengembalikan APBN pada track yang sebenarnya sebagaimana menjadi anutan negara demokrasi modern. APBN sebagai instrumen fiskal  dan stimulan ekonomi. Bukan untuk komoditas politik berbungkus program populis atas nama “subsidi” untuk rakyat namun ternyata menyimpan bom waktu.
Lagian, sangat dzalim jika demi popularitas bertopeng subsidi, pemerintah menambah utang untuk menutup defisit APBN yang kemungkinan makin membengkak. Dan naga-naganya, jurus menambah utang untuk subsidi (yang 74% dinikmati kelompok masyarakat mampu), sudah tak bisa ditunda. Pada 9 Maret 2013 lalu pemerintah telah menerbitkan global bond atau surat utang global berdenominasi dolar Amerika Serikat senilai 3 miliar dolar atau 28 triliun untuk antisipasi kebutuhan valas guna menyelamatkan neraca perdagangan yang salah satunya disebabkan oleh impor BBM yang melonjak. Surat utang global yang akan dilunasi hingga 30 tahun ke depan itu diterbitkan dalam dua seri, yakni RI0423 dan RI0443. Singkatnya, generasi muda saat ini dibebani utang demi popularitas pemerintah.
KETERANGAN : Jusman Dalle adalah  Analis Ekonomi Society Reseacrh and Humanity Development (SERUM) Institute, dan Tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi VII Membidangi Energi dan Sumber Daya Mineral