***Opini koran Jurnal Nasional edisi Jum'at (18/5/2012) dengan judul Hikmah Pernyataan Marzuki Alie
18.5.12
Manajemen Organisasi Berbasis Value
Menepuk air di wadah, basah percik ke muka. Demikian gambaran konsekuensi atas keseleo lidah Ketua DPR Marzuk Alie. Saat menyampaikan pidato di Kampus Universitas Indonesia, Depok, 7 Mei lalu, politisi Partai Demokrat itu menyebutkan kegagalan sejumlah universitas dan organisasi terkemuka seperti UI, IPB, UGM, ICMI dan HMI dalam melahirkan insan berakhlak mulia dan berkarakter kuat.
Marzuki menyebut, banyak koruptor merupakan alumni dari institusi yang dia sebutkan itu. “Kita lihat realitasnya yang korupsi saat ini umumnya mereka yang berpendidikan tinggi, tidak terkecuali dari UI, UGM, ITB, dan sebagainya, artinya ada sesuatu yang harus dibenahi dalam proses pendidikan kita‘ (8 Mei, Tempo.co)
Pidato itu akhirnya membuat sejumlah pihak berang dan melaporkan Marzuki ke penegak hukum. Seperti dilakukan oleh mahasiswa program doktor UI yang juga seorang pengacara, David Tobing. David menggugat Marzuki ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tuntutan agar mantan calon Ketua Umum Partai Demokrat itu meminta maaf di media karena dinilai merugikan.
Manajemen Nilai
Terlepas dari kesan over-generalisasi, apa yang disampaikan Ketua DPR RI itu sesungguhnya patut menjadi renungan bagi semua institusi pendidikan dan organisasi di negeri ini. Bahwa sebuah institusi atau organisasi tentu memiliki standar nilai bagi manusia yang bergelut di dalamnya.
Apalagi institusi pendidikan memang selayaknya menjadi antitesis atas segala problem yang membelit bangsa kita. Kehadiran mengurai dan menyelai kompleksitas pemasalahan bangsa tentu tidak bisa hanya dilakukan oleh atas nama institusi, tetapi juga oleh alumni sebagai representasi dari institusi di mana ia pernah bernanung.
Penanaman nilai-nilai yang dalam manajemen dikenal sebagai organization culture, semestinya tercermin dari perilaku alumni instansi yang bersangkutan. Kenyataannya, kita menyaksikan jika ruang jabatan publik yang kian menarik minat kaum intelektual dari lembaga pendidikan atau organisasi bonafid untuk terjun berkompetisi di dalamnya, belum berbanding dengan hasil perubahan konstruktif yang berhasil mereka ciptakan. Bahkan, seperti pesan pidato Marzuki, malah tak sedikit bersifat destruktif bagi bangsa ini.
Ahli manajemen organisasi, Edgar H Schein dalam bukunya Organizational Culture and Leadersip (2010) menulis bahwa kultur merupakan abstraksi dari setting organisasi yang berhasil mencipta dan mengarahkan orang-orangnya dalam berdaya guna. Artinya, internalisasi nilai harus khatam dalam pergulatan dinamika institusional sekaligus menjadi parameter sejauh mana keberhasilan sebuah organisasi dalam mencapai visi dan misinya.
Pendapat Schein diamini oleh Kim S Cameron dan Robert E Quinn. Bagi Kim dan Robert (2011), kegagalan dalam menanamkan value (nilai) organisasi di abad ini akan menjadi babak dramatis dalam mengahadapi turbulensi-turbulensi ketika persaingan yang makin ketat mengedepankan nilai yang intangiable (tak nampak) seperti: moral, perilaku atau budaya.
Dalam kaitannya dengan praktik pengelolaan negara, kita melihat bahwa terjadi tren di mana politisi dan pejabat publik melegitimasi kelas mereka melalui gelar akademik dari lembaga pendidikan ternama. Dalam perspektif political marketing, hal itu kita identifikasi sebagai salah satu strategi marketisasi diri, mengungkit prestise dan kelas di ruang persaingan yang superketat.
Nah, tren mengejar gelar ini menjadi pekerjaan rumah (PR) dan tantangan bagi lembaga pendidikan untuk lebih mengedepankan internalisasi “gelar dan nilai moral‘ ketimbang menyematkan gelar akademik kepada setiap civitas academica agar tak terjadi degradasi dan absurditas standar nilai acuan.
Transformasi Parpol
Secara tersirat, mau tidak mau, pernyataan Marzuki Alie sesungguhnya juga menyorot kegagalan peran partai politik dalam melakukan rekrutmen dan pencerdasan atau kaderisasi. Jika pidato yang disampaikan di ruang ilmiah mengeritik peran lembaga ilmiah atau akademik, maka kita tentu menunggu aksi nyata Marzuki Alie dalam memperbaiki parpol di mana dia saat ini berkarier dalam kapasitasnya sebagai orang yang memiliki power: Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.
Seperti kita ketahui, selain alumni-alumni perguruan tinggi ternama seperti disebutkan Ketua DPR itu, ternyata tak sedikit koruptor di negeri ini yang juga datang dari partai politik. Tak terkecuali partai besar seperti Partai Demokrat, Golkar atau PDIP. Sejumlah koruptor, baik di level pusat maupun daerah, berasal dari parpol-parpol tersebut.
Dengan meminjam logika Marzuki Alie, maka sesungguhnya di tubuh parpol juga terjadi kegagalan dalam membentuk karakter kader. Parpol yang memegang peran penting di dalam negara demokrasi, menjadi pintu masuk dalam mengelolah negara ini, tentu harus lebih mendalam melakukan intropeksi diri.
Parpol yang akhir-akhir ini banyak menuai kritik--karena dinilai gagal berperan optimal sebagai lembaga rekrutmen politik--harus mengubah sistem kaderisasi. Setiap penjenjangan level ke-kader-an harusnya memiliki standa nilai tertentu sehingga memotong lajur pintas yang sering dimanfaatkan politisi kutu loncat. Karena potong alur kaderisasi, tentu menyebabkan adanya proses transformasi nilia yang terlewati.
Dalam pandangan manajemen, parpol yang melegitimasi politisi kutu loncat, sesungguhnya mengerdilkan diri menjadi parpol konvensional yang tidak berbasis pada sistem yang disiplin.
Dari kesadaran tersebut maka jelaslah, mendesaknya pembenahan dalam pola rekrutmen sebagai bagian dari pengetatan proses kaderisasi parpol agar mampu melahirkan kader yang “benar-benar menjadi kader‘. Di sinilah pentingnya membangun manajemen parpol yang modern dan profesional dengan parameter-parameter yang dipatuhi secara disiplin.