Gerakan menduduki Wall Street (OWS), protes buruh di PT Freeport, perlawanan rakyat di Bima, hingga pandangan ilmiah seperti yang didokumentasikan Kishore Mahbubani di dalam bukunya Asia Hamisfer Baru Dunia (2011), semua memiliki satu pesan utama, yaitu kritik terhadap praktik kapitalisme. Kapitalisme di ujung gading. Kapitalisme tak lagi menarik.
Kegalauan Kapitalisme
Kegalauan kapitalisme tidak hadir secara tunggal, tapi direproduksi dari fakta bahwa saat ini di Amerika Serikat (AS) maupun di Uni Eropa (UE), kapitalisme menjejak resesi dan ditumpuki utang. Dua kawasan yang mengendalikan sebagian besar perekonomian dunia tersebut ditengarai butuh waktu minimal 20 tahun untuk sehat kembali.
Kapitalisme, paham yang lahir dari gagasan filusuf Adam Smith, sudah terbilang sangat tua, yaitu berumur dua abad lebih. Kapitalisme lahir melalui buku The Wealth of Nation sebagai antitesis paham merkantilisme yang saat itu dianggap kurang mendukung ekonomi masyarakat.
Dalam perjalanannya, kapitalisme sebenarnya tak pernah lepas dari guncangan. Mulai dari krisis 1923, 1930, 1940, 2008, hingga 2011 yang belum bisa kita raba kapan berakhirnya. Namun, dari guncangan-guncangan masa lalu yang dalam tinjauan Francis Fukuyama (1999) disebut sebagai The Great Disruption tersebut, dengan kreativitas dan inovasinya kapitalisme toh masih bisa eksis. Bahkan, sukses mengantar dunia memasuki abad 21 dengan segala kecanggihannya materialnya.
Dalam konteks krisis yang hari ini mendera, arah kapitalisme menjadi liar? Apakah ia akan berakhir seperti prediksi Profesor Praktik Kebijakan Publik pada Lee Kuan Yew School, Universitas Nasional Singapura, Kishore Mahbubani dan mantan Ekonom IMF, Nuoriel Roubini? Ataukah ia akan menjadi pemenang seperti iman Fukuyama yang diabadikan di dalam bukunya The End of History (1992)? Quo Vadis Capitalism?
Di luar krisis yang mendera, sebenarnya kapitalisme sedang bergerak mentransformasi diri. Hal ini dibaca oleh Ian Bremmer (2011) sebagaimana dituliskan di dalam bukunya The End of Free Market. Menurut Presiden Eurasia Group tersebut, dengan pendekatan ekonomi politik, kapitalisme lama bertransformasi menjadi kapitalisme baru yang disebut kapitalisme negara. Menjadi alat politik penguasa untuk mempertahankan posisinya.
Ada beberapa medium transmisi kapitalisme negara. Alat yang digunakan oleh pemerintah yang lazimnya berasal dari pemimpin politik sebagai perpanjangan tangannya (intermediary institution). Pertama yaitu lembaga-lambaga atau perusahaan minyak dan gas nasional (national oil and gas corporation). Kedua, badan-badan usaha milik negara yang lain (state owned entreprise). Ketiga, badan-badan usaha swasta yang diunggulkan pemerintah dan lembaga dana kekayaan negara seperti Bank Indonesia (BI).
Bremmer mencontohkan beberapa negara di Eropa, Afrika, Asia Barat, dan Amerika Latin, serta AS, mempraktikkan hal tersebut. Pemerintahan Obama, misalnya, beberapa waktu lalu di sela KTT ASEAN di Bali menjadi saksi jual-beli pesawat antara Boeing dengan Lion Air. Menurut Obama, penjualan 230 pesawat tersebut bisa menstimulus ekonomi AS, setidaknya membuka 100.000 lapangan kerja baru.
Dukungan Obama dalam posisinya sebagai Presiden AS terkesan mengebiri persaingan bebas sebagaimana diungkapkan Airbus, produsen pesawat asal Prancis yang juga kompetitor utama Boeing. Obama tampak mengambil keuntungan politik di balik transaksi bisnis tersebut.
Arti Ketegangan Hormuz
Kapitalisme negara juga merangkai jejaring dengan prinsip saling melindungi. Berbagai kerja sama bilateral dan multilateral dengan menggandeng sektor swasta adalah salah satu faktanya. Namun, yang saat ini kita saksikan, terjadi dinamika yang sangat progresif di atas panggung politik internasional.
Timur Tengah sebagai kawasan strategis bagi stabilitas kapitalisme karena supply kekayaan energinya, sedang mengalami masa transisi ke arah demokratisasi. Ini berarti akan ada penguasa dan cara pandang baru dalam memolakan hubungan ekonomi politik Timur Tengah, termasuk dengan AS dan Eropa. Dinamika politik tersebut secara langsung akan memengaruhi peta kekuatan yang menopang ekonomi politik AS dan Eropa selama ini.
AS yang menjadi model utama praktik kapitalisme, pada November 2012 ini akan melangsungkan pemilihan presiden. Stabilitas ekonomi nasional AS dan kepastian posisi politik AS di Timur Tengan pascarevolusi tentu menjadi isu utama yang saling berkorelasi. Pemilu AS menjadi faktor penentu masa depan kapitalisme.
Tak hanya AS, di Eropa juga sedang terjadi ketegangan politik terkait penanganan krisis utang eurozone. Sentimen politik kian meruncing yang terkesan egoistik untuk menyelamatkan negara masing-masing ini. Jika tidak bisa dikelola dengan baik, maka semakin menjerumuskan Eropa pada jurang krisis yang lebih dalam. Karena ketakutan akan krisis, beberapa negara bahkan berencana memisahkan diri dari persemakmuran Kerajaan Inggris.
Kondisi tersebut semakin diperparah ketegangan yang terjadi di Selat Hormuz, yaitu saat ini militer AS mengerahkan kapal induk USS John C Stennis dengan dalih patroli rutin atas wilayah perairan yang merupakan lalu lintas sekitar 40 persen minyak dunia. Namun patroli tersebut dibaca oleh Iran sebagai bentuk tekanan (psy war) mengingat Iran tak jua mau tunduk pada resolusi PBB yang melarang Iran melakukan pengayaan uranium. Aksi saling gertak pun tak terelakkan.
Jika saja perang antara Iran dan AS dan sekutunya benar-benar terjadi, maka dipastikan perekonomian pada tahun 2012 semakin terpukul. Karena sumber daya dan sumber dana negara-negara Barat akan tersedot untuk perang, pemulihan ekonomi menjadi rumit.
Tapi jika Iran dibiarkan, maka negeri para mullah tersebut akan semakin bertingkah dan merontokkan wibawa AS yang ingin selalu tampil hegemonik sebagai adidaya. Bisa jadi, langkah Iran diikuti negara lain yang tidak mau tunduk pada AS, seperti Korea Utara. Pada titik inilah AS dan sekutunya menjadi dilema.
Jika friksi dan dinamika politik per kawasan tersebut terus berlangsung tanpa kendali, maka bisa dipastikan akan semakin mengganggu stabilitas ekonomi global. Negara tidak akan mampu melanjutkan transformasi menyelamatkan kapitalisme tanpa adanya daya dukung politik.
Link : http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/81762