(Tulisan ini dimuat di Opini Koran Tribun Timur Makassar Edisi Jum’at 17 Juni 2011)
***
Perwujudan clean government (pemerintahan bersih) di dalam negara demokratis yang multi kepentingan, merupakan salah satu prasyarat idealitas suatu pemerintahan dengan segala stratifikasinya. Clean government umumnya berlangsung di negara yang masyarakat dan aparat pemerintahnya menghormati dan menjunjung tinggi hukum. Artinya bahwa tidak ada “kasta hukum” di dalam masyarakat tersebut. Ke bawah tajam, ke atas tak kalah tajam.
Tata pemerintahan seperti ini disebut tata pemerintahan yang baik (good governance). Pemerintahan yang baik diyakini hanya mampu dibangun melalui Clean government atau pemerintahan yang bersih (Sepriyanto : 2008). Sehingga proses pengelolaan negara dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat berjalan mulus. Partisipasi masyarakat dengan peran check and balance, menjadi prasayarat untuk mewujudkannya.
Konstruksi Sosial
Namun dewasa ini, konstruksi kekuasaan modern yang dilembagakan melalui tata aturan, dan dijalankan oleh pemerintah di bawah otoritas negara, tampak makin menjauh dari masyarakat. Bahkan trust (kepercayaan) masyarakat kepada negara dan pemerintah semakin terkikis oleh multi krisis yang bersumber dari lemahnya skill dan integritas leadership pemerintah.
Relasi kausalistik ini menjadi gelombang fragmentasi sosial yang pada gilirannya mencerabut akar budaya bangsa. Hal ini diperparah lagi oleh polarisasi identitas masyarakat, baik secara komunal maupun individu. Akhirnya, masyarakat terjebak ke dalam siklus budaya yang disebut sebagai sistem nilai inderawi (Sorokin : 1941). Yaitu keadaan ketika secara kolektif, logika material menjadi nalar sosial. Fenomena spiritual dinisbikan oleh realitas ultim materi.
Melalui mobilitas vertikal, logika di atas merangsek melalui sistem yang kehilangan fleksibilitas, kemudian beririsan dengan jiwa manusia yang di dalam kitab Al Hasanah was Sayyiah dikatakan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah disebut sebagai jiwa yang dipenuhi dengan kecintaan pada pangkat dan jabatan.
Secara struktural, pertemuan keduanya -pangkat/jabatan dengan logika materialisme-, akan melahirkan akhlak kepemimpinan yang buruk. Tidak amanah. Akhlaq kepemimpinan yang sifatnya personal (self) di sini menjadi penting, karena self leadership merupakan dasar dari segala bentuk kepemimpinan (Syafi’i Antonio : 2007). Krisis akhlaq ini secara linier menjadi variabel konstan dalam menstimulasi praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Hilangnya identitas pemimpin dan pengelola negara yang dikondifikasi oleh lingkungan sosio-politik, membuat mereka terlepas dari rasa solidaritas sosial. Apabila orang seperti ini menjadi pemangku jabatan, maka mereka memperturutkan hawa nafsunya hidup dalam keenakan, tenggelam dalam lautan kemewahan dan hidup melimpah ruah (Ibnu Khaldun : 1332-1406).
Secara sosiologis hal ini didorong oleh perkembangan peradaban manusia dan diciptakannya hak milik pribadi yang memunculkan amour propere (memikirkan diri sendiri) dan vanitiy yaitu memuja diri sendiri dengan menjadikan orang lain sebagai objek komparatif, sebagaimana dikatakan oleh Rosseau (Francis Fukuyama : 2005)
Kondisi Indonesia saat ini, kiranya tepat dengan apa yang digambarkan Ibnu Khaldun 7 abad silam dan dibaca kembali oleh Fukuyama 7 abad kemudian. Pembacaan yang membawanya pada pertanyaan besar tentang daya tahan dan kemampuan survivalitas tatanan sosial lama, menghadapi perubahan ekonomi dan teknologi (perkembangan dunia material).
FenoRupsi
Hipotesa tentang FenoRupsi (fenomena wabah korupsi) dapat kita saksikan pada realita di tanah air akhir-akhir ini. Berdasarkan laporan terbaru mengenai Indeks Penegakan Hukum 2011 (Rule of Law Index) yang dirilis World Justice Project (WJP) menyebutkan korupsi di Tanah Air makin meluas ke berbagai sektor.
Di antara negara-negara Asia Timur dan Pasifik, Indonesia berada di ranking ke-2 terkorup. Sedangkan secara global, korupsi di Indonesia berada pada peringkat ke 19 teratas dari 66 negara (Sindo,15/6/2011).
Peringkat tersebut semakin menguatkan legitimasi karut marutnya supremasi hukum, yang saban hari tak berujung pangkal. Darurat. Hampir tak dapat lagi diurai. Berbagai persoalan hukum dinegeri ini datang secara tiba-tiba dan hilang tanpa jejak dan tanpa penyelesaian yang jelas. Berbagai faktor yang diindikasikan menjadi sabab musabab variabel gurita korupsi kolusi nepostisme (KKN), pun coba diperbaiki oleh pemerintah.
Mulai dari faktor ekonomi dengan meningkatkan kesejahtreraan aparat pemerintah –khususnya penegak hukum-. Faktor suprastruktur dengan mendirikan lembaga penegakan hukum yang berlapis, seperti KPK dan Satgas Anti Mafia hukum. Faktor edukasi dengan masifikasi kampanye anti KKN ke masyarakat melalui media dengan biaya yang tak sedikit. Tak ketinggalan, pemerintah turut menggalang kerja sama dengan kelompok civil society (LSM, media, mahasiswa, tokoh agama, dll).
Tapi nyatanya, langkah-langkah tersebut tidak mampu membendung mainstream KKN yang telah terpolakan oleh sistem demokrasi liberal nihilis. Bagai pegas, makin ditekan laku korupsi makin melawan. Bahkan menggerogoti aparat penegak hukum yang sejatinya menjadi front pemberantasan KKN.
Maka kita sering menyaksikan masyarakat harus turun tangan sendiri. Menjadi “hakim”, mengartikulasi dan kadang memberikan vonis sosial pada koruptor melalui berbagai lembaga dan front akasi. Pada tahap ini, kehadiran negara tak terasa. Negara seolah seturut angguk dengan koruptor yang kian hari kian sistemik.
Faktanya dapat kita lihat, sejak tahun 2004 ada 524 kepala daerah mulai dari gubernur, walikota maupun bupati, terlibat kasus hukum yang bermuara pada korupsi. Artinya rata-rata setiap bulan ada satu kepala daerah yang berurusan dengan hukum (detik.com, 14/06/2011 ). Sebagai aparat pemerintah, maka apa yang terjadi pada mereka, secara signifikan akan berpengaruh terhadap pembangunan daerah.
Efek Domino
Kerugian akibat praktek korupsi bukan saja pada persoalan pembanguna fisik, akan tetapi berefek domino. Turut menggerus konstruksi ekonomi, politik, sosial dan budaya masyarakat. Pembangunan menjadi terhambat akibatnya ekonomi melambat atau bahkan stagnan.
Pada akkhirnya, negara nampak menjadi sosok egois akibat pemerintah melokalisir kekayaan -yang harusnya didistribusikan- untuk kepentingan kelompoknya. Sikap apatis, antipati dan bahkan putus asa terhadap sistem politik, menyublim hingga ke generasi muda. Kekhawatiran ini sejalan dengan fakta terbaru dari Lembaga Surrvey Indonesia yang menggambarkan tidak tertariknya generasi muda untuk berpartisipasi politik secara aktif.
Menurut survey LSI yang disponsori oleh Goethe Institute dan The Friedrich Naumann Foundation For Freedom tersebut, hanya ada 16% pemuda Indonessia yang mau ikut berpartisipasi pada pemilu (dakta.com). Padahal dalam struktur demografi Indonesia, lapisan pemuda adalah mayoritas. Dari 237,6 juta jiwa penduduk Indonesia, 85,26% merupakan usia anak-anak higga pemuda (indonesianfutureleaders.org).
Jika demikian, apa jadinya masa depan demokrasi di negeri ini. Pemerintah yang diamanahi mandat untuk mengelolan negara, malah menjadi perampok. Baik secara sengaja/diniatkan, atau pun terjebak dan menikmati jebakan sistem yang kian dirusak oleh perangkat-perangkatnya.
Dengung gelombang kampanye pemerintahan bersih (clean goverment), kian surut menghantam karang kekuasaan yang didrive oleh koruptor. Karam oleh kilau materi yang meluruhkan niat awal mengemban amanah rakyat. Moral tergadai. Keshalihan ditanggalkan. Mereka yang dulu memvisulaisasikan mimpi pemerintahan bersih, nyatanya hanya mendongeng ilusi yang utopis. Mereka sendiri yang merusak tatanan kenegaraan kita.
Disinilah kita diperhadapkan pada lemahnya kapsitas sumber daya (resources) sebagai pengemban amanah rakyat. Sistem yang telah ditata akhirnya lumpuh, karena secara mekanis manusia yang silau oleh profanisasi kekuasaan, tak lagi memiliki daya yang oleh Syafi’i Antonio tadi dikatakan sebagai self leadership. Sehingga kita mengidentifikasi bahwa permasalahannya bukan sekedar pada sistem yang oleh sebagian kelompok diklaim sudah rusak, namun secara kausal, manusianya sendiri yang rusak dan merusak.
Oleh karena itu dalam perspektif historis, kiranya dimungkinkan bahwa di masa depan sebagaimana di masa lalu kehidupan akan memaksa manusia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan puncak dalam ranah intuitif agama yang tidak bisa diverifikasi. Esensi agama yang menjadi latar bagi kondifikasi nalar manusia dimana ungkapan diformulasikan, konstan dengan esensi watak manusia itu sendiri (Arnold Toynbee : 1976).
Pengakuan sejarawan barat tersebut, sejatinya menjadi refleksi bagi kaum muslimin, khsusnya pemimpin-pemimpin muslim untuk menjadikan agama sebagai rujukan dalam setiap formulasi praksis pemerintahan.
Islam dan Konstruksi Kekuasaan
Islam memandang kekuasaan sebagai sarana untuk mewujudkan masyarakat yang bertauhid. Syahadat syumuliyah. Baik dalam kerangka politik, sosial, ekonomi, maupun sektor kehidupan lainnya. Maka sebagai negara dengan mayoritas Islam, menjadi wajib mempraksiskan nilai-nilai Islam dalam praktek kenegaraan.
Dalam Islam, diantara tujuan diselenggarakannya negara dan segala instrumennya (termasuk pemerintah) adalah membernatas setiap kejahatan dan mendorong setiap kebajikan yang dengan tegas digariskan Al Qur’an. Selain itu, negara bertujuan memberlakukan hukum tanpa diskriminasi (Abul’ala al Maududi : 1978). Artinya bahwa Islam mendorong supremasi hukum sebagai konsekuensi untuk mewujudkan tatanan pemerintahan yang kohesif.
Nilai serta peran negara dan pemerintah dalam Islam bersifat instrumental. Melalui negara, diharapkan tercipta masyarakat etis (ethic) yang dijiwai nilai-nilai keagamaan (M. Syafi’i Anwar : 1995). Ethic yang merupakan kristalisasi dari manifestasi nilai-nilai Islam, mengejewantah dalam tata kelola pemerintahan.
Sementara negara merupakan bentuk masyarakat yang terpenting, dan pemerintah merupakan susunan masyarakat terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah berkewajiban menegakkan keadilan (Fahri Hamzah : 2010). Artinya bahwa penyelenggara negara merupakan kristalisasi dari inti umat.
Dari sisi partisipasi publik, Islam sebagai agama intelektual menghargai ilmu pengetahuan, dalam hal ini alim ulama (orang-orang berilmu) memiliki ruang untuk mengoreksi jika pemerintah melakukan pelanggaran konstitusi. Tentunya sesuai dengan ketentuan syariat dan norma-norma sosial. Dalam bahasa Al Qur’an surat Az Zariyat ayat 55 disebut sebagai tadzkirah. Maka jelaslah bahwa Islam dalam konstruksi sosialnya, mampu mewujudkan clean government dengan tetap menjaga nilai-nilai demokrasi partisipatif. Wallahu’alam