3.7.12
Krisis Global dan Hattanomics
Opini Jurnal Nasional (3/7/2012)
Oleh : Jusman Dalle
Perekonomian Indonesia kembali mencatat
prestasi global. Laporan tengah tahunan yang dirilis Bank Dunia soal proyeksi
pertumbuhan ekonomi global tahun 2013 dan tahun 2014 menempatkan Indonesia
sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan tertinggi di dunia. Dari 29 negara
yang diproyeksi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi, sebagian besar justru
negara berkembang atau apa yang penulis istilahkan sebagai negara baru. Mereka
bukanlah negara maju. Bukan pemain utama dalam globalisasi seperti Amerika,
Inggris, Jerman, Jepang atau Prancis yang selama ini disakralkan sebagai pemegang
mahkota penggerak utama ekonomi global.
Laporan bertajuk Global Economic
Prospects : Managing Growth
In a Volatile World itu menempatkan Irak pada
posisi pertama sebagai negara dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi tertinggi di
dunia. Pada tahun 2013, negeri 1001
malam yang sedang bangkit setelah porak poranda akibat perang itu, diproyeksi
tumbuh pada angka 13,1 persen. Sektor perminyakan menjadi kontributor utama,
yaitu mencapai 90 persen bagi pendapatan negara.
Sierra Leone menyusul pada posisi kedua
dengan angka pertumbuhan 11,1 persen. Di posisi tiga, Cina menempel dengan
proyeksi angka pertumbuhan 8,3 persen. Posisi Cina tak mengejutkan karena satu
dekade terakhir, Cina kadung menempati rangking teratas dalam pertumbuhan
ekonomi dunia pasca Deng Xiaoping mengubah arah ekonomi negara komunis itu
kearah ekonomi yang lebih terbuka namun protektif.
Beberapa ‘negara baru’ yang juga masuk
dalam laporan Bank Dunia itu adalah : Laos (4), Mozambique (5), Rwanda (6), Ethiopia
(7), Uganda (8), Angola (9), Haiti (10), India (11), Nigeria (12), Republik Demokratik
Kongo (13), Ghana (14), Tanzania (15), Kazakhstan (16), Uzbekistan, Kamboja
(18), Bangladesh (19), Nigeria (20), Indonesia (21), Vietnam (22), Cape Verde
(23), Giunea (24), Zambia (25), Panama (26), Tajikistan (27), Republik Kongo
(28) dan terakhir adalah Botswana (29).
Laporan Bank Dunia mengonfirmasi jika
krisis ekonomi di Amerika dan Eropa menyebabkan pergeseran poros pertumbuhan
ekonomi global ke Asia dan Afrika hingga beberapa tahun ke depan. Mengapa
negara maju tak satu pun masuk dalam daftar negara-negara yang berkontribusi
bagi pertumbuhan ekonomi dunia hingga dua tahun kedepan itu?
Jawabannya sederhana, saat ini
negara-negara maju sedang berjuang menghadapi krisis yang merambah dari satu
negara ke negara lain. Krisis bahkan bermutasi dari krisis ekonomi ke krisis
politik dan krisis sosial. Proses perpindahan krisis dari satu negara ke negara
lain, bahkan dari satu kawasan ke kawasan lain yang hampir tak bisa dibendung,
merupakan logika kerja globalisasi yang mengkoneksikan semua negara di dunia
ini. Globalisasi membuat dependensi atau ketergantungan ekonomi satu negara terhadap
negara lain sangat tinggi sehingga menciptakan efek berantai.
Laporan Bank Dunia menilai Indonesia adalah salah satu
negara G-20 dengan manajemen fiskal yang baik dan sektor keuangan relatif kuat. Untuk wilayah Asia Tenggara, potensi
pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya kalah oleh Kamboja dan Laos. Pertumbuhan
ekonomi Kamboja diproyeksikan mencapai 6,5 persen tahun ini, sebelum diprediksi
menjadi 6,8 persen pada 2013 dan 2014 sebesar 6,3 persen.
Laporan itu juga menggambarkan jika negara
yang tidak cebur di
kedalaman pasar global –hanya menjadi pemain pinggiran- justru tetap aman di
saat krisis membadai. Indonesia merupakan salah satu negara yang belakangan ini
cukup konservatif dalam praktek ekonomi. Berbagai kebijakan baru dikeluarkan
oleh pemerintah untuk memperkuat ekonomi nasional. Termasuk meninjau kembali
konsensus ekonomi dengan negara lain yang berpotensi merugikan bagi pelaku
ekonomi nasional.
Misalnya
kebijakan divestasi beberapa perusahaan global yang beroperasi di Indonesia.
Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah
(PP) baru Nomor 24 tahun 2012 sebagai revisi dari PP No. 23 tahun 2010 yang
mengharuskan investor asing mendivestasikan kepemilikannya di perusahaan
tambang yang beroperasi di Indonesia hingga tersisa 49% dari jumlah total saham
sebelumnya. Indonesia juga meminta peninjauan
kembali Asean China Free Tarde Area (ACFTA) yang menjadi kran membanjirnya
produk murah Cina dan mengancam industri nasional. Kebijakan-kebijakan tersebut
berupaya menjaga keseimbangan kontribusi domestik dalam pembangunan.
Hattanomics
Kenyataan
ini menarik untuk kita analisis dengan madzhab baru dalam kebijakan ekonomi
Indonesia. Hattanomics atau kebijakan ekonomi Hatta Rajasa. Istilah Hattanomics
dimunculkan oleh Kevin O’Rourke, Pengamat ekonomi lulusan Harvard University.
Hattanomics ramai dibicarakan setelah Kevin menulis artikel yang berjudul
Hattanomics dan Politik Proteksionisme di The Wall Street Journal pada 23 Mei 2012.
Menurut
Kevin, tiga ciri utama kebijakan Hatta Rajasa adalah menitik beratkan proteksi, restriksi perdagangan, dan pembatasan kepemilikan
asing. Suatu madzhab ekonomi konservatif yang
mengancam peran serta asing dalam perekonomian Indonesia. Padahal, kata Kevin,
Indonesia selama ini menikmati status sebagai kesayangan investor
global yang mencari alternatif menjanjikan di luar Cina dan
India. Alasannya mudah dilihat. Indonesia memiliki jumlah konsumen
yang besar, anugerah sumber daya
alam yang kaya, dan tingkat pertumbuhan di atas 6 persen.
Dalam
pandangan penulis, Hattanomics merupakan hasil pergumulan Hatta Rajasa terhadap
tafsir Ekonomi Pancasila yang selama ini liar. Tergantung pada tuan pemangku
kebijakan. Sebutlah misalnya, di era Soekarno, ekonomi Pancasila lebih condong
pada sosialisme karena patron ideologi sang proklamator sangat kental dengan
rasa sosialismenya sebagai ekspresi kekecewaan historical. Kecewa terhadap
Barat (kapitalisme) yang telah menjajah Indonesia.
Pun
ketika Soeharto menjadi Presiden, ekonomi Pancasila ditafsiri oleh kelompok
asuhan Washington atau lebih populer dengan gank Mafia Berkeley. Di bawah
komando Widjojo Nitisastro, ekonomi Indonesia dimodernisasi pada sektor pasar,
fiskal dan birokrasi yang membuka kran partisipasi asing lebih luas. Muncullah
istilah Widjoonomics. Ketika
neoliberalisme untuk pertama kalinya diterapkan di Chile tahun 1973,
Widjojonomics berasimilasi dengan neoliberalisme.
Lengsernya
Soeharto ternyata tak membuat neoliberalisme musnah dari Indonesia. Berbagai
konsesnsus ekonomi yang telah diteken pemerintah orde baru, tidak begitu saja
bisa dibatalkan oleh pemerintahan Habibie. Berlajutlah liberalisasi ekonomi
yang dikenal dengan Habibienomics. Walau kemudian Habibie mengklarifikasi jika
kebijakan-kebijakannya merupakan pilihan pahit di bawah tekanan lembaga ekonomi
dunia seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Habibienomics
sendiri telah dibangun sejak dekade 1980an. Habibie yang kala itu menjadi
Menristek dan Ketua BPPT, merangkul lulusan-lulusan Jerman untuk mengadopsi
kemajuan negara Hitler. Inti dari Habibienomics adalah industrialisasi dengan
melibatkan negara secaa aktif dalam penguasaan teknologi sebagai penggerak
pembangunan.
Soekarno,
Widjojonomics dan Habibienomics memberi warna tersendiri bagi pergumulan
ekonomi bangsa ini. Soekarno dengan anti kapitalismenya, Widjojo dengan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita) ala Walt Whitman Rostow dan Habibie yang
cukup sukses mengantar Indonesia mengenal industrialisasi berbasis teknologi.
Ketika
globalisasi kian agresif melakukan penetrasi dan menjadi cakar perekonomian
negara-negara kapitalis, Hatta Rajasa muncul dengan Hattanomics. Kita berharap,
Hattanomics yang dianggap oleh pengamat asing sebagai kebijakan konservatif itu
bisa menjaga kedaulatan ekonomi Indonesia, termasuk menjadi perisai krisis
global yang justru sangat mudah mengguncang negara-negara penganut ekonomi
liberal.