Mata Air Pikiran Mengalir Membentuk Kenyataan

  • Opini Kompas | IMF dan Malapraktik Diplomasi

    Jusman Dalle | Opini Harian Kompas Pemerintah memastikan bakal memberikan bantuan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9,4 triliun. Terkait komitmen Indonesia ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, IMF diharapkan tidak hanya menggunakan pinjaman ini untuk membantu negara-negara di Eropa, tetapi juga negara-negara di Asia dan Afrika.

  • Opini Republika | Urgensi Badan Haji

    Jusman Dalle - Opini Republika | Untuk mencapai tujuan pertama yaitu manfaat transformasi manajemen, Badan Haji yang nantinya bakal berfungsi sebagai eksekutor saja, merampingkan organisasi serta secara otomatis memotong rantai birokrasi bertingkat dan kompleks yang melibatkan banyak institusi. Badan Haji juga mengakhiri rezim monopoli kewenangan sebab Kemenag tinggal memegang satu fungsi, yaitu sebagai regulator sementara Komisi VIII DPR yang membawahi persoalan haji, berfungsi sebagai evaluator.

  • Profil Jusman Dalle

    Jusman juga menekuni digital marketing. Merancang dan membuat konten digital berupa tulisan (copywriter), visual dan audio visual untuk sejumlah perusahaan dan institusi skala nasional. Antara lain Partai Gerindra, Kedutaan Besar Jerman, Taksi Ekspress, Bank BTN, PLN, XL Axiata, Agung Podomoro Land, True Money, dll.

  • Rawan Pangan Negeri Pertanian

    Jusman Dalle - Opini Koran Tempo | Program revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan sejak 2005 masih sebatas lip service. Infrastruktur irigasi rusak parah, jalanan di desa-desa basis pertanian pun belum memadai. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 9,25 juta hektare juga baru sebatas “angin surga”.

26.5.12

Momentum Ekonomi Indonesia Pascapilpres Mesir

Oleh : Jusman Dalle
***
Ekonom Amerika, Joseph Schumpeter (1883-1950) pernah berfatwa, bahwa matinya suatu ideologi atau sistem bukan jaminan akan munculnya sistem yang lebih baik. Kadang kala sistem yang baru justru menjadi pupuk bagi reinkarnasi sistem lama sehingga melahirkan rezim serupa.
Dalam konteks pemilihan presiden Mesir, fatwa Schumpeter menjadi peringatan bagi generasi baru di negeri Fir’aun itu. Jangan sampai pilpres hanya menjadi luapan euforia kebebasan tanpa arah dan menghasilkan rezim baru yang tak berbeda dengan Mubarak, sama-sama tidak pro perubahan. Sama-sama berjiwa Fir’aun.
Seperti diberitakan, untuk menyempurnakan “rukun demokrasinya”, politik di Mesir memasuki babak baru. Pada tanggal 23 dan 24 Mei kemarin, Pilpres pertama digelar sejak rezim diktator Husni Mubarak tumbang diamuk badai gurun Arab Spring. Pilpres bersejarah yang merupakan langkah terakhir dalam proses transisi itu, padu dengan angin perubahan yang terus berhembus membentuk wajah masa depan negeri piramida.
Pilpres Bersejarah
Sebelumnya, telah berlangsung “rukun demokrasi” pertama, yaitu pemilihan anggota parlemen pada bulan Januari 2012 lalu. Pascarevolusi 11 Februari 2011 yang berhasil menumbangkan rezim despotik Mubarak,  berbagai dinamika politik terjadi di negeri sungai Nil. Walau berpeluh, dibayangi konflik antara pejuang revolusi dan pendukung status quo yang merupakan kaki tangan Mubarak, setapak demi setapak Mesir melangkah menuju negara demokrasi sebagaimana cita-cita gerakan revolusi.
Antusiasme anak cucu Cleopatra menyongsong masa depan negaranya setelah lepas dari cengkraman diktatorisme, tergurat jelas dari membanjirnya pemilih. Bahkan sebelum tempat pemungutan suara dibuka, sebagaimana dikutip dari Reuters, mereka telah mengantre. Dari 83 juta penduduk Mesir dan 8 juta warganya di luar negeri, sekitar 50 juta orang memperoleh hak suara dalam pilpres perdana ini.
Tak hanya itu, calon yang bertarung pun sangat banyak. Pada awalnya berjumlah 23 orang, kemudian setelah melalui verifikasi, 10 calon dibatalkan sehingga mengerucut menjadi 13 orang. Melihat banyaknya calon, para analis berasumsi bahwa dalam pemilihan kali ini tidak akan ada calon yang meraih suara signifikan. Jika itu terjadi, maka pemilihan presiden Mesir berlangsung dua putaran dan putaran kedua akan digelar pada 16-17 Juni mendatang.
Peta politik dalam pilpres Mesir terfragmentasi ke dalam tiga kekuatan utama.  Pertama yaitu kekuatan Islam politik yang direpresentasi oleh Mohammed Mursi, calon presiden dari Ikhwanul Muslimin (IM). Kedua yaitu kekuatan sekuler-liberal yang dwakili oleh Abdel Moneim Aboul Futouh (calon independen/mantan IM). Calon ini banyak didukung oleh umat kristiani dan mendapat sokongan Amerika Serikat. Bahkan beredar kabar jika Amerika mengucurkan dana miliaran dollar demi memenangkan Aboul Futouh yang mereka anggap bisa diajak kompromi. Kelompok ketiga adalah calon dari kroni Mubarak. Selain Ahmed Mohammed Shafiq Zaki yang berasal dari militer, nama yang cukup menonjol adalah mantan Menteri Luar Negeri, Amr Moussa. Moussa juga pernah menjabat sebagai Ketua Liga Arab.
Keterlibatan Gedung Putih dalam pilpres Mesir merupakan ekspresi kekhawatiran Paman Sam. Bagi Amerika, penguasa baru di Mesir adalah gambaran masa depan Barat di Timur Tengah. Kekhawatiran itu tak berlebihan mengingat masifnya dukungan masyarakat kepada gerakan Islam yang dianggap oleh barat sebagai musuh yang akan menghalang-halangi agenda Amerika di Timur Tengah
Apa lagi saat ini komposisi parlemen Mesir didominasi oleh partai Islam, yaitu 65 persen suara. Partai Al Hurriyah wa Al Adalah atau Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) yang berafiliasi ke Ikhwanul Muslimin, menguasai 36,6 persen suara dan partai Al-Nur yang berhaluan Salafi menguasai 24,4 persen kursi.
Jika pemilih partai Islam pada pemilu legislatif yang lalu solid mendukung calon presiden dari wakil umat Islam, maka ketakutan Paman Sam akan terjadi. Oleh karena itu, banyaknya calon yang muncul tak lepas dari grand strategy memecah suara umat Isam. Tanda-tanda itu bisa dibaca dari besarnya jumlah massa mengambang sebagaimana dilansir lembaga survei independen Basheera. Dengan tingkat pendidikan politik dan demokrasi rendah karena belum memiliki pengalaman, maka suara massa mengambang bisa saja diperdaya, dibeli oleh calon yang memiliki kekuatan modal besar.


Tantangan Ekonomi
Memori rakyat Mesir jangan sampai terkooptasi oleh euforia. Mesir harus mengingat bahwa demorkatisasi yang hari ini mereka coba lembagakan, diperjuangkan dengan peluh, air mata, darah dan nyawa. Tanah kuburan lebih dari 900 korban jiwa pejuang revolusi, belumlah kering. Pekikan aspirasi mereka di sepanjang jalanan Mesir dan Tahrir Square berhadapan dengan serdadu Mubarak, masih segar terngiang-ngian. Sehingga sangat disayangkan jika aksi pembajakan demokrasi masih bisa terjadi.
Kebebasan politik yang diekspresikan dalam pemilu legislatif dan pilpres barulah dua langkah dalam mewujudkan cita-cita demokrasi. Fragmentasi politik pascapilpres mesti disolidkan kembali sebagai modal awal bersinergi membagun Mesir.  Selanjutnya, kebebasan juga harus diiringi oleh kesejahteraan. Tanpa kesejahteraan, kebebasan justru akan memantik kekacauan.  Oleh karenanya,  mobilisasi potensi ekonomi Mesir seperti pertanian di sepanjang aliran eksotik sungai Nil, pariwisata dan minyak mesti dikelolah sendiri.
Negara lain pasti ikut melirik potensi ekonomi Mesir baru. Sebelum Arab Spring, Thomas L. Friedman di dalam bukunya Hot, Flat and Crowded (2009) telah mengungkapkan peran serta negara kaya di Timur Tengah seperti Arab Saudi, dalam membangun ekonomi Mesir. Umumnya, pengusaha Saudi menggarap sektor pariwisata.
Laporan Bank Dunia (2011) mengungkap jika beberapa dekade terakhir Mesir telah mengalami kemajuan pesat dalam penyediaan infrastruktur transportasi, telekomunikasi, energi, air dan sanitasi. Liberalisasi ekonomi domestik juga memantik peran serta swasta dan asing dalam pembangunan, sehingga diversifikasi ekonomi sukses. Diametral dengan PDB yang meningkat 7 persen pertahun dan pada tahun 2009 tercatat sebesar 188 miliar dollar.
Pendapatan perkapita masyarakat Mesir pada tahun 2006 sebagaiamana catatan IMF, juga lebih tinggi dari Indonesia, yaitu 4.535 dollar. Dengan pertumbuhan pesat dan dukungan populasi yang mencapai 83 juta jiwa, Goldman Sach bahkan menobatkan Mesir sebagai salah satu calon raksasa ekonomi dunia pada tahun 2050 bersama Indonesia, Turki, Korea Selatan, Meksiko, Nigeria, Iran, Filipina, Pakistan, Vietnam dan Bangladesh.
Penobatan Goldman Sach itu bukanlah isapan jempol, melihat angka statistik ekonomi Mesir yang terus membaik. Tingkat kemiskinan di negara itu terus menurun hingga ke 14 persen (2009) dan pengangguran di bawah dua digit, tercatat hanya 8,7 persen dengan trend yang terus berkurang (vivanews.com)
Liberaliasi ekonomi, sebagai bentuk kelatahan yang lazimnya terjadi pada negara yang baru berdemokrasi, harus dihindari oleh pemerintahan terpilih demi menjaga kedaulatan ekonomi. Tapi ini bukan berarti Mesir menutup diri dari pergaulan ekonomi global. Ekonomi tetap inklusif tetapi selektif, tidak pada sektor strategis.
Potensi-potensi yang bersentuhan dengan kebutuhan mendasar ekonomi rakyat, harus diproteksi. Regulasi perekonomian mesti berorientasi kepentingan nasional jangka panjang. Pemerintah baru jangan sampai terjerat utang dari lembaga asing seperti IMF, WTO, World Bank dan lain-lain yang bermodus bantuan recovery sebagaimana banyak terjadi pada negara yang baru memasuki fase demokrasi.
Dengan ekonomi yang kuat dan berdaulat, maka spektrum peran Mesir di kawasan Timur Tengah yang selalu bergolak, bisa lebih luas. Utamanya peran intermediasi perdamaian di kawasan yang kaya dengan minyak dan menjadi medan rebutan pengaruh negara-negara Barat. Mesir bisa menjadi perekat sekaligus pengatur ritme politik Timur Tengah karena sebagian besar negaranya belum demokratis.
Mesir baru harus proaktif dalam mereduksi aksi penjajah Israel atas Palestina. Menghapus dosa masa lalu. Karena di tangan Mubarak, Mesir tak ubahnya boneka yang memfasilitasi sumber daya ekonomi bagi Israel untuk menjajah Palestina. Suplai energi Mesir menjadi penggerak industri di Israel. Pemerintahan baru jangan lagi mengulangi dosa sejarah rezim Mubarak. Mesir telah memulai jalan panjang dalam merajut demokrasi, maka arahnya harus jelas.

Momentum Indonesia
Indonesia memiliki ikatan kuat dengan Mesir, utamanya dari kesejarahan yang diawali oleh relasi tokoh-tokoh agama  Islam kedua negara jauh sebelum Indonesia merdeka. Mohammad Natsir tercatat pernah berpidato di hadapan majelis IM. Dukungan IM kepada perjuangan Indonesia melawan penjajah Belanda juga dibuktikan dengan pemboikotan kapal-kapal Belanda yang singgah di terusan Suez. Secara masif, IM turut mengampanyekan kemerdekaan Indonesia di Timur Tengah. Puncaknya, Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia (Ahmad Rofii Mansyuri : 2009).
Sebelum revolusi, sebagaimana dilansir Kementrian Luar Negeri, tren perdagangan Indonesia dan Mesir mengalami kenaikan. Total perdagangan kedua negara pada tahun 2008 dibandingkan tahun 2003 mengalami kenaikan drastis sebesar 500% dengan kenaikan ekspor Indonesia sebesar 464% dan kenaikan impor dari Mesir sebesar 682%.
Pada bidang Investasi, Indonesia lebih banyak melakukan investasi skala besar di Mesir. Seperti investasi yang dilakukan oleh Indorama di sektor tekstil, Kedaung Industrial Group yang mendirikan pabrik kaca dengan nama Pyramid Glass di kawasan Borg El-Arab Alexandria, dan investasi di bidang produk makanan dengan berdirinya pabrik Indomie di kawasan Badr City yang telah beroperasi sejak akhir 2009.
Dengan kenaikan pertukaran dagang yang pesat, Mesir telah menjadi salah satu pasar non-tradisional terbesar bagi produk-produk ekspor Indonesia. Dapat dilihat dari besarnya total perdagangan Indonesia-Mesir pada 2008 yang mencapai hampir USD 1,1 miliar atau melampaui target yang ditetapkan oleh kedua negara.
Lompatan besar proses politik yang akan turut memengaruhi capaian ekonomi Mesir, merupakan momentum emas bagi Indonesia untuk mempertegas positioning di negeri Piramida. Mesir sebagai pintu masuk ke Eropa, Afrika, Timur Tengah dan bahkan Amerika atas dukungan lalu lintas perdagangan di Terusan Zues.
Di masa Mubarak, Mesir memiliki konsesus dagang dengan banyak negara. Ini sebenarnya peluang paling ril Indonesia untuk diversifikasi ekspor ke Mesir. Menyediakan kebutuhan yang mendukung perdagangan luar negeri Mesir, selain produk untuk konsumsi domestik.
Akan tetapi, ekspor produk Indonesia ke Mesir harus memiliki nilai tambah (add value) sehingga mendatangkan share profit yang besar sekaligus memperkuat posisi tawar perdagangan luar negeri Indonesia. Pemerintah, dalam hal ini Menteri Perdagangan, mesti bergerak agresif sebelum peluang-peluang itu diambil oleh negara lain.