MUSLIM NEGARAWAN, THE CRAKER!
(Catatan Untuk Muktamar VII KAMMI, 13-17 Maret 2011 Di Bumi Serambi Mekah)
Oleh : Jusman Dalle*
***
Gong Muktamar Nasional VII Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) telah ditabuh dan menggema dari ujung barat Indonesia, Nangroe Aceh Darussalam. Sebagaimana hasil Musyawarah Kerja Nasional di Depok pada Desember 2009 yang lalu, di pilihnya Aceh sebagai tuan rumah Muktamar kali ini, bukan tanpa alasan.
Ketua Umum PP KAMMI, Rijalul Imam, M.Hum, mengungkapkan bahwa mengunjungi Aceh yang merupakan propinsi paling ujung di bagian barat Indonesia, diharapkan memantik rasa dan kesadaran kader KAMMI, betapa luasnya Indonesia dengan segala khazanah kemajemukannya. Untuk mengelola bangsa sebesar Indonesia, dibutuhkan great leader -pemimpin besar-. Umat dan bangsa tentu mengharapkan KAMMI mampu menjawab tantangan ersebut.
Menjadi menarik, bahwa sebagai organisasi yang lahir dari rahim reformasi 1998, KAMMI memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal proses transisi, konsolidasi hingga kematangan demokrasi di negeri ini dalam rangka tercapainya kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan.
Turbulensi sosial-politik yang menjadi stimulus kelahiran KAMMI, setelah sebelumnya selama 20 tahun terkonsolidasi di ruang-ruang suci masjid kampus dengan nama lain “aktivis lembaga dakwah kampus”, memberikan warna tersendiri bagi gerakan ini. Ciri khas “ustadz” melekat kuat, secara rohaniyah dan praktis menjadi benteng moral.
Gejolak perlawanan terhadap rezim orde baru yang represif, terakumulasi dalam rentang waktu yang sangat panjang, hingga pada akhirnya mencapai titik kulminasinya medio April hingga Mei 1998, mengindentifikasi KAMMI sebagai gerakan baru, parlemen“jalanan” dengan ciri khas progressifitas, outstanding, dan leading ditengah kelesuan gerakan mahasiswa pada waktu itu.
Mainstream Muslim Negarawan
Menjawab tantangan dinamika keumatan dan ke- Indonesiaan, sebagai harakatu tajnid (organisasi berbasis kaderisasi) dan harakatul ‘amal (organisasi berbasis amal aplikatif), 13 tahun pasca kelahirannya pada 29 Maret 1998, KAMMI terus memformulasi praksis gerakan.
Perjalanan selama lebih satu dekade, telah memberikan ruang besar sekaligus mengakumulasi pengalaman berharga untuk proses eksperimentasi gerakan dakwah. Mencari format ideal di tengah perubahan dan kontraksi sosial-politik yang terus menerus bergejolak, mewarnai perjalanan bangsa.
Model kepemimpinan sekaligus kerakyatan “Muslim Negarawan” yang digagas oleh kaderisasi KAMMI sejak 2006 M / 1427 H, memiliki lima ciri khas. Pertama, basis ideologi Islam yang mengakar. KAMMI sebagai asset umat dan bangsa, memiliki ketersambungan sejarah dengan lembaga dan gerakan dakwah baik dalam konteks nasional maupun global.
Robert Lane di dalam Political Ideology, menegaskan bahwa ideologi tidak hadir secara instan, tetapi melalui proses panjang dari pengalaman empirik di dasar eksistensial masyarakat. Selanjutnya diinterpretasikan melalui premis-premis kultural oleh manusia yang memiliki kualitas pribadi dalam melihat konflik.
Konflik dalam istilah Fritjof Chapra, diidentikkan dengan kontraksi sosial, ketika masa dan massa bergerak mencari format idealnya. Turbulensi yang mewarnai konflik adalah respons alamiah untuk sinkronisasi gen-gen dalam ruang dan waktu yang bersamaan namun melalui etape yang panjang.
Maka dalam konteks tarfsir Muslim Negarawan, ruang dan waktu yang bergolak, memiliki peran penting untuk pembentukan ideology. Sebagai organisasi pemuda Islam, ideology Islam yang ditawarkan disertai dengan keyakinan untuk mampu mereduksi penyakit-penyakit reformasi yang serba bebas ala demokrasi Indonesia.
Nilai-nlai suci yang transenden dan bersumber dari Al Qur’an, menjadi core value (nilai inti) dalam aktifitas perubahan yang dilakukan oleh segenap aktifis KAMMI. Dalam bahasa politik, basis ideology Islam yang mengakar merupakan moral politik yang mengkonstruksi karakter politisi dan atau pemimpin yang lahirkan dari rahim gerakan KAMMI.
Kedua, basis pengetahuan dan pemikiran yang mapan. Bahwa intelektualitas adalah salah satu ciri dan karakter yang wajib dimiliki oleh pemuda sebagai stock pemimpin masa depan. Kredibilitas keilmuan dan kecendikiawanan pada akhirnya melahirkan profesionalisme dalam menjalankan amanah kepemimpinan.
Sikap tegas yang menjadi oase kepemimpinan bangsa pasca reformasi, harus mampu dijawab oleh KAMMI. Qowiyul fikri (integritas pemikiran), adalah prasyarat independensi karakter pemimpin ideal.
James O’Toole’s Characteristics of Value-Based Leaders, menempatkan integrity (integritas) sebagai syarat pertama megaskill leadership yang harus dimiliki pemimpin. Menurut James, integritas menjadi pandu pandang. Pemimpin yang baik, mampu menjadi sentrum dalam setiap kebijakan, berlandaskan pada rasionalitas yang lahir dari kemapanan pemikiran dan pengetahuan komprehensif.
Ketiga, idealisme dan konsistensi. Komplementasi antara kompetensi kritis dan karakter yang ketiga ini akan melahirkan kredibilitas moral. Basis pengetahuan ideologis, kekokohan akhlak, dan konsistensi pada nilai-nilai Islam. Kredibilitas moral ini merupakan hasil dari interaksi yang intensif dengan manhaj tarbiyah Islamiyah (pembinaan keislaman) serta implementasinya dalam gerakan (tarbiyah Islamiyah harakiyah).
Jika kita refleksikan pada sejarah perpolitikan nasional, adalah Muhammad Natsir, pendiri partai Masyumi sekaligus Perdana Menteri Indonesia yang pertama, menjadi monument sejarah idealisme dan konsistensi politik umat Islam di Indonesia.
Ketika Soekarno menerapkan system demokrasi Parlementar dengan Moh. Hatta sebagai Wapres dan Natsir sebagai Perdana menteri, pemerintahan dipenuhi dengan riak-riak politik. Tentunya berbeda dengan keributan politik hari ini.
Masyumi saat itu menjadi mayoritas di parlemen, tidak menemukan sinkornisasi tata kelola Negara. Karena idealisme Islam yang menjadi warna Masyumi yang diketuai Natsir berseberangan dengan nasionalis sekuler ala Soekarno yang lebih condong ke partai oposisi. Akhirnya kabinet Natsir membubarkan diri dalam usia 8 bulan.
Keempat, berkontribusi pada pemecahan problematika umat dan bangsa. Proses konsolidasi demokrasi yang kini tengah berlangsung, masih dipenuhi dengan hiruk pikuk. Tarik menarik kepentingan dan saling sandera, menjadi drama para politisi dan pemimpin negeri. Akhirnya, kepentingan umat dan bangsa terdeviasi ke sudut yang sangat curam. Antara rakyat dan pemimpin terjadi disparitas.
Kehadiran Muslim Negarawan, yang mengutamakan kepentingan umat dan bangsa di atas kepentingan pribadi menjadi keniscayaan yang dinantikan. Bahwa jabatan adalah pelayanan, merupakan prinsip dan landasan moral sekaligus ethic politik.
Kelima, mampu menjadi perekat komponen bangsa. Dalam artian bahwa pluralitas dan heterogenitas Indonesia, bagai dua sisi mata uang. Potensi positif dan negative sepaket dengan diaklektika sosialnya.
Fakta tentang konflik sosial yang marak terjadi, merupakan cermin bagi pemimpin masa depan. Pengelolaan Negara dengan transendensi atau profanisasi saja tidak cukup. Nilai-nilai humanitas yang universal, rahmatan lil ‘alamin dalam bahasa Islamnya, harus dipraksiskan secara holistik. Sekali lagi, bahwa KAMMI adalah asset umat dan bangsa.
Craking Organization
Menurut John C. Maxwell, kemepimpinan bukanlah klub eksklusif yang mereduksi gerakan dalam ruang kooptasi yang sempit. Kepemimpinan berarti keberanian untuk mendorong perubahan. Sebagai organisasi modern, perubahan lingkungan dakwah strategis, tentu harus di ikuti oleh perubahan metodologi untuk satu narasi besar gerakan, melahirkan pemimpin umat dan bangsa.
Melepaskan diri dari belenggu jumudiyah (kekakuan), termasuk euforia sukses masa lalu yang terus membayangi dan membelenggu dalam wujud megalomania, merupakan tantangan lain. Bahwa KAMMI harus mampu keluar dari ruang nostalgia, menjadi organisasi –meminjam istilah Rhenald Kasali- craker, memecahkan kode-kode masa depan gerakan, menyongsong sekaligus memelopori trend baru gerakan mahasiswa.
Gerakan aksi jalanan, merupakan branding yang telah melekat kuat pada semua organisasi mahasiswa, takterkecuali KAMMI. Tak dapat dipungkiri, gerakan klasik “aksi jalanan”, juga turut membesarkan sekaligus mendewasakan KAMMI.
Namun, memperahankan gaya klasik dengan perubahan lingkungan strategis, bukanlah cara bijak untuk merespon perubahan. Kiranya gagasan “Muslim Negerawan” yang direproduksi dari rahim kaderisasi KAMMI mengejewantah dalam ruang raksasa yang merealitas.
Satu kesadaran yang penting untuk di internalisai oleh seluruh aktivis KAMMI, bahwa kelahiran gagasan “Muslim Negarawan” ini, merupakan respons sekaligus ijtihad gerakan KAMMI terhadap fenomena kekinian dan ke-disinian.
Hemat penulis, tentang gagasan Muslim Negarawan, harus ada tafsir yang baru dan keluar dari bayang-bayang kesuksessan KAMMI –bersama elemen lain- dalam mendorong gerbong reformasi yang hari ini dibajak oleh oleh sekelompok penjahat reformasi. Tafsir baru yang dimaksud adalah kontekstualisasi dan holistikasi gagasan tersebut.
Dengan kata lain, KAMMI melakukan lompatan besar, menjadi mainstream baru sebagai organisasi kepemudaan, keumatan dan kebangsaan sekaligus. Melakukan pembaharuan bukan terhadap internal organisasi semata, akan tetapi lebih luas, harus ekspansif, menginspirasi organisasi serupa. KAMMI menciptakan trend baru gerakan mahasiswa dan gerakan dakwah, craking organization, hingga elaborasi craking organization dan gagasan muslim negarawan melahirkan : Muslim Negarawan, The Craker!
Akihrnya, semoga Muktamar Nasional ke VII ini melahirkan rumusan-rumusan gerakan yang kompatibel dengan kondisi kekinian dan kedisinian. Sosok pemimpin masa depan yang mampu mengelaborasi secara apik antara idealisme, moralitas, konsistensi, ketegasan, dan humanisme secara universal. Menjawab krisis kepemimpinan nasional. Selamat ber-Muktamar Nasional, Barakallahu fiikum!
Keterangan : Tulisan ini dimuat di Koran Tribun Timur Edisi Jum'at 18 Maret 2011