1.3.13
Move On Pascapilgub
***
Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menguatkan kemenangan pasangan
Syahrul Yasin Limpo - Agus Arifin Nu’mang yang sempat diperkarakan oleh
pasangan Ilham Arief Sirajuddin – Abdul Aziz Qahar Mudzakkar. Permohonan
sengketa Pilgub Sulsel ini diajukan oleh pasangan Ilham Arief Sirajuddin-Abdul
Azis Qahar karena menilai pelaksanaan Pilgub Sulsel diwarnai pelanggaran yang
dilakukan KPUD dan pemenang yang ditetapkan oleh KPUD.
Menurut Hakim Konstitusi Akil Mochtar saat membacakan
pertimbangan MK, dalil-dalil permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Sebab pelanggaran-pelanggaran yang ditemukan dalam perkara a quo
bersifat silang, sporadis dan tidak memenuhi unsur terstruktur, sistematis dan
masif. Selain itu, MK juga mengungkapkan jika pelanggaran pilgub tidak hanya
dilakukan oleh pihak pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu'mang, tetapi
terbukti juga di persidangan jika pihak pemohon pun melakukan kecurangan.
Terlepas dari adanya kecurangan keduabelah pihak
sebagaimana disampaikan oleh MK, penolakan oleh MK atas perkara yang diajukan
oleh pasangan IA menandai babak akhir etape paling menentukan dalam Pilgub Sulsel
2013. Pada akhirnya, semua kembali pada keputusan KPUD. Menurut hasil rekapitulasi
penghitungan suara dari pesta demokrasi terakbar di tingkat provinsi tersebut,
pasangan yang populer dengan panggilan ‘Sayang’ ini keluar sebagai
kampiun setelah unggul dengan perolehan 52,42 persen suara.
Perolehan suara pasangan Sayang sebenarnya memang
terpaut cukup jauh dengan pasangan IA yang meraih 41,57 persen suara, dan
pasangan A Rudiyanto Asapa-A Nawir Pasinringi dengan raihan 6,01 persen. Hasil
rekapitulasi KPUD Sulsel tersebut tidak jauh berbeda dengan qucik count yang
sebelumnya digelar berbagai lembaga survei, juga mengunggulkan pasangan Sayang.
Saatnya Bersatu
Berbagai dinamika selama proses menuju Pilgub adalah
pembelajaran, menjadi warna tersendiri, memperkaya khazanah serta menguji
kedewasaan masyarakat Sulsel dalam berdemokrasi. Pascapilgub, kontestasi para kandidat, tim
sukses serta para pendukung untuk memenangkan jagoan masing-masing saatnya bertransformasi
menjadi semangat solidaritas untuk mendukung Gubernur dan Wakil Gubernur
terpilih. Bahwa Sulsel adalah bumi kita semua, tak peduli suku bangsa dan
agama, sebagai wija tana ogi kita berkewajiban menjaga harum nama Sulsel baik
dalam konteks nasional maupun global.
Sentuhan local wisdom (kearifan lokal) kristalisasi
nilai-nilia luhur masyarakat Sulsel tak bisa dinafikan berperan untuk memajukan
daerah. Baik itu nilai-nilai perikehidupan Bugis, Makassar, Toraja, Mandar dan
lain sebagainya menjadi modalitas bagi gubernur dan wagub terpilih nantinya
untuk membangun Sulsel. Oleh karena itu, leadership yang berwawasan local
wisdom seperti sipakatau (saling memanusiakan), sipakainge
(saling mengingatkan), sipakalebbi (saling menghormati) menjadi mutlak
disarikan dalam kehidupan pada tataran birokrasi dan juga diejawantahkan pada
aras kehidupan rakyat banyak.
Sebagai incumbent, pasangan Sayang memiliki pekerjaan rumah untuk
membereskan problem yang belum sempat diselesaikan pada periode pemerintahan sebelumnya,
ditambah lagi dengan janji-jani yang meninggi dilangit harapan saat kampanye
kemarin. Di sektor ekonomi misalnya, disparitas yang masih kental terasa mulai
dari pusat kota, di pedalaman hingga di kepulauan harus segera diatasi.
Pertumbuhan ekonomi Sulsel yang dalam
empat tahun terakhir mengalami peningkatan hingga 6,8 persen dan kerap
dibanggakan karena melampauai pertumbuhan ekonomi nasional tentu dipertanyakan
oleh 10,11% masyarakat yang masih terbelit kemiskinan. Termasuk juga indeks
pembangunan manusia (IPM) yang merefleksi
pencapaian manusia dalam tingkat dan distribusi materi dan non materi atau
standar hidup. Dalam pengertian menakar kualitas pembangunan sekaligus
mengonfirmasi ekspektasi trickle down effect pertumbuhan ekonomi, yang
menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), IPM Sulsel berada di posisi degradasi,
peringkat 19 nasional.
Bagi dua Cagub lainnya, yaitu Ilham Arif Sirajuddin dan Andi
Rudiyanto Asapa yang masih menjabat sebagai Walikota Makassar dan Bupati Sinjai,
niat untuk berkontribusi bagi pembangunan Sulsel harus diartikulasi dalam
kebijakan di daerah masing-masing. Sinergi dengan Gubernur dan Wagub terpilih
harus dikedepankan. Fragmen “Siap menang siap kalah” yang lampau jadi perekat
deklarasi Pilgub damai, menunggu pembuktian menjadi aksi mulia bahu membahu
mengabdi pada masyarakat di ruang mana kepercayaan itu masih menggantung jadi
harapan.
Sulsel
Pilar Indonesia
Salah satu gagasan yang pernah riuh namun kini sayup-sayup kedengaran
(mungkin karena tertutupi oleh semarak Pilgub) adalah cita-cita besar menjadikan
Sulsel sebagai pilar Indonesia. Posisi strategis Sulsel yang secara geografis berada
di titik tengah Indonesia (centre point of Indonesia) adalah anugerah
sekaligus amanah yang harus ditransformasi. Apa lagi posisi geogstrategis
tersebut ditopang oleh sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM)
yang melimpah.
Berkaca dari kejayaan sejarah, bahwa Sulsel pernah menjadi
akselerator ekonomi nasional bahkan menjadi pusat ekonomi global dengan
bandar-bandar dagang mendunia kala pelabuhan Makassar dan Pare-Pare menjadi
tempat para pedagang dari berbagai belahan dunia melabuhkan sauhnya. Lalu epos
itu memunculkan Phinisi sebagai legenda ketangguhan jiwa petualang dan penakluk
orang-orang Sulsel. Sebab kala itu transportasi laut menjadi moda transportasi
paling cepat dan modern di zamannya. Sehingga penguasa laut adalah penguasa
dunia.
Tak heran bila kemudian John Perkins, sang mantan bandit yang
menguasai jaringan keuangan global di bawah kontrol Gedung Putih, di dalam
bukunya Confessions of an Economic Hit Man (2004)
mengilustrasikan manusia Bugis sebagai sosok disegani. Bahkan kepada anak-anak
kecil yang dininabobokan oleh para orang tuanya di Eropa sana, menyebut pelaut-pelaut
Sulsel ‘bajak laut’ agar anak-anak mereka takut lantas tertidur.
Jika kita kontekstualisasikan, makna terdalam pesta demokrasi lima
tahunan yang baru kita lewati tak hanya seremoni belaka untuk menurunkan dan
menaikkan pemimpin dengan simplifikasi logika like and dislike. Lebih
dari itu, Pilgub menyimpan pesan agar hadir refleksi sejarah bagaimana kulminasi
dari proses panjang ini menjadi momentum mengokohkan bagunan ke-Sulsel-an kita.
Spirit mengonsolidasi semua potensi yang sebelumnya terfriksi, berserakan karena
kontestasi sengit kembali menyatu dengan satu ruh dan tarikan nafas untuk
kejayaan bersama.
Jika siri’ na pacce’ sering menjadi “mantra” artikulatif rasa
berbudaya, kini mantra itu kita transformasi sebagai simpul kebersamaan. Siri’
adalah malu jika harus berpecah karena Pilgub, pacce’ bila harus membiarkan
saudara (yang tadinya menjadi kompetitor atas nama demokrasi), berjalan
sendiri. Tak ada kamus menang kalah dalam arti sempit. Akhir dari proses
panjang pesta demokrasi ini sesungguhnya menjadi entry point
membangun kebersamaan. Pada titik ini, kita harus move on
berjamaah.