Menulis skenario Skenario-skenario pertama Aci, Si Entong dan Abu Nawas dari Betawi, dipakai salah satu televisi swasta, yang saat itu masih bernama Televisi Pendidikan Indonesia. Setahun kemudian, memasuki 2007, Aci juga menulis untuk program serial anak, film televisi (FTV), hingga sinetron komedi.
11.5.13
Kisah Sukses Writerpreneur
Ia kini hidup dari dunia
penulisan, membuat skenario sinetron juga mendirikan kelas menulis. Dua-duanya
sama-sama menguntungkan.
LAZIMNYA bagi lulusan perguru an
tinggi, bekerja di perusahaan merupakan target yang ingin dicapai. Itu juga
berlaku buat Asri Rakhmawati. Seusai menuntaskan pendidikan diplomanya pada
2006, ia rajin melamar kerja.
“Namun ternyata rajin pula
ditolak. Dalam setahun sudah 13 kali saya ditolak, hingga hampir menyerah. Saat
menganggur, saya kembali menggeluti bakat dan hobi menulis,“ kata Aci, begitu
sapaan akrab perempuan 28 tahun itu.
Aci mengaku sudah senang menulis
sejak SD, pun gemar membaca buku. Namun, ia sengaja memilih jurusan bisnis
manajemen dengan anggapan akan lebih cepat mendapat kerja.
“Saya pikir jurusan itu akan
membuat saya mudah dapat kerja, enggak tahunya malah ditolak-tolak, haha.
Selama setahun nganggur itu, saya nulis lagi, kirim ke berbagai media,
ditolak-tolak juga. Sampai akhirnya cerpen saya laku dan dimuat di sebuah
media,“ tutur Aci.
Tak sempat bekerja di perusahaan
swasta seperti lazimnya lulusan diploma dan sarjana lainnya, Aci diajak
temannya semasa di Forum Lingkar Pena (FLP), Imam Salimi, untuk menulis
skenario sinetron. FLP ialah komunitas penulis yang sebagian besar anggotanya
masyarakat awam.
Menulis skenario Skenario-skenario pertama Aci, Si Entong dan Abu Nawas dari Betawi, dipakai salah satu televisi swasta, yang saat itu masih bernama Televisi Pendidikan Indonesia. Setahun kemudian, memasuki 2007, Aci juga menulis untuk program serial anak, film televisi (FTV), hingga sinetron komedi.
Menulis skenario Skenario-skenario pertama Aci, Si Entong dan Abu Nawas dari Betawi, dipakai salah satu televisi swasta, yang saat itu masih bernama Televisi Pendidikan Indonesia. Setahun kemudian, memasuki 2007, Aci juga menulis untuk program serial anak, film televisi (FTV), hingga sinetron komedi.
Tantangan terbesar dalam
penulisan skenario ialah tenggat. Aci mencontohkan, jika sinopsis cerita
disetujui di pagi hari, malam harinya produser ataupun sutradara sudah harus
menerima naskah utuh.
“Lama-kelamaan saya terbiasa
dengan ritme tersebut. Pasalnya, selain memang suka menulis, ini profesi saya,“
kata Aci. Aci pun makin intens menulis. Novelnovelnya pun terbit pada 2007.
Selang dua tahun setelah memilih bidang penulisan sebagai kariernya, beberapa
teman datang meminta diajari cara menulis skenario atau cerpen.
Beberapa sekolah pun
mengundangnya untuk menjadi pemateri dalam pelatihan penulisan. Seiring dengan
suburnya minat publik di bidang penulisan, muncullah ide membuat tempat kursus.
“Banyak yang ngeluh ke saya, mau
nulis tetapi enggak tahu memulainya. Akhirnya saya bentuk kelas dengan lima
murid di kelas cerpen. Saat itu saya juga masih bekerja sebagai penulis
skenario untuk beberapa program televisi,“ tukasnya bersemangat.
Kelas menulis Pada 2009, bisnis
kelas pelatihan menu lis bertitel Rumah Pena kemudian didirikan Aci dengan
modal awal Rp17 juta untuk membeli peralatan kelas, meja, kursi, termasuk
membuat banner. Saat itu, Aci mengaku sebenarnya geliat industri hiburan telah
memberinya kompensasi besar.
“Tapi, saya suka mengajar. Saya
juga merasa sangat terbantu, apalagi jika ada permintaan naskah yang
berbarengan dari beberapa rumah produksi. Saya sering mengajak beberapa murid
yang sudah mampu untuk menangani skenario,“ kata Aci. Menulis, tegas Aci, jika
ditangani maksimal, bisa jadi profesi menjanjikan. Banyak murid Rumah Pena yang
awalnya belum bekerja kini sudah bisa ikut menggarap skenario.
“Kan kalau ada permintaan buat
skenario, enggak mungkin semua dipegang saya. Saya bagi-bagi ke murid yang
sudah cakap,“ ujar penyuka kisah fiksi dan fantasi itu. Kini, meski tengah mengandung
anak keduanya, Aci tetap mengajar. Hingga kini 200 peserta kelas menulis telah
bergabung di Rumah Pena. Aci, dengan dibantu lima tenaga pengajar, membuka tiga
jenis kelas, tatap muka, online, dan privat.
Untuk kelas online, Aci
menggunakan Facebook dan Yahoo Messenger untuk berinteraksi dengan muridnya yang
bertempat tinggal jauh dari lokasi Rumah Pena. Pada setiap pertemuan, Aci
selalu memberikan pekerjaan rumah secara bertahap agar kemampuan sang murid
terasah.
Berdasarkan genre penulisan,
Rumah Pena membuka kelas cerpen, novel, skenario, dan manga. Sebagian besar
murid Rumah pena berusia 25 tahun ke atas. Sebanyak 70% ialah para ibu dari
kelas menengah. Padahal sasaran awal yang dibidik Rumah Pena ialah anak-anak.
“Alasannya ya karena dengan
mengajar anak-anak, kita bisa mengasah talenta mereka sejak dini. Tapi ternyata
yang ikut sekarang mahasiswa dan para ibu. Kalau anak kecil kan uangnya masih
bergantung pada orangtua, dan masih sedikit orangtua yang membuka mata terhadap
keterampilan ini,“ kata Aci yang menjadi salah satu finalis Wirausaha Muda
Mandiri 2013 untuk kategori usaha kreatif.
Sebagian peserta kelas Rumah Pena
memang awalnya telah senang menulis, tapi ada pula yang sekadar mengisi waktu
luang. Semua genre kelasnya diselenggarakan selama tiga bulan. Biaya per
bulannya bervariasi, cerpen Rp400 ribu, novel Rp600 ribu, dan skenario Rp 800
ribu. “Nah kalau mau belajar nulis
skenario, sebaiknya sudah terbiasa dengan cerpen.
Bedanya, kalau skenario itu kita atur gerak tokohnya juga, misal tokoh A
berjalan ke arah meja dengan dialog bla bla bla. Kalau cerpen kan tidak.
Skenario juga layaknya skripsi, sering muncul revisi dari produser ataupun
sutradara,“ seru Aci sembari terbahak. (M-3) | Sumber Media Indonesia (11/5/2013)