25.5.12
Gaga Dalam Misi Diplomasi
Oleh : Jusman Dalle
(Opini Koran FAJAR edisi Kamis 25 Mei 2012)
***
Selain persoalan
nilai, etika dan budaya, pro kontra seputar rencana pertunjukan musik Stefani
Joanne Angelina Germanotta atau populer dengan nama Lady Gaga di Jakarta pada 3
Juni mendatang, tak bisa dipisahkan dari kepentingan bisnis. Dalam perspektif
ekonomi, artis merupakan endorser efektif untuk memasarkan suatu produk atau
bahkan suatu negara.
Lazimnya event
komersil, selalu ada sponsor yang digandeng oleh pihak promotor sebagai
fundrising. Saling menguntungkan tentu menjadi harapan. Untuk jangka panjang,
Gaga menjadi representasi dari mana ia berada. Gaya hidup Gaga tentu
mengafirmasi para penggemarnya sehingga komunikasi itu, sedikit banyak menjadi
basis rekonstruksi karakter.
Bisnis Prospektif
Dengan segala sisi
kontroversi yang mengantarkan namanya melejit dan laris manis di panggung
hiburan internasional, konser Gaga termasuk konser berkelas. Harga tiketnya pun
dipasang cukup tinggi. Tiket paling murah dibanderol dengan harga Rp. 465.000,
dan untuk yang paling mahal atau Golden Circle GA Festival dibanderol dengan
harga Rp. 2. 250.000 (www.myticket.co.id).
Walaupun terbilang mahal, tiket konser Lady Gaga laris manis bak kacang
goreng. Saat penjulan perdana pada 10 Maret lalu, dalam dua jam pertama 20.000
dari 40.000 tiket yang disiapkan panitia, ludes terjual.
Berdasarkan asumsi harga
rata-rata Rp.1.000.000, maka uang yang masuk ke pihak promotor sebesar Rp. 40
miliar, belum termasuk dari pihak sponsor. Menurut manajemen Big Daddy selaku
promotor, dari setiap pagelaran musik mereka bisa meraup untung hingga 30
persen. Artinya, konser Gaga bakal memberi profit sebesar RP. 12 Miliar.
Gaga bukanlah cerita
pertama perihal pemanfaatan histeria masyarakat kita-yang sebagian besar dari
kalangan anak muda- untuk kepentingan bisnis. Saban tahun, Indonesia ramai “disambangi”
artis asing.
Sebutlah misalnya Justin
Bibier, Linkin Park, Simple Plan, Katy Perry dan Super Junior (SUJU) yang telah
manggung di Indonesia. Bahkan, untuk tahun 2012 ini menurut catatan Polri ada
54 artis luar negeri yang menggelar konser di Indonesia.
Gandrungnya
masyarakat kita dengan musik atau hiburan bisa dilacak dari teori kebutuhan
psikolog Amerika, Abraham Maslow 91908-1970). Menurut Maslow, akses hiburan
merupakan perwujudan dari puncak tertinggi dari hireraki kebutuhan manusia,
yaitu aktualisasi diri. Pada puncak kebutuhan, aktualisasi diri, ada 17 meta
kebutuhan yang tidak tersusun secara hirearkis. Salah satu dari 17 meta
kebutuhan itu adalah hiburan.
Jika
ditarik garis korelasi antara economy accessibility (daya akses ekonomi)
dengan aktualisasi diri dalam teori kebutuhan Maslow, nampak bahwa suburnya
bisnis hiburan di tanah air tak dapat dipisahkan dari tingkat kesejahteraan
masyarakat yang kian membaik.
Kelas
menengah (middle class) Indonesia, yaitu kelompok masyarakat konsumtif dengan
salah satu karakter memiliki tingkat konsumsi hiburan yang cukup tinggi,
berdasarkan data World Bank (2011) telah berjumlah sekitar 134
juta. Artinya,
ada lebih dari separuh penduduk
Indonesia yang tak perlu berfikir panjang untuk menikmati hiburan. Dari sisi
bisnis, mereka adalah pasar yang sangat besar.
Mengutip
Yuswo Hady (2012) dari Centre For Middle
Class Consumer, bahwa konsumen kelas menengah adalah konsumen yang memiliki
daya beli cukup tinggi sehingga mereka membeli dan mengkonsumsi barang-barang
yang lebih advance, termasuk hiburan.
Lesunya pasar hiburan di Eropa dan Amerika akibat
krisis ekonomi, turut mendorong artis asing mencari pasar yang lebih menjanjikan. Maka datanglah ke negara-negara degan
perekonomian yang lebih baik. Indonesia salah satunya. Membanjirnya
konser artis internasional di di negeri ini dengan harga tiket terbilang tinggi,
merupakan instrumen jika masyarakat Indonesia bukanlah orang miskin.
Misi Kapitalisme
Semestinya,
bangsa Indonesia belajar dari Korea yang pertumbuhan ekonominya disertai dengan
industri hiburan (musik dan film). Tak hanya untuk konsumen domestik, kini Korean
Pop (K-Pop) bahkan berhasil menjadi arus baru yang digandrungi dunia. Bahkan, ekspor
Boy Band dan Girl Band diikuti oleh
ekspor film dan produk Korea lainnya.
Jadilah
trend kawula muda berbangga menggunakan produk Korea. Maka terbukti, selain
sebagai industri, hiburan menjadi alat efektif dalam diplomasi kapitalisme
mengendarai misi budaya. Korea sukses mengintegrasi hiburan dengan maintream
ekonominya.
Yang
kita sayangkan adalah ketidaksiapan industri hiburan di tanah air dalam
menyambut momentum emas tumbuh pesatnya kelas menengah ini. Selain rugi karena
menyia-nyiakan potensi ekonominya, arus musik dari luar tak pelak turut
mereduksi budaya lokal.
Padahal
musik-musik lokal yang asli Indonesia seperti keroncong, campur sari, atau
dangdut yang memiliki cita rasa seni, pesan kearifan dan keunikan tak kalah menarik
untuk dijadikan komoditas seni. Jika ingin ada sentuhan modern, musik lokal itu bisa saja dielaborasi dengan pop,
jaz dan jenis musik lainnya.
Melihat ekonomi yang terus membaik, jika
diseriusi, industri kreatif musik lokal adalah bisnis menjanjikan. Karena setiap negara yang
maju secara ekonomi, juga diikuti oleh kebutuhan akan hiburan.
Apa
lagi Indonesia menjadi salah satu pioner ekonomi global dengan jumlah penduduk
terbesar ke empat di dunia. Tak semestinya potensi besar itu disia-siakan. Kita
sudah cukup miris dengan impor produk teknologi, buah, sayur dan garam. Tak usah
lagi menggadaikan kedaulatan budaya bangsa ini.