Oleh : Jusman Dalle
(Diterbitkan Pada Kolom Opini Republika (6/3)
|
Opini Harian Republika (6/3) |
Sastrawan tersohor Amerika
Serikat, Thomas Stearns Eliot (1888) pernah
berpetuah “Sulit membangun peradaban tanpa budaya tulis dan baca”. Menafsir
Eliot, maka kita harus lekat dalam dekap akrab buku sebagai sebuah karya tulis
dan media transmisi menegakkan masyarakat yang hidup berdasarkan adab sebagai
sumber mata air nilai-nilai dalam kehidupan. Ada gejala menarik ketika melihat
geliat dunia perbukuan di Indonesia, selain muncul penerbit-penerbit baru bak
cendawan di musim hujan, sejumlah event juga mengisi dunia perbukuan kita.
Sebutlah
misalnya Islamic Book Fair (IBF) yang saat ini sedang berlangsung. IBF, event nasional
yang memiliki resonansi regional sebab juga dihadiri oleh pengunjung dari
mancanegara, khsusnya pengunjung dari negara di kawasan ASEAN seperti Malaysia,
Singapura dan Brunei Darussalam. Dus, tak salah jika IBF didaulat sebagai event
perbukuan terbesar di Asia Tengagra.
Upaya
pemerintah membangun intimasi dengan buku sebenarnya juga ada dalam alamanak
nasional. Sejak tahun 2002 silam,
tanggal 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional (Harbuknas) yang merujuk
pada hari didirikannya Parpustakaan Nasional pada 17 Mei 1980. Namun sayang,
banyak yang belum mengetahui momentum yang digagas oleh Mantan Mendiknas Abdul
Malik Fadjar itu. Hari Buku Nasional tak sepopuler Hari Buruh, Hari Anti
Korupsi, Hari Kartini atau Hari Pendidikan Nasional.
Event
perbukuan nasional seperti IBF yang dihelat sejak 1 Maret hingga 10 Maret
mendatang, jadi momentum penyegaran untuk terus mendekatkan generasi kita
dengan buku. Dekat dengan buku berarti mendekatkan Indonesia dengan sentrum
peradaban. Buku adalah gudang pengetahuan. Jalinan ide, gagasan, pemikiran, dan
kontinuitas peradaban, tak bisa dilepaskan dari peran buku. Sebagai dokumen
mozaik pencerah yang tercecar, buku menjadi sumber rujukan. Buku, adalah titik
tolak merajut imajinasi lantas meretas realita. Terhadap bangsa-bangsa yang pernah
menjadi mercusuar dalam sejarah, buku memiliki peran organik.
Bangsa
Yunani misalnya, keluar dari halusinasi mitologi menuju babak pencerahan
“logos” atau ilmu pengetahuan setelah para filusuf di negeri yang kala itu
belum menjadi pusat peradaban mulai mendokumentasikan pemikiran-pemikiran
mereka ke dalam lembaran-lembaran. Manuskrip ilmu pengetahuan, pemikiran dan
hasil penelitian bertransformasi dan dikembangkan oleh generasi berikutnya.
Maka lahirlah filusuf yang menjadi legenda ilmu pengetahuan dan hingga kini
masih menjadi rujukan. Seperti Socrates, Plato maupun Aristoteles. Pencerahan
mereka bisa kita lacak karena adanya pewarisan gagasan melalui buku.
Mustafa Siba’i (1915) di
dalam bukunya Min Rawaih Hadharahtina menerangkan jika transformasi
peradaban Islam ke Eropa pada abad pertengahan juga bermula
dari semangat perbukuan. Kala itu,
buku-buku yang ditulis oleh para ulama Islam menjadi referensi setelah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Italia, Prancis dan Spanyol sehingga
bisa dibaca oleh orang-orang Barat.
Senada dengan Siba’i, Gustave
Le Bon, seorang psikolog sosial dan juga fisikawan
Prancis, mengatakan bahwa berkat terjemahan buku bangsa-bangsa Arab (Islam),
terutama buku-buku sains, perguruan tinggi Eropa berjaya selama lima hingga
enam abad. Mereka mengambil rujukan dari Bagdad hingga Andalusia.
John Freely
di dalam bukunya Cahaya Dari Timur (2011) berkesimpulan jika Barat yang hari
ini maju pesat dan menjadi pusat ilmu pengetahuan, berhutang budi pada umat
Islam. Berkat kemurahan umat Islam yang merelakan buku-bukunya diterjemahkan,
Barat bisa bertransformasi.
Di akhir abad 20 hingga awal
abad 21 ini, Jepang menjadi salah satu benchmark (pembanding) bagaimana buku mampu
mentransformasi suatu bangsa. Tak dapat dimungkiri bila maju dan munculnya Negeri
Sakura sebagai satu negara penting di dunia dengan produk teknologi yang mnembus
kamar-kamar kita, juga bertitik tolak dari buku. Jepang adalah bangsa yang
gemar membaca.
Menurut budayawan dan
sastrawan Sunda Ajip Rosidi, sejak dini
kira-kira umur dua hingga tiga tahun, masyarakat
Jepang telah diperkenalkan dengan buku. Saking dekatnya dengan buku, ada
seloroh, “kalau orang Jepang tidur sambil membaca, sedangkan orang Indonesia
membaca sambil tidur.”
Dalam telaah
psikologi, usia dua hingga tiga tahun merupakan masa krusial perkembangan otak manusia.
Menurut Tony Setiabudhi (2003) 80 persen kapasitas otak dan alam bawah sadar manusia
mulai dibentuk pada periode tiga tahun pertama. Oleh karenanya, pada masa ini,
semestinya anak mulai harus dibiasakan dekatk dengan buku untuk menumbuhkan
budaya intelektual dan literasi.
Internet
Di tengah
geliat positif yang nampak dari dunia perbukuan, belakangan kita juga menyaksikan
kuatnya gempuran teknologi yang jika salah respons malah berdampak negatif dan
destruktif pada budaya baca dan tulis. Televisi dan internet misalnya, menjadi
magnet yang mengalahkan daya tarik buku. Anak-anak hingga orang dewasa
sekalipun, jamak kita saksikan menghabiskan waktu di depan televisi atau berselancar
di internet, berjejaring sosial hingga hampir tak punya waktu untuk membaca. Buku
tidak lagi menjadi “sebaik-baik teman duduk”. Ini merupakan paradoks di tengah
geliat dunia perbukuan.
Tak hanya
itu, tantangan lain untuk menjaga hasrat publik terhadap buku adalah sarana-sarana
mendekatkan masyarakat dengan buku, seperti taman baca atau perpustakaan, juga sulit
diakses. Jauh tertinggal dari jumlah pusat perbelanjaan modern dan hiburan yang
bisa kita jumpai dengan mudah. Di kota-kota besar yang seharusnya memiliki
peradaban lebih maju ditandai oleh kedekatan dengan buku, hampir setiap dua
kilometer kita menjumpai mall, namun mencari taman baca, toko buku atau
perpustakaan sungguh bukanlah pekerjaan yang mudah.
Serbuan budaya populer tersebut perlu
disikapi secara produktif dengan lebih menggalakkan agenda perbukuan yang lebih
inovatif. Termasuk apresiasi terhadap antusiasme
para pelaku dunia perbukuan di tanah air seperti satu trend baru dalam penerbitan
indie atau self publishing, menerbitkan sendiri karya kita yang
biasanya dicetak berdasarkan orderan yang diistilahkan POD (print on demand)
yang tak jarang melahirkan penulis-penulis ternama dan buku-buku best seller.
Ini tentu saja menjadi tantangan bagi penerbit-penerbit ternama yang kerap
lebih mengutamakan sisi bisnis ketimbang spirit intelektualnya.
Penerbitan buku dengan self
publishing cukup memantik antusiasme lahirnya penulis-penulis baru. Termasuk
dari kalangan orang-orang ternama baik selebriti maupun pejabat publik.
Terlepas dari bobot dan motif karya-karya mereka, yang pasti semangat positif melek
literasi perlu terus ditularkan dan menjadi budaya. Menulis menjadi life style.
Mungkin kita perlu membuat sebuah gerakan menulis minimal satu buku seumur hidup.
Sebagai satu sumber
pengetahuan, buku telah mengeluarkan suatu kaum dari mitologi menuju logos atau
ilmu pengetahuan. Dan oleh pengetahuan itulah bangsa-bangsa kuat. Ini persis tamsil
Francis Bacon (1561-1626), scientia est potentia, ilmu pengetahuan
adalah kekuatan. Buku adalah arsip ilmu pengetahuan yang tak lekang oleh zaman.