Opini Lampung Post 2 Februari 2012
BEBERAPA hari belakangan, Indonesia menjadi sorotan dunia. Kali ini bukan karena prestasinya meraih peringkat investasi Fitch's Rating Ltd. dan Moody's Investor Service, tetapi karena ada kejadian heroik yang dilakoni anak-anak sekolah dasar (SD).
Mereka yang menggantung asa dan karenanya bertaruh nyawa menyeberangi (penulis istilahkan) "jembatan pendidikan" yang oleh media ternama dari Inggris, Dailymaildisebut bak sepotong adegan film Indiana Jones.
Aksi nekat anak-anak SD di Sang Hiang, Lebak, Banten, yang meniti jembatan di atas terjangan banjir tersebut menampar wajah pejabat publik. Akhir-akhir ini baik eksekutif dan legislatif menjadi bulan-bulanan akibat laku paradoksnya terhadap realitas kehidupan rakyat.
Lihatlah, hanya berjarak 77 kilometer dari lokasi "jembatan pendidikan Indiana Jones” berdiri megah gedung DPR. Hari-hari ini penghuninya menuai cercaan akibat dugaan mark-up anggaran sejumlah proyek bagi fasilitas wakil rakyat yang kinerjanya nyaris tak dirasakan itu.
Proyek Fantastis
Publik terperanjat ketika tahu untuk toilet berukuran 3 x 2 meter persegi, negara harus mengeluarkan biaya hingga Rp2 miliar. Pun dengan anggaran kalender yang mencapai Rp1,3 miliar. Lain pula soal renovasi ruang rapat Badan Anggaran yang angkanya lebih fantastis Rp20 miliar dan kursi impor seharga Rp24 juta per unit. Masih ada ironi lain. DPR bakal membeli pengharum ruang Rp1,59 miliar dan Toyota Camry Rp6,5 miliar.
Bukan hanya DPR yang menggerogoti uang negara. Pemerintah pun tak mau ketinggalan ikut merenovasi. Bayangkan saja, untuk anggaran peningkatan sarana dan prasarana aparatur (meliputi beberapa istana negara) yang dikelola Sekretarian Negara, telah dianggarkan Rp80,4 miliar dalam APBN 2012. Tiga fakta di atas, yaitu kisah "jembatan pendidikan", gedung DPR, dan renovasi istana, merupakan potret buram wajah republik yang digelayuti paradoks.
Penulis jadi teringat petuah Arnold Toynbee dalam buku Sejarah Umat Manusia. Sejarawan kenamaan asal Inggris tersebut mengatakan kemajuan kehidupan pada dasarnya akan mengantarkan pelakunya bersifat seperti parasit. Hanya bisa hidup dengan menggerogoti induk/inangnya. Lebih lanjut, kata Toynbee, pada titik ekstremnya sifat parasitik tadi bahkan sering berubah menjadi predatoris. Memangsa, mengorbankan siapa saja demi mencapai hasratnya.
Tanpa Tindakan
Ibarat parasit, para politikus dan pejabat negara menggerogoti anggaran yang seharusnya diperuntukkan rakyat tersebut. Mereka hanya mampu hidup dengan korupsi. Alhasil, rakyat pun jadi korban. Anggaran yang seharusnya untuk membangun prasarana pendidikan, infrastruktur pertanian, dan sarana publik semua terkuras ke kas-kas koruptor, dikanalisasi untuk kepentingan individu atau kelompok. Parahnya, sudah korupsi, mereka tak juga berkinerja.
Lebih parah lagi ketika sifat predatorisnya yang berlaku. Tak segan menghabisi orang lain. Seperti mafia (atau memang sudah menjadi mafia), mereka memiliki jaringan yang rapi dan terorganisasi. Pada titik ini, pimpinan puncak dalam satu lembaga atau organisasi seharusnya memiliki kecakapan dan tindakan untuk mereduksi praktek-praktek kotor bawahannya.
Tapi, apa daya jika ternyata pemimpin yang diharapkan tak bisa berbuat banyak. Tersandera oleh berbagai kepentingan. Atau barangkali memiliki belang yang sama sehingga enggan sama-sama teridentifikasi sebagai pemimpin predatoris.
Oleh sebab itu, jangan salahkan jika rakyat frustrasi menyaksikan tontonan yang diperagakan para pejabat. Anarkisme, konflik horizontal, dan berbagai bentuk letupan-letupan sosial hanyalah efek samping dari kerusakan terstruktur yang mendera bangsa kita. Jika begini, lalu mau apa? (*)
Link : http://www.lampungpost.com/opini/23625-bangsa-yang-tersandera-predator-anggaran-.html