Mata Air Pikiran Mengalir Membentuk Kenyataan

  • Opini Kompas | IMF dan Malapraktik Diplomasi

    Jusman Dalle | Opini Harian Kompas Pemerintah memastikan bakal memberikan bantuan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9,4 triliun. Terkait komitmen Indonesia ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, IMF diharapkan tidak hanya menggunakan pinjaman ini untuk membantu negara-negara di Eropa, tetapi juga negara-negara di Asia dan Afrika.

  • Opini Republika | Urgensi Badan Haji

    Jusman Dalle - Opini Republika | Untuk mencapai tujuan pertama yaitu manfaat transformasi manajemen, Badan Haji yang nantinya bakal berfungsi sebagai eksekutor saja, merampingkan organisasi serta secara otomatis memotong rantai birokrasi bertingkat dan kompleks yang melibatkan banyak institusi. Badan Haji juga mengakhiri rezim monopoli kewenangan sebab Kemenag tinggal memegang satu fungsi, yaitu sebagai regulator sementara Komisi VIII DPR yang membawahi persoalan haji, berfungsi sebagai evaluator.

  • Profil Jusman Dalle

    Jusman juga menekuni digital marketing. Merancang dan membuat konten digital berupa tulisan (copywriter), visual dan audio visual untuk sejumlah perusahaan dan institusi skala nasional. Antara lain Partai Gerindra, Kedutaan Besar Jerman, Taksi Ekspress, Bank BTN, PLN, XL Axiata, Agung Podomoro Land, True Money, dll.

  • Rawan Pangan Negeri Pertanian

    Jusman Dalle - Opini Koran Tempo | Program revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan sejak 2005 masih sebatas lip service. Infrastruktur irigasi rusak parah, jalanan di desa-desa basis pertanian pun belum memadai. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 9,25 juta hektare juga baru sebatas “angin surga”.

7.3.13

Buku Menegakkan Peradaban

Oleh : Jusman Dalle

(Diterbitkan Pada Kolom Opini Republika (6/3)
Opini Harian Republika (6/3)
Sastrawan tersohor Amerika Serikat, Thomas Stearns Eliot (1888) pernah berpetuah “Sulit membangun peradaban tanpa budaya tulis dan baca”. Menafsir Eliot, maka kita harus lekat dalam dekap akrab buku sebagai sebuah karya tulis dan media transmisi menegakkan masyarakat yang hidup berdasarkan adab sebagai sumber mata air nilai-nilai dalam kehidupan. Ada gejala menarik ketika melihat geliat dunia perbukuan di Indonesia, selain muncul penerbit-penerbit baru bak cendawan di musim hujan, sejumlah event juga mengisi dunia perbukuan kita.
Sebutlah misalnya Islamic Book Fair (IBF) yang saat ini sedang berlangsung. IBF, event nasional yang memiliki resonansi regional sebab juga dihadiri oleh pengunjung dari mancanegara, khsusnya pengunjung dari negara di kawasan ASEAN seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Dus, tak salah jika IBF didaulat sebagai event perbukuan terbesar di Asia Tengagra.
Upaya pemerintah membangun intimasi dengan buku sebenarnya juga ada dalam alamanak nasional. Sejak tahun 2002  silam, tanggal 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional (Harbuknas) yang merujuk pada hari didirikannya Parpustakaan Nasional pada 17 Mei 1980. Namun sayang, banyak yang belum mengetahui momentum yang digagas oleh Mantan Mendiknas Abdul Malik Fadjar itu. Hari Buku Nasional tak sepopuler Hari Buruh, Hari Anti Korupsi, Hari Kartini atau Hari Pendidikan Nasional.
Event perbukuan nasional seperti IBF yang dihelat sejak 1 Maret hingga 10 Maret mendatang, jadi momentum penyegaran untuk terus mendekatkan generasi kita dengan buku. Dekat dengan buku berarti mendekatkan Indonesia dengan sentrum peradaban. Buku adalah gudang pengetahuan. Jalinan ide, gagasan, pemikiran, dan kontinuitas peradaban, tak bisa dilepaskan dari peran buku. Sebagai dokumen mozaik pencerah yang tercecar, buku menjadi sumber rujukan. Buku, adalah titik tolak merajut imajinasi lantas meretas realita. Terhadap bangsa-bangsa yang pernah menjadi mercusuar dalam sejarah, buku memiliki peran organik.
                Bangsa Yunani misalnya, keluar dari halusinasi mitologi menuju babak pencerahan “logos” atau ilmu pengetahuan setelah para filusuf di negeri yang kala itu belum menjadi pusat peradaban mulai mendokumentasikan pemikiran-pemikiran mereka ke dalam lembaran-lembaran. Manuskrip ilmu pengetahuan, pemikiran dan hasil penelitian bertransformasi dan dikembangkan oleh generasi berikutnya. Maka lahirlah filusuf yang menjadi legenda ilmu pengetahuan dan hingga kini masih menjadi rujukan. Seperti Socrates, Plato maupun Aristoteles. Pencerahan mereka bisa kita lacak karena adanya pewarisan gagasan melalui buku.
Mustafa Siba’i (1915) di dalam bukunya Min Rawaih Hadharahtina menerangkan jika transformasi peradaban Islam ke Eropa pada abad pertengahan juga bermula dari  semangat perbukuan. Kala itu, buku-buku yang ditulis oleh para ulama Islam menjadi referensi setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Italia, Prancis dan Spanyol sehingga bisa dibaca oleh orang-orang Barat.
Senada dengan Siba’i, Gustave Le Bon, seorang psikolog sosial dan juga fisikawan Prancis, mengatakan bahwa berkat terjemahan buku bangsa-bangsa Arab (Islam), terutama buku-buku sains, perguruan tinggi Eropa berjaya selama lima hingga enam abad. Mereka mengambil rujukan dari Bagdad hingga Andalusia.
John Freely di dalam bukunya Cahaya Dari Timur (2011) berkesimpulan jika Barat yang hari ini maju pesat dan menjadi pusat ilmu pengetahuan, berhutang budi pada umat Islam. Berkat kemurahan umat Islam yang merelakan buku-bukunya diterjemahkan, Barat bisa bertransformasi.
Di akhir abad 20 hingga awal abad 21 ini, Jepang menjadi salah satu benchmark  (pembanding) bagaimana buku mampu mentransformasi suatu bangsa. Tak dapat dimungkiri bila maju dan munculnya Negeri Sakura sebagai satu negara penting di dunia dengan produk teknologi yang mnembus kamar-kamar kita, juga bertitik tolak dari buku. Jepang adalah bangsa yang gemar membaca.
Menurut budayawan dan sastrawan Sunda Ajip Rosidi, sejak dini kira-kira umur dua hingga tiga tahun,  masyarakat Jepang telah diperkenalkan dengan buku. Saking dekatnya dengan buku, ada seloroh, “kalau orang Jepang tidur sambil membaca, sedangkan orang Indonesia membaca sambil tidur.”
Dalam telaah psikologi, usia dua hingga tiga tahun merupakan masa krusial perkembangan otak manusia. Menurut Tony Setiabudhi (2003) 80 persen kapasitas otak dan alam bawah sadar manusia mulai dibentuk pada periode tiga tahun pertama. Oleh karenanya, pada masa ini, semestinya anak mulai harus dibiasakan dekatk dengan buku untuk menumbuhkan budaya intelektual dan literasi.
Internet
Di tengah geliat positif yang nampak dari dunia perbukuan, belakangan kita juga menyaksikan kuatnya gempuran teknologi yang jika salah respons malah berdampak negatif dan destruktif pada budaya baca dan tulis. Televisi dan internet misalnya, menjadi magnet yang mengalahkan daya tarik buku. Anak-anak hingga orang dewasa sekalipun, jamak kita saksikan menghabiskan waktu di depan televisi atau berselancar di internet, berjejaring sosial hingga hampir tak punya waktu untuk membaca. Buku tidak lagi menjadi “sebaik-baik teman duduk”. Ini merupakan paradoks di tengah geliat dunia perbukuan.
Tak hanya itu, tantangan lain untuk menjaga hasrat publik terhadap buku adalah sarana-sarana mendekatkan masyarakat dengan buku, seperti taman baca atau perpustakaan, juga sulit diakses. Jauh tertinggal dari jumlah pusat perbelanjaan modern dan hiburan yang bisa kita jumpai dengan mudah. Di kota-kota besar yang seharusnya memiliki peradaban lebih maju ditandai oleh kedekatan dengan buku, hampir setiap dua kilometer kita menjumpai mall, namun mencari taman baca, toko buku atau perpustakaan sungguh bukanlah pekerjaan yang mudah.
Serbuan budaya populer tersebut perlu disikapi secara produktif dengan lebih menggalakkan agenda perbukuan yang lebih inovatif. Termasuk apresiasi  terhadap antusiasme para pelaku dunia perbukuan di tanah air seperti satu trend baru dalam penerbitan indie atau self publishing, menerbitkan sendiri karya kita yang biasanya dicetak berdasarkan orderan yang diistilahkan POD (print on demand) yang tak jarang melahirkan penulis-penulis ternama dan buku-buku best seller. Ini tentu saja menjadi tantangan bagi penerbit-penerbit ternama yang kerap lebih mengutamakan sisi bisnis ketimbang spirit intelektualnya.
Penerbitan buku dengan self publishing cukup memantik antusiasme lahirnya penulis-penulis baru. Termasuk dari kalangan orang-orang ternama baik selebriti maupun pejabat publik. Terlepas dari bobot dan motif karya-karya mereka, yang pasti semangat positif melek literasi perlu terus ditularkan dan menjadi budaya. Menulis menjadi life style. Mungkin kita perlu membuat sebuah gerakan menulis  minimal satu buku seumur hidup.
Sebagai satu sumber pengetahuan, buku telah mengeluarkan suatu kaum dari mitologi menuju logos atau ilmu pengetahuan. Dan oleh pengetahuan itulah bangsa-bangsa kuat. Ini persis tamsil Francis Bacon (1561-1626), scientia est potentia, ilmu pengetahuan adalah kekuatan. Buku adalah arsip ilmu pengetahuan yang tak lekang oleh zaman.