3.7.12
Skenario Pilpres Mesir
Opini Tribun Timur (25/6/2012)
***
Kehawatiran militer terhadap ancaman dominasi Islamis di tubuh pemerintahan Mesir nampak tergambar jelas dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tiba-tiba membubarkan Parlemen. Berdasarkan hasil pemilu, 70 persen anggota parlemen berasal dari partai Islam FJP yang juga sayap politik Ikhwanul Muslimin dan An Nur yang berafiliasi ke Salafi.
Pembacaan tentang besarnya peluang calon dari Islamis, Muhammad Mursi memenangi pemilihan presiden, menjadi kekhawatiran tersendiri. Dengan pembubaran parlemen yang kemudian diambil alih oleh pemerintahan transisi dari kalangan militer, maka kekuatan kelompok Islamis bisa direduksi.
Pembubaran parlemen hasil pemilu dilakukan MK pada hari Kamis (14/6). MK menyatakan bahwa pemilu tahun lalu untuk memilih anggota parlemen melanggar undang-undang dasar. Pengumuman resmi pembubaran parlemen dikeluarkan ketika Mesir menggelar pemilihan putaran kedua untuk memilih pengganti Husni Mubarak, yang dipaksa menyerahkan kekuasaan tahun lalu. (Www.bbc.co.uk, 17/6)
Putusan tersebut, sekaligus memuluskan sisa rezim untuk kembali berkuasa. Demokrasi yang menjadi cita-cita revolusi 25 Januari 2011, pun menjadi tak jelas arahnya. Setelah parlemen dibubarkan, pemerintahan transisi membentuk Dewan Kosntituante beranggotakan 100 orang lintas latar belakang untuk membuat konstitusi baru dan mengatur kekuasaan presiden. Putusan kontrovesri di tengah proses pemilu putaran kedua itu menyebabkan 82 juta jiwa penduduk Mesir, investor asing, dan sekutu mereka di Amerika Serikat (AS) dan Eropa tak bisa meraba masa depan negara terpadat di Arab.
Tak menutup kemungkinan, revolusi jilid II bergulir dari kemarahan kaum muda revolusioner dan kelompok Islamis. Apa lagi putusan ringan pengadilan, hanya menghukum Husni Mubarak penjara seumur hidup. Jauh dari ekspektasi publik yang menginginkan Mubarak dihukum mati sebagai bentuk pertanggungjawaban atas meninggalnya sekitar 850 orang aktivis di Tahrir Square saat revolusi lalu. Jika skenario itu terjadi, militer kembali menjadi common enemy (musuh bersama). Bara koflik sipil-militer kembali berkobar dan merusak tatanan sosial negeri piramida.
Para analis mengatakan pembubaran Parlemen yang 47 persen dikuasai oleh kelompok Islamis Ikhwanul Muslimin ini sangat tendensius. Karena MK mengeluarkan putusan kontroversial itu jelang pilpres putaran kedua yang diikuti oleh calon ikhwan, Muhammad Mursi dan calon dari kalangan militer, Ahmad Shafiq. Seperti kita ketahui, pada pilpres putaran pertama, Mursi unggul tipis terhadap Shafiq. Moursi meraih 5,7 juta suara (24,77 persen) dan Shafik meraih 5,5 juta suara (23,66 persen) dari 50 juta pemilih yang terdaftar.
Dua Skenario
Ada dua skenario besar memandang kemungkinan hasil pilpres. Pertama, jika Mursi yang didukung oleh kelompok Islamis dari Partai FJP (sayap politik Ikhwanul Muslimin) maupun Partai An Nur (dari kelompok salafi) menang dalam pilpres putaran kedua dan otomatis menjadi Presiden Mesir pertama pasca Mubarak, maka tak ada dominasi Islamis di dalam pemerintahan Mesir.
Setidaknya, parlemen sebagai mitra pemerintah yang awalnya dikuasai kelompok Islamis (FJP dan An Nur), kini telah dinyatakan tidak absah lagi. Maka tak ada yang bisa melegitimasi kebijakan-kebijakan Mursi kedepan.
Saat ini kendali atas pemerintahan Mesir bisa dikatakan masih berada di tangan militer sebagai pemangku transisi. Lembaga Yudikatif (MK) yang posisinya sangat urgen, juga seirama dengan nada hasrat militer. Militer memposisikan diri sebagai oposisi pemerintah sehingga arah politik Mesir kedepan akan penuh tarikan kepentingan politik. Militer juga telah membuat aturan untuk mengendalikan UU dan anggaran negara. Jika ini terjadi, Presiden terpilih bak dikebiri. Demokrasi Mesir hanya simbolik semata.
Bahkan tak menuntup kemungkinan terjadinya chaos karena militer telah melakukan setting agar Shafiq lah yang terpilih sebagai Presiden Mesir. Militer telah mengumumkan, jika ada yang protes dengan pengumuman hasil pilpres, maka militer akan melakukan penangkapan.
Spekulasi kedua, jika Shafiq yang berlatar belakang militer naik ke tampuk kekuasaan, maka ucapan mantan Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Mohamed El Baradei bisa menjadi kenyataan. Kata El baradei, Mesir akan menderita di bawah kondisi yang lebih buruk ketimbang kondisi di bawah kediktatoran Mubarak. Militer akan membawa Mesir berada di bawah “kekaisaran baru” yang mendirikan dominasi total di negara itu.
Berkuasanya militer menjadi babak baru bagi serangan balik terhadap euforia “kesuksesan revolusi” yang belum lama dirasai manisnya. Kembalinya militer juga menjadi pukulan telak bagi kelompok Ikhwanul Mislimin yang gerakannya telah dikooptasi selama tiga dekade di bawah rezim militersime Mubarak. Kekosongan parlemen dan konstitusi bisa jadi akan membuat Shafiq membuat aturan sesuai seleranya. Termasuk putusan ekstrim melarang organisasi-organisasi semacam Ikhwanul Muslimin jika kelompok ini terus mengeritik pemerintah. Dengan alasan stabilitas, seperti dilakukan Mubarak di masanya.
Semestinya, semanagat anti Mubarak dikapitalisasi oleh Ikhwan dan pendukung Mursi agar dukungan mengalir ke mereka. Tapi di sisi lain, publik juga belum yakin dengan sosok Mursi dan kemana ia akan membawa Mesir jika terpilih. Kondisi dilema ini, menyebabkan kalangan muda enggan memberikan hak pilihnya. Angka golput pun diperkirakan lebih tinggi dari pilpres putaran pertama.
Seperti dilansir dari keterangan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mesir, tingkat partisipasi pada pilpres 23-24 Mei hanya 46 persen atau menurun dari pemilu perlamen yang mencapai 64 persen. Grafik partisipasi yang menurun ini adalah sinyalemen buruk bagi masa depan demokrasi Mesir. Tercium aroma apatisme yang menyebabkan rendahnya kualitas dari outcome demokrasi.
Recovery Ekonomi
Kini, pilihan ada di tangan rakyat Mesir, mereka mau melanjutkan perjuangan demokrasi dan bersatu menghentikan sabotase yang dilakukan oleh sisa rezim (militer), atau pasrah sepenuhnya sehingga Fir’aun-Fir’aun baru memuluskan agenda konsolidasi mereka dan Mesir lama di bawah bayang-bayang diktatorisme, berdiri kembali. Artinya revolusi menjadi sia-sia.
Setelah agenda konsolidasi politik yang terfragmentasi akut akibat pertarungan kepentingan, rakyat Mesir harus berfikir futuristik.
Memikirkan recovery ekonomi Mesir yang kacau balau akibat instabilitas politik. Karena revolusi yang menghendaki demokrasi dan kebebasan sebagai instrumennya harus sejalan dengan kesejahteraan. Jika kemudian revolusi tak melahirkan pemerintahan demokratis dan kesejahteraan, sia-sialah perjuangan mereka selama ini. Arwah 850 martir revolusi, selamanya akan menyesali sejarah yang tak tuntas.