27.9.11
Malaysia dan The Third Wave Democratization
(Dimuat di Koran Fajar Edisi 12 Juli 2011)
Melalui karyanya yang brjudul The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century , tahun 1991, Samuel P Huntington menguraikan pentingnya gelombang ketiga demokratisasi yang digambarkan oleh kecenderungan global setelah melihat gejala tersebut pada lebih dari 60 negara di seluruh Eropa, Amerika Latin, Asia, dan Afrika pada akhri abad 20.
Menurut Huntington, munculnya Gelombang Ketiga ini disebabkan oleh beberapa faktor. Dari sisi politik, diantaranya penurunan legitimasi rezim-rezim otoriter karena mandeknya proses demokratisasi yang ditadai dengan pelaksanaan pemilu secara periodik yang tidak berlangsung secara sehat.
Sebab lain yaitu dorongan kontingensi kawasan. Ada efek bola salju dari keberhasilan demokratisasi di negara lain yang menjadi ilham terjadinya demokratisasi di negara tersebut.
Selain itu, dukungan internasional yang sering mempolitisasi gejolak politik lokal karena adanya kepentingan. Pada titik ini, isu-isu global seperti HAM, menjadi alat ampuh untuk melancarkan agenda demokratisasi dibalik berbagai kepentingan tersembunyi. Sebagaiamana nasib Irak dan Afganistan yang diintervensi oleh Amerika dengan dalih demokrasi.
Martir Demokrasi Malysia
Tewasnya Baharudin Ahmad, anggota Partai Pan Malaysia Islam (PAS) dalam demonstrasi kelompok oposisi Malaysia pada Sabtu (9/7) lalu, mengingatkan kita pada nama Ahmed Bouazizi. Martir revolusi Tunisia pada Januari 2011 silam, yang kemudian menyulut api revolusi serupa ke seantero Timur Tengah, hingga saat ini.
Belajar dari pola gerakan yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah seperti Tunisia, Mesir, Yaman dan Libya, perlawanan demonstran di Malaysia yang menamakan gerakannya sebagai “Demonstrasi Bersih 2.0”, diprediksi akan berlangsung lama.
Secara kasuistik, fakta sosial ekonomi di Timur Tengah, memang berbeda dengan Malaysia. Seperti banyak disimpulkan oleh para analis dan pengamat, salah satu pemicu revolusi Timur Tengah adalah ledakan depresi sosial akibat kemiskinan berkepanjangan, berbeda halnya dengan rakyat Malaysia yang lebih sejahtera.
Jika mengacu pada data World Development Indicators database yang dirilis Bank Dunia tahun 2009, pendapatan kotor perkapita (GNP) Malaysia sebesar 13.740 Dollar Amerika per tahun dengan jumlah penduduk sekitar 25 juta. Artinya bahwa motif kebebasan politik menjadi faktor utama tuntutan demonstrasi tersebut.
Ada beberapa alasan mengapa gerakan oposisi tersebut tidak akan berhenti walaupun aparat kepolisian Diraja Malaysia bertindak represif dan telah menangkap tak kurang dari 1600 demonstran.
Pertama, tindakan represif tersebut justru menjadi alasan bagi para demonstran untuk terus menggalang kekuatan dan simpati rakyat. Secara emosional, tindakan tersebut menimbulkan soliditas ikatan dan menjadi bola salju perlawanan bagi mereka yang selama ini merasa hak-hak demokratisnya dikooptasi.
Asumsi di atas dapat kita refleksikan pada fakta revolusi Timur Tengah. Dimana tindakan aparat yang represif justru meningkatkan militansi para demonstran. Psikologi massa yang menginginkan demokratisasi tidak lagi mampu dibendung dengan pressure atauh bahkan oleh senjata. Lihatlah Libya dan Yaman yang terus bergejolak.
Kedua, tewasnya Baharudin Ahmad yang diikuti oleh keikhlasan keluarga dan dipandang sebagai pengorbanan, semakin menginspirasi dan menjadi sulut kobaran semangat demonstran lain. Perasaan di atas angin karena mendapat dukungan dan mobilisasi massa yang besar.
Ketiga, Jejaring sosial yang merupakan sarana efektif dalam menjalin komunikasi lintas ruang dan waktu, turut dimanfaatkan untuk menggalang dukungan dan konsolidasi. Baik dukungan publik Malysia sendiri, maupun dukungan Internasional.
Zaiem Irsyad misalnya, salah seorang rekan penulis yang juga aktivis mahasiswa di Malaysia, menuliskan di account facebook miliknya “Kepada sekretariat BERSIH, demo BERSIH sudah boleh diadakan di PULAPOL...”
Fenomena pemanfaatan jejaring sosial (new media) ini sebagai media komunikasi dan konsolidasi, terrbilang cukup ampuh. Sebagaimana revolusi Mesir juga berawal dari jejaring sosial, baik twitter maupun facebook yang diprakarsai oleh Wael Ghonim. Seorang eksekutif Google untuk Timur Tengah.
Satu-satunya cara yang bisa dilakukan pemerintah Malaysia untuk menghentikan dukungan tersebut adalah, dengan memblokir aksesnya. Namun hal ini sangt beresiko, karena bisa semakin meledakkan amarah rakyat yang sebelumnya lebih memilih wait and see.
Keempat, isu yang digulirkan oleh demonstran merupakan isu global. Sebagaimana diberitakan bahwa demonstrasi yang dilakukan kelompok oposisi adalah upaya untuk menarik perhatian publik dan salah satu isu yang dibawa adalah reformasi pemerintahan di Malaysia. Yaitu agar Undang-undang Pemilu yang memberatkan pihak oposisi, dapat diubah sehingga membuka ruang untuk dapat berkompetisi secara adil di Pemilu pada tahun 2012.
Oleh para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM), isu tersebut merupakan agenda global, sebagaimana terjadi di Timur Tengah. Maka tak heran jika pembubaran secara paksa demonstrasi yang memakan korban jiwa, dikecam oleh organisasi Internasional.
Seperti dikatakan oleh Juru Bicara Amnesty Internasional Donna Guest, bahwa aksi represif aparat pada Sabtu (9/7) lalu sungguh tak bisa ditolerir dan merupakan aksi represif terburuk Malaysia sepanjang sejarahnya.
Euforia Demokrasi
Dukungan internasional ini tentu sangat berarti dan harus dimanfaatkan oleh para demonstran. Apa lagi saat ini, euforia gelombang demokratisai di Timur Tengah masih terus terjadi. Karena lazimnya, suatu negara otoriter, represif dan mengkooptsai HAM akan menjadi keresahan global. Sehingga jika rezim tetap enggan dengan tuntutan rakyat, maka pada akhirnya merugikan posisi Malaysia di mata dunia, baik secara politik maupun secara ekonomi.
Selama kurang lebih 53 tahun, Malaysia diperintah oleh rezim yang represif. Demokrasi berada dalam ruang status quo. Demokrasi ditafsirkan secara sefihak dengan menihilkan partisipasi publik, rentan terhadap praktek KKN. Kanalisasi dan terbungkamnya media serta larangan demonstrasi menjadi tanda betapa cengkraman otoritarianisme masih memegang kendali.
Jika di Indonesia, Orde Baru berapologi bahwa stabilitas adalah prasyarat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Apologi itu pula dilakukan oleh rezim berkuasa di Malaysia.
Seperti yang dikatakan mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Tun Musa Hitam, menganggap Demokrasi mereka adalah Demokrasi yang bukan Demokrasi Amerika, juga bukan Demokrasi Indonesia. "Kami mempraktekan demokrasi in our way”, demikian kata Tun Musa.
Sebagai tetangga yang baik, dan memiliki pengalaman melalui proses transisi demokrasi yang serupa, tentu kita mendukung proses demokratisasi di negeri Jiran tersebut. Relevan dengan apa yang dikatakan oleh Tun Musa yang juga sering dimintai pendapatnya oleh Perdana Menteri Najib Tun Razak “demokrasi in our way”.
Kini jalan demokrasi yang dikehendaki oleh rakyat Malaysia adalah demokrasi yang menjamin hak rakyat, termasuk hak politik. Bukan lagi demokrasi status quo milik penguasa.
Jelaslah bahwa tuntutan kelompok “BERSIH 2.0” merupakan sebuah kemajuan. Lahir dari kesadaran rakyat untuk memperoleh keadilan akan hak-hak politiknya. Tugas pemerintah tinggal mengakomodasi aspirasi tersebut demi mencegah agar tidak terjadi chaos yang lebih luas. Sehingga justru semakin merugikan.
Kita tidak ingin Malaysia menjadi Tunisia, Mesir, Libya atau Yaman yang baru. Berubah setelah meminta banyak tumbal. Akhirnya kita ucapkan, selamat berdemokrasi buat negeri Jiran.