29.4.13
Opini - Kompleksitas Subsidi Energi
(Opini Suara Karya edisi 29 April 2013)
***
Keputusan
pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) per 1 Janurari 2013 menjadi kado
tahun baru tak menyenangkan bagi konsumen listrik berdaya 1.300 VA ke atas. Kenaikan TDL yang
direncanakan sebesar 15% selama tahun 2013 dan bakal diberlakukan secara
bertahap setiap 3 bulan mencapai 4,3 persen setiap kali penaikan. Penaikan TDL
menurut pemerintah bisa menghemat anggaran sebesar Rp. 14,9 triliun.
Latar
belakang penaikan TDL tersebut untuk
menyelamatkan anggaran. Sebab subsidi listrik, menurut perhitungan Kementerian
Koordinator Ekonomi, salah sasaran hingga 52%. Tak hanya soal TDL, di bidang
energi, subsidi atas Bahan Bakar Minyak (BBM) juga membuat anggaran
megap-megap. Sebagai catatan, realisasi belanja subsidi energi tahun 2012
membengkak dari pagu yang ditetapkan dalam APBN Perubahan (APBN-P). Hingga
20 Desember 2012 belanja subsidi energi mencapai Rp.270 triliun.
Sebenarnya,
belanja subsidi terbesar ada di pos anggaran subsidi BBM yang menyedot anggaran
sebesar Rp186,7 triliun atau 135,9% dari pagu yang ditetapkan sebesar Rp137,4
triliun. Sementara subsidi listrik naik menjadi Rp83,3 triliun atau 128,2% dari
pagu yang ditetapkan dalam APBN-P 2012 sebesar Rp64,9 triliun.
Melonjaknya
belanja subsidi bermula dari penambahan kuota BBM bersubsidi. Sebelumnya di
dalam APBN 2012, BBM bersubsidi ditetapkan 40 juta kilo liter, namun seiring besarnya
konsumsi BBM masyarakat yang menyebabkan kelangkaan di sejumlah daerah, pada 15
Oktober 2012 lalu DPR menyetujui penambahan kuota 4,04 juta kilo liter dengan
anggaran Rp.12 triliun sehingga kuota BBM bersubsidi mencapai 44,04 juta kilo liter.
Namun
ternyata penambahan kuota tersebut belum mampu mengcover kebutuhan BBM
bersubsidi masyarakat. Pada 3 Desember 2012, usulan tambahan kuota sebesar 1,23
kiloliter dari pemerintah kembali memperoleh persetujuan dari DPR. Sehingga
total BBM bersubsidi tahun 2012 mencapai 45,27 kilo liter yang akhirnya menyedot anggaran sangat besar.
Selain
persoalan kebutuhan yang tinggi, subsidi BBM juga dinilai tidak tepat sasaran.
Diperkirakan 72%-95% BBM bersubsidi dinikmati oleh masyarakat ekonomi menengah
ke atas. Jika kita mengambil angka moderat, 70%
saja subsidi BBM tidak tepat sasaran maka dari Rp 186,7 triliun total subsidi
BBM, artinya Rp 130,7 triliun dinikmati orang yang tidak berhak.
Semestinya,
pemerintah bisa membaca dan mengantisipasi lonjakan subsidi yang menyebabkan
APBN jebol dengan melihat trend positif pada sektor perekonomian. Seperti
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan dipastikan linier dengan mobilitas
masyarakat. Kebutuhan mobilitas disertai naiknya kebutuhan BBM.
Ini
dibuktikan oleh penjualan mobil yang menurut Gabungan Industri Kendaraan
Bermotor Indonesia (Gaikindo) hingga November 2012 sudah mencetak rekor terjual
sebanyak 1 juta unit. Bahkan hingga Desember ditargetkan tembus 1,1 juta unit
mobil terjual. Demikian pula dengan
sepeda motor, periode Januari-Oktober 2012 terjual sebanyak 6.025.697. Belied
pengetatan uang muka (DP) bagi kredit otomotif yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI)
tak menyurutkan antusiasme masyarakat memiliki kendaranaan pribadi.
Indonesia
mesti belajar dari negara maju yang menyiasati problem konsumsi BBM dengan
membatasi kepemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi. Tapi kebijakan tersebut
didahului kebijakan lain. Pemerintah menyiapkan varian pilihan moda
transportasi yang nyaman, cepat dan terjangkau sehingga aktivitas masyarakat
tidak terganggu.
Pemerintah harus serius mencari solusi atas permasalahan yang sudah
menjadi komplikasi ini. Sebab BBM salah satu variabel penting dalam
menggerakkan perekonomian, sehingga jika candu subsidi terus terjadi maka akan berimplikasi
luas. Tidak hanya membebani APBN (dampak ekonomi), tapi juga berdampak politik.
Isu kenaikan harga BBM sangat sensitif dan mudah digiring ke ranah politik,
sebab menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Kita tentu tidak ingin setiap tahun disibukkan dengan isu
kenaikan harga BBM yang menguras energi dan hanya menjadi dagelan para elit
politik.
Sebagai
negara growth leading economies,yaitu negara dengan pertumbuhan ekonomi
tinggi dan membuka jalan bagi Indonesia menjadi berubah status dari negara
berkembang menjadi negara maju, kebutuhan energi akan semakin besar sehingga
politik energi harus diproyeksikan menjawab kebutuhan tersebut.
Kurang
bijak jika masyarakat dipaksa mengurangi konsumsi energi. Sebab energi menjadi
kebutuhan operasional dalam aktivitas ekonomi. Yang tepat adalah mengalihkan dari
penggunaan energi tidak terbarukan ke energi alternatif yang terbarukan dengan
harga lebih murah. Desain penghematan tidak boleh mengorbankan aktivitas
ekonomi masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada daya beli dan rentan
memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Ingat, bahwa konsumsi domestik menyumbang
hingga 70% bagi pertumbuhan ekonomi.
Komplikasi
subsidi energi ini sebenarnya kapasitas manajemen anggaran pemerintah. APBN
Tahun 2013 sebesar Rp. 1.683 triliun harus mampu dialokasikan secara tepat dan
proporsional. APBN tidak boleh dijadikan instrumen politik. Jangan dialokasikan
untuk sekadar menenggak popularitas penguasa seperti memberikan subsidi yang
ternyata salah sasaran.
Sebagai
solusi, maka hemat penulis, pendekatan subsidi yang jika dikalkulasi (tidak
saja subsidi energi), menembus angka RP. 300 triliun pertahun harus diarahkan
pada penguatan ekonomi masyarakat yang sifatnya personal. Kebijakan subsidi
harus menukik pada kegiatan ekonomi ril. Misalnya bantuan modal usaha, beasiswa, subsidi kesehatan dan skim subsidi
yang sifatnya memacu produktivitas.
Subsidi
seperti ini akan lebih efektif sebab tepat sasaran. Memperkuat akses ekonomi dan daya beli
masyarakat. Standar ekonomi dan produktivitas dinaikkan, sehingga berapapaun
harga BBM, TDL dan berbagai kebutuhan sehari-hari bisa terjangkau. Ini juga
akan mengembalikan APBN pada track yang sebenarnya. Yaitu sebagai instrumen
fiskal yang menstimulus perekonomian, bukan komoditas politik penguasa.
Jika
mempertahankan pola subsidi energi yang diterapkan saat ini, bakal terus
menjebak APBN pada satu lingkaran setan. Logika subsidi yang mengikuti deret
ukur ekonomi masyarakat berubah menjadi candu sehingga berakibat komplikasi
untuk jangka waktu yang lama. Masyarakat juga akan semakin boros menggunakan
energi bersubsidi. Padahal cadangan bahan bakar minyak, hanya tersisa untuk 12
tahun lagi. Karena itu, dibutuhkan political will pemerintah untuk mengubah
pola subsidi energi.
Efek
perubahan kebijakan itu tentu saja tidka bisa dihindari. Resiko berubah
pasti ada. Misalnya bakal menimbulkan kejutan bagi mayarakat yang telah lama menikmati
subsidi. Pada titik inilah leadership pemerintah, khususnya Presiden sebagai
pengambil kebijakan tertinggi, diuji. Berani mengambil resiko untuk
kemaslahatan jangka panjang atau justru mengedepankan popularitas yang tidak
berarti apa-apa bagi rakyat.
KETERANGAN
Jusman
Dalle adalah Analis Ekonomi Society Reseacrh and Humanity Development (SERUM)
Institute dan Tenaga Ahli DPR RI Komisi VII Bidang Sumber Daya Energi dan
Mineral