26.5.12
Momentum Ekonomi Indonesia Pascapilpres Mesir
Oleh : Jusman Dalle
***
Dalam konteks pemilihan presiden Mesir, fatwa
Schumpeter menjadi peringatan bagi generasi baru di negeri Fir’aun itu. Jangan
sampai pilpres hanya menjadi luapan euforia kebebasan tanpa arah dan
menghasilkan rezim baru yang tak berbeda dengan Mubarak, sama-sama tidak pro
perubahan. Sama-sama berjiwa Fir’aun.
Seperti diberitakan, untuk menyempurnakan
“rukun demokrasinya”, politik di Mesir memasuki babak baru. Pada tanggal 23 dan
24 Mei kemarin, Pilpres pertama digelar sejak rezim diktator Husni Mubarak
tumbang diamuk badai gurun Arab Spring. Pilpres bersejarah yang merupakan
langkah terakhir dalam proses transisi itu, padu dengan angin perubahan yang terus
berhembus membentuk wajah masa depan negeri piramida.
Pilpres Bersejarah
Sebelumnya, telah berlangsung “rukun
demokrasi” pertama, yaitu pemilihan anggota parlemen pada bulan Januari 2012
lalu. Pascarevolusi 11 Februari 2011 yang berhasil menumbangkan rezim despotik
Mubarak, berbagai dinamika politik
terjadi di negeri sungai Nil. Walau berpeluh, dibayangi konflik antara pejuang
revolusi dan pendukung status quo yang merupakan kaki tangan Mubarak, setapak
demi setapak Mesir melangkah menuju negara demokrasi sebagaimana cita-cita
gerakan revolusi.
Antusiasme anak cucu Cleopatra menyongsong
masa depan negaranya setelah lepas dari cengkraman diktatorisme, tergurat jelas
dari membanjirnya pemilih. Bahkan sebelum tempat pemungutan suara dibuka, sebagaimana
dikutip dari Reuters, mereka telah mengantre. Dari 83 juta penduduk Mesir dan 8
juta warganya di luar negeri, sekitar 50 juta orang memperoleh hak suara dalam
pilpres perdana ini.
Tak hanya itu, calon yang bertarung pun
sangat banyak. Pada awalnya berjumlah 23 orang, kemudian setelah melalui
verifikasi, 10 calon dibatalkan sehingga mengerucut menjadi 13 orang. Melihat
banyaknya calon, para analis berasumsi bahwa dalam pemilihan kali ini tidak
akan ada calon yang meraih suara signifikan. Jika itu terjadi, maka pemilihan
presiden Mesir berlangsung dua putaran dan putaran kedua akan digelar pada
16-17 Juni mendatang.
Peta politik dalam pilpres Mesir
terfragmentasi ke dalam tiga kekuatan utama. Pertama yaitu kekuatan Islam politik yang
direpresentasi oleh Mohammed Mursi, calon presiden dari Ikhwanul Muslimin (IM).
Kedua yaitu kekuatan sekuler-liberal yang dwakili oleh Abdel Moneim Aboul
Futouh (calon independen/mantan IM). Calon ini banyak didukung oleh umat
kristiani dan mendapat sokongan Amerika Serikat. Bahkan beredar kabar jika
Amerika mengucurkan dana miliaran dollar demi memenangkan Aboul Futouh yang
mereka anggap bisa diajak kompromi. Kelompok ketiga adalah calon dari kroni
Mubarak. Selain Ahmed Mohammed Shafiq Zaki yang berasal dari militer, nama yang
cukup menonjol adalah mantan Menteri Luar Negeri, Amr Moussa. Moussa juga
pernah menjabat sebagai Ketua Liga Arab.
Keterlibatan Gedung Putih dalam pilpres Mesir
merupakan ekspresi kekhawatiran Paman Sam. Bagi Amerika, penguasa baru di Mesir
adalah gambaran masa depan Barat di Timur Tengah. Kekhawatiran itu tak
berlebihan mengingat masifnya dukungan masyarakat kepada gerakan Islam yang dianggap
oleh barat sebagai musuh yang akan menghalang-halangi agenda Amerika di Timur
Tengah
Apa lagi saat ini komposisi parlemen Mesir
didominasi oleh partai Islam, yaitu 65
persen suara. Partai Al Hurriyah wa Al Adalah atau Partai Kebebasan dan
Keadilan (FJP) yang berafiliasi ke Ikhwanul Muslimin, menguasai 36,6 persen
suara dan partai Al-Nur yang berhaluan Salafi menguasai 24,4 persen kursi.
Jika pemilih partai Islam pada pemilu legislatif yang lalu
solid mendukung calon presiden dari wakil umat Islam, maka ketakutan Paman Sam
akan terjadi. Oleh karena itu, banyaknya calon yang muncul tak lepas dari grand
strategy memecah suara umat Isam. Tanda-tanda itu bisa dibaca dari besarnya
jumlah massa mengambang sebagaimana dilansir lembaga survei independen
Basheera. Dengan tingkat pendidikan politik dan demokrasi rendah karena belum
memiliki pengalaman, maka suara massa mengambang bisa saja diperdaya, dibeli
oleh calon yang memiliki kekuatan modal besar.
Tantangan Ekonomi
Memori rakyat Mesir jangan sampai terkooptasi
oleh euforia. Mesir harus mengingat bahwa demorkatisasi yang hari ini mereka
coba lembagakan, diperjuangkan dengan peluh, air mata, darah dan nyawa. Tanah
kuburan lebih dari 900 korban jiwa pejuang revolusi, belumlah kering. Pekikan
aspirasi mereka di sepanjang jalanan Mesir dan Tahrir Square berhadapan dengan
serdadu Mubarak, masih segar terngiang-ngian. Sehingga sangat disayangkan jika
aksi pembajakan demokrasi masih bisa terjadi.
Kebebasan politik yang diekspresikan dalam
pemilu legislatif dan pilpres barulah dua langkah dalam mewujudkan cita-cita demokrasi.
Fragmentasi politik pascapilpres mesti disolidkan kembali sebagai modal awal
bersinergi membagun Mesir. Selanjutnya,
kebebasan juga harus diiringi oleh kesejahteraan. Tanpa kesejahteraan,
kebebasan justru akan memantik kekacauan.
Oleh karenanya, mobilisasi
potensi ekonomi Mesir seperti pertanian di sepanjang aliran eksotik sungai Nil,
pariwisata dan minyak mesti dikelolah sendiri.
Negara lain pasti ikut melirik potensi ekonomi
Mesir baru. Sebelum Arab Spring, Thomas L. Friedman di dalam bukunya Hot,
Flat and Crowded (2009) telah mengungkapkan peran serta negara kaya di Timur
Tengah seperti Arab Saudi, dalam membangun ekonomi Mesir. Umumnya, pengusaha
Saudi menggarap sektor pariwisata.
Laporan Bank Dunia (2011) mengungkap jika
beberapa dekade terakhir Mesir telah mengalami kemajuan pesat dalam penyediaan
infrastruktur transportasi, telekomunikasi, energi, air dan sanitasi.
Liberalisasi ekonomi domestik juga memantik peran serta swasta dan asing dalam
pembangunan, sehingga diversifikasi ekonomi sukses. Diametral dengan PDB yang meningkat
7 persen pertahun dan pada tahun 2009 tercatat sebesar 188 miliar dollar.
Pendapatan perkapita masyarakat Mesir pada
tahun 2006 sebagaiamana catatan IMF, juga lebih tinggi dari Indonesia, yaitu
4.535 dollar. Dengan pertumbuhan pesat dan dukungan populasi yang mencapai 83
juta jiwa, Goldman Sach bahkan menobatkan Mesir sebagai salah satu calon
raksasa ekonomi dunia pada tahun 2050 bersama Indonesia, Turki, Korea Selatan,
Meksiko, Nigeria, Iran, Filipina, Pakistan, Vietnam dan Bangladesh.
Penobatan Goldman Sach itu bukanlah isapan
jempol, melihat angka statistik ekonomi Mesir yang terus membaik. Tingkat
kemiskinan di negara itu terus menurun hingga ke 14 persen (2009) dan
pengangguran di bawah dua digit, tercatat hanya 8,7 persen dengan trend yang
terus berkurang (vivanews.com)
Liberaliasi ekonomi, sebagai bentuk kelatahan
yang lazimnya terjadi pada negara yang baru berdemokrasi, harus dihindari oleh
pemerintahan terpilih demi menjaga kedaulatan ekonomi. Tapi ini bukan berarti
Mesir menutup diri dari pergaulan ekonomi global. Ekonomi tetap inklusif tetapi
selektif, tidak pada sektor strategis.
Potensi-potensi yang bersentuhan dengan kebutuhan
mendasar ekonomi rakyat, harus diproteksi. Regulasi perekonomian mesti berorientasi
kepentingan nasional jangka panjang. Pemerintah baru jangan sampai terjerat
utang dari lembaga asing seperti IMF, WTO, World Bank dan lain-lain yang bermodus
bantuan recovery sebagaimana banyak terjadi pada negara yang baru memasuki fase
demokrasi.
Dengan ekonomi yang kuat dan berdaulat, maka
spektrum peran Mesir di kawasan Timur Tengah yang selalu bergolak, bisa lebih
luas. Utamanya peran intermediasi perdamaian di kawasan yang kaya dengan minyak
dan menjadi medan rebutan pengaruh negara-negara Barat. Mesir bisa menjadi
perekat sekaligus pengatur ritme politik Timur Tengah karena sebagian besar
negaranya belum demokratis.
Mesir baru harus proaktif dalam mereduksi aksi
penjajah Israel atas Palestina. Menghapus dosa masa lalu. Karena di tangan
Mubarak, Mesir tak ubahnya boneka yang memfasilitasi sumber daya ekonomi bagi Israel
untuk menjajah Palestina. Suplai energi Mesir menjadi penggerak industri di Israel.
Pemerintahan baru jangan lagi mengulangi dosa sejarah rezim Mubarak. Mesir
telah memulai jalan panjang dalam merajut demokrasi, maka arahnya harus jelas.
Momentum Indonesia
Indonesia memiliki ikatan kuat dengan Mesir, utamanya
dari kesejarahan yang diawali oleh relasi tokoh-tokoh agama Islam kedua negara jauh sebelum Indonesia merdeka.
Mohammad Natsir tercatat pernah berpidato di hadapan majelis IM. Dukungan IM kepada
perjuangan Indonesia melawan penjajah Belanda juga dibuktikan dengan pemboikotan kapal-kapal Belanda yang singgah di
terusan Suez. Secara masif, IM turut
mengampanyekan kemerdekaan Indonesia di Timur Tengah. Puncaknya, Mesir menjadi
negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia (Ahmad Rofii Mansyuri
: 2009).
Sebelum revolusi, sebagaimana
dilansir Kementrian Luar Negeri, tren perdagangan Indonesia dan Mesir mengalami
kenaikan. Total perdagangan kedua negara pada tahun 2008 dibandingkan tahun
2003 mengalami kenaikan drastis sebesar 500% dengan kenaikan ekspor Indonesia
sebesar 464% dan kenaikan impor dari Mesir sebesar 682%.
Pada bidang Investasi,
Indonesia lebih banyak melakukan investasi skala besar di Mesir. Seperti
investasi yang dilakukan oleh Indorama di sektor tekstil, Kedaung Industrial
Group yang mendirikan pabrik kaca dengan nama Pyramid Glass di kawasan Borg
El-Arab Alexandria, dan investasi di bidang produk makanan dengan berdirinya
pabrik Indomie di kawasan Badr City yang telah beroperasi sejak akhir 2009.
Dengan kenaikan pertukaran
dagang yang pesat, Mesir telah menjadi salah satu pasar non-tradisional terbesar
bagi produk-produk ekspor Indonesia. Dapat dilihat dari besarnya total
perdagangan Indonesia-Mesir pada 2008 yang mencapai hampir USD 1,1 miliar atau
melampaui target yang ditetapkan oleh kedua negara.
Lompatan besar proses politik yang akan turut
memengaruhi capaian ekonomi Mesir, merupakan momentum emas bagi Indonesia untuk
mempertegas positioning di negeri Piramida. Mesir sebagai pintu masuk ke Eropa, Afrika, Timur Tengah dan bahkan
Amerika atas dukungan lalu lintas perdagangan di Terusan Zues.
Di masa Mubarak, Mesir
memiliki konsesus dagang dengan banyak negara. Ini sebenarnya peluang paling ril
Indonesia untuk diversifikasi ekspor ke Mesir. Menyediakan kebutuhan yang
mendukung perdagangan luar negeri Mesir, selain produk untuk konsumsi domestik.
Akan tetapi, ekspor produk
Indonesia ke Mesir harus memiliki nilai tambah (add value) sehingga mendatangkan
share profit yang besar sekaligus memperkuat posisi tawar perdagangan luar
negeri Indonesia. Pemerintah, dalam hal ini Menteri Perdagangan, mesti bergerak
agresif sebelum peluang-peluang itu diambil oleh negara lain.