Dimuat di Koran Tribun Timur Edisi Senin 13 Juni 2011)
Kita sudah mahfum, bahwa suara gaduh dengan ceracau politik berlatar kekuasaan, sepanjang waktu selalu menjadi milik sekelompok kecil “masyarakat besar” di negeri ini. Yaitu mereka yang oleh Antonio Gramsci (1981) dikatakan sebagai pemenang wacana atas kuasa mayoritas.
Atau di dalam bukunya “Negara, Pasar dan Rakyat” Fahri Hamzah (2010) menyebut mereka sebagai penguasa egois. Kasus M. Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat (PD) yang telah dipecat dan terus menjadi bola liar, salah satu indikasinya.
Setelah tidak menghadiri pemanggilan KPK pada Jum’at (10/6) yang lalu, Nazaruddin harus memenuhi panggilan dari kasus yang berbeda Senin (13/6) ini, yaitu sebagai saksi dalam kasus suap proyek wisma atlet SEA Games. Dalam kasus ini, Nazaruddin disebut-sebut berada di balik penyuapan tersebut.
Kasus Nazaruddin menjadi lebih seksi (baca : menarik) , karena melanda partai berkuasa sekaligus besutan SBY. Dua kali SBY sukses meraih tampuk kekuasaan sebagai Presiden RI melalui PD. Pada intinya, kasus Nazaruddin mengindikasikan adanya ketidakberesan (baca : masalah) di dalam tubuh PD. Masalah klasik dalam rimba politik Indonesia, apa lagi kalau bukan soal uang dan kekuasaan.
Menganalisis kasus Nazaruddin (Partai Demokrat) tersebut melalui pendekatan paradigmatik ideologi negara yang akhir-akhir ini juga menjadi perbincangan hangat, ada hubungan kausal (sebab akibat). Ketika idiom-idiom moral politik tiba-tiba terpolar.
Dalam bahasa Janet Wolff (1982) pengaruh ideologi sebagai manifestasi seni kemasyarakatan, termasuk seni berpolitik seharusnya inheren dalam kerangka bernegara. Berangkat dari perspektif sosio-saitifik tersebut, seni disini tentu berlatar dari akar budaya bangsa Indonesia yang (dulu) dikenal dengan ke-adi luhungan-nya.
Berbagai fakta memperlihatkan praktek bisnis yang menjadi gaya pengelolaan negara. Profit oriented adalah mindset dalam setiap kebijakan. Termasuk politik anggaran yang melahirkan calo anggaran.
Secara langsung, hal ini juga dipengaruhi oleh sistem demokrasi liberal berbiaya tinggi tanpa bingkai moral berbasis ideologi. Akhirnya, yang menang adalah pemilik kekuasaan (birokrat), pemilik suara (politisi), dan tentunya pemodal (pengusaha). Rakyat ditinggal di jurang konflik sosial.
Politikus, birokrat dan pengusaha menjadi “Trio Macan” yang mendekonstruksi sakralitas makna demokrasi, ideologi dan terminologi suci lainnya dalam ranah politik. Semakin jauh meninggi melampaui momentum yang harusnya menjadi titik balik bagi bangsa Indonesia tumbuh lebih pesat lagi. Tidak saja dalam takaran material, akan tetapi jauh lebih penting adalah nilai dan taste (rasa) sebagai bangsa beradab.
Teori “siklus silkular” dalam perspektif ekonomi Schumpeter, menjadikan demokrasi alat untuk melahirkan buruh-buruh pemuas syahwat kekuasaan, tak kita inginkan terjadi di Indonesia. Kita tidak ingin trauma pada Pancasila, justru menjadi momentum yang dimanfaatkan oleh pembajak-pembajak demokrasi yang mewujud dalam “Trio Macan”.
Reinkarnasi dan mengulang kesalahan penguasa masa lalu, menumbuh suburkan korupsi, mengkavling-kavling republik, dan bahkan menjualnya kepada kapitalis asing atas nama investasi –tapi nyatanya berburu proyek untuk kepentingan kelompoknya-. Naudzubillah!
Eksistensi Pancasila sebagai frame bernegara yang akhir-akhir menjadi topik menarik, jangan dijadikan ideologi sunyi, baik dari segi nilai aplikatif maupun wacana diskursus untuk memperkaya referensi kebangsaan.
Sejatinya, pemimpin negeri ini tidak hanya gaduh, riuh dan hingar bingar di ruang kekuasaan. Kasus Nazaruddin sebagai rapresentasi dari partai berkuasa, cukup menjadi alarm akan ancaman siklus silkular. Potret politik ketika nilai ideologi terfragmentasi oleh berbagai kepentingan.
Maka tanpa menyiapkan aktor sebagai operator askioma, ideologi secanggih apapun akan lumpuh. Hanya menjadi hiasan diaklektik. Tantangan lebih berat bagi partai politik sebagai instrumen demokrasi, adalah menyiapkan kader-kader dengan basis ideologi yang mengakar.
Mereka hanya bisa digembleng dalam sistem kaderisasi yang ketat. Bukan politisi dan pemimpin yang dihasilkan secara instan karena kemampuan finansial. Seperti para politisi kutu loncat, yang saban hari akrab dengan berbagai skandal memalukan.
Disinilah salah satu titik krusial demokrasi di masa depan. Karena keterbukaan informasi, secara langsung mengedukasi masyarakat yang telah jenuh dengan lakon politisi karbitan yang hanya membawa egoisme kelompok. Dalam konteks marketing politik, diferensiasi partai politik menjadi fundamen magnetik.
Data terbaru yang dirilis Lembaga Survey Indonesia (LSI) pada akhir Mei 2011 ini cukup menguatkan pentingnya diferensiasi politik di masa mendatang. Menurut data LSI, saat ini ada 80% swing voters atau floating mass (massa mengambang), yaitu mereka yang merupakan pemilih rasional dan sensitif terhadap dinamika politik. Angka fantastis. Yang pasti bahwa mereka menunggu partai yang berbeda secara magnitasi (daya tarik).
Trend massa mengambang sejalan dengan sikap pragmatis partai-partai politik yang meninggalkan ideologinya. Satu-satunya partai politik yang sedikit mengalami trend positif adalah PDIP yang memang masih kelihatan konsisten sebagai opisisi. Sementara loyalitas pemilih SBY dan Partai Demokrat pada pemilu 2009 lalu, terkoreksi cukup radikal. Anjlok dibawah angka 50% (mediaindonesia.com).
Maka menyongsong pemilu 2014 yang masih menyisakan waktu 3 tahun, partai politik harus berbenah, memperbaiki diri dengan intropeksi mendalam, dalam bahasa Schumpeter disebut dengan menghidupkan “Kreatifitas dan Inovasi”. Bukan saling meng-kambing hitam-kan atau melanggengkan perselingkuhan.
Untuk menarik massa mengambang dan mengembalikan kepercayaan publik, Nursal (2004) mengafirmasi agar menggunakan strategi pull-marketing, yaitu mengontruksi image politik yang positif.
Menurut Robinowitz dan Mcdonald (1989), simbol dan image politik harusnya membangkitkan sentimen yang oleh Gioia dan Thomas (1996), dikatakan sebagai identitas. Yaitu identitas yang hanya bisa dibentuk dari karakter dan ideologi.
Setidaknya, kasus Nazaruddin menggambarkan betapa urgen ideologi dan identitas politik. Adakah partai politik yang betul-betul ideologis di negeri ini? Wallahu’alam