Mata Air Pikiran Mengalir Membentuk Kenyataan

  • Opini Kompas | IMF dan Malapraktik Diplomasi

    Jusman Dalle | Opini Harian Kompas Pemerintah memastikan bakal memberikan bantuan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9,4 triliun. Terkait komitmen Indonesia ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, IMF diharapkan tidak hanya menggunakan pinjaman ini untuk membantu negara-negara di Eropa, tetapi juga negara-negara di Asia dan Afrika.

  • Opini Republika | Urgensi Badan Haji

    Jusman Dalle - Opini Republika | Untuk mencapai tujuan pertama yaitu manfaat transformasi manajemen, Badan Haji yang nantinya bakal berfungsi sebagai eksekutor saja, merampingkan organisasi serta secara otomatis memotong rantai birokrasi bertingkat dan kompleks yang melibatkan banyak institusi. Badan Haji juga mengakhiri rezim monopoli kewenangan sebab Kemenag tinggal memegang satu fungsi, yaitu sebagai regulator sementara Komisi VIII DPR yang membawahi persoalan haji, berfungsi sebagai evaluator.

  • Profil Jusman Dalle

    Jusman juga menekuni digital marketing. Merancang dan membuat konten digital berupa tulisan (copywriter), visual dan audio visual untuk sejumlah perusahaan dan institusi skala nasional. Antara lain Partai Gerindra, Kedutaan Besar Jerman, Taksi Ekspress, Bank BTN, PLN, XL Axiata, Agung Podomoro Land, True Money, dll.

  • Rawan Pangan Negeri Pertanian

    Jusman Dalle - Opini Koran Tempo | Program revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan sejak 2005 masih sebatas lip service. Infrastruktur irigasi rusak parah, jalanan di desa-desa basis pertanian pun belum memadai. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 9,25 juta hektare juga baru sebatas “angin surga”.

27.9.11

Money Teisme di Tubuh Partai Politik

Money Teisme di Tubuh Partai Politik

Oleh : Jusman Dalle*

***

Nazaruddin melanjutkan nyanyiannya. Daya tahan dan daya pukul Nazaruddin sedikitpun tidak berkurang pasca dipecat dari Bendahara Umum Partai Demokrat. Disusul penetapan status tersangka oleh KPK dan buron Interpol. Terakhir, DPP Demokrat menyatakan telah memecat Nazaruddin dari Partai Demokrat . Keanggotaannya di partai pemenang pemilu 2009 tersebut dicabut yang secara otomatis juga menghilangkan statusnya sebagai anggota DPR.

Lapuknya Pilar Demokrasi

Di tengah berbagai tekanan serta teror argumentatif yang arahkan kepada dirinya, Nazaruddin masih eksis. Malah lebih berani dari sebelumnya. Kali ini, Nazar tampil eksklusif via telepon dan bernyanyi tak kurang dari 20 menit dalam wawancara dengan anchor Metro TV Indra Maulana pada Selasa (19/7).

Sebelumnya, sepanjang dua bulan belakangan pesan BBM Nazaruddin sudah menghantui elit Demokrat. Bahkan SBY dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pembina, dipaksa turun gunung menanggapi BBM tersebut.

Salah satu lirik nyanyian terbaru Nazar adalah soal penggunaan APBN untuk memuluskan jalan Anas Urbaningrum untuk menduduki Kursi Ketua Umum pada Kongres partai Demokrat di Bandung tahun 2010 lalu. Tak tanggung-tanggung, menurut nyanyian Nazar, Anas menghabiskan dana sebesar 20 juta US dollar.

Apa yang diungkapkan oleh Nazar memang belum bisa dibuktikan. Anas pun telah membantah. Namun sebagai orang yang pernah intim dengan Anas dan diberi kedudukan sebagai Bendahara Umum partai, nyanyian tersebut bisa jadi benar 100 persen.

Seperti kita ketahui, bahwa dalam Kongres II Partai Demokrat pada Agustus 2010 tersebut, ada tiga kandidat yang memperebutkan posisi Ketua Umum yaitu Anas Urbaningrum, Andi Alfian Mallarangeng dan Marzuki Alie. Dua orang terakhir bisa dikatakan senior Anas di Demokrat. Bukan saja karena umur mereka lebih tua, akan tetapi keduanya juga lebih awal bergabung dengan partai berlogo merci tersebut.

Sebagai orang baru yang belum terlalu banyak mendalami seluk beluk Demokrat, kemenangan Anas tersebut terbilang fenomenal. Dari sini, resep kemenangan Anas menjadi teka teki.

Jika apa yang dikatakan Nazar soal Anas tersebut benar adanya, hal itu bukanlah soal baru dalam dunia politik Indonesia. Apa lagi kontestasi memperebutkan ketua umum di partai sekelas Demokrat yang menjadi fenomenal dalam dua pemilu terakhir (2004 dan 2009). Sudah menjadi rahasia umum, hampir semua partai politik mensyaratkan kekuatan dana dalam perebutan kursi ketua umum.

Salah satu cara untuk menembus besaran modal yang dikeluarkan untuk merebut kursi ketua umum, adalah dengan menggandeng tim tim sukses dengan janji posisi strategis. Pada taha inilah, partai politik disandera oleh kepentingan sesaat dan sesat. Menyimpang jauh dari fungsi utamanya.

Dari sini, semakin nampaklah wajah transisi demokrasi yang salah jalan. Periode yang ternyata tidak mampu melahirkan mainstream dan paradigma baru dengan fatsun moral.

Partai politik sekedar dijadikan sebagai batu loncatan untuk meraih keuntungan bagi pribadi dan kelompok. Maka tak heran jika budaya buruk tersebut merasuki sistem demokrasi Indonesia. Pilar demokrasi akhirnya menjadi lapuk.

Celah

Jika ditelusuri lebih jauh, celah yang dimanfaatkan untuk pengharusan sokongan dana dalam dunia politik Indonesia bisa kita telusuri dari Pasal 34 Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), membatasi sumber keuangan parpol. Disebutkan bahwa keuangan parpol hanya bisa berasal dari tiga sumber, yaitu iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan keuangan dari APBD/APBN.

Kriteria perseorangan yang sah menurut hukum, bukan termasuk sumbangan dari anggota partai yang bersangkutan, batasannya yaitu sebesar Rp. 1 miliar dalam setiap tahun anggaran. Perusahaan atau badan usaha bisa menyumbang hingga Rp. 7,5 miliar per tahun anggaran.

Sementara itu sumbangan dari anggaran negara sangat terbatas, baik dari APBN maupun APBD. Itupun berdasarkan jumlah suara parpol pada pemilu sebelumnya. Informasi dari Kementrian Dalam Negeri menyebutkan sebesar Rp. 108 setiap satu suara per tahun.

Artinya partai sekelas Demokrat dengan jumlah suara 21.703.137, hanya memperoleh Rp. 2.343.938.796 (Rp. 2,3 M) per tahun. Angka Rp. 2,3 M ini jauh dari cukup untuk membiayai operasional partai ditingkatan DPP.

Jika berharap dari sumbangan eksternal sebagaimana disebutkan di atas, maka secara realitas dapat dipastikan bahwa sumbangan resmi yang diperoleh setiap parpol tidak akan mampu mencukupi menutup kebutuhan. Apalagi, parpol tidak dibenarkan memiliki perusahaan. Praktis, sumbangan yang diterima tiap parpol relatif lebih kecil ketimbang keperluan anggaran partai apa pun.

Lain halnya dengan iuran anggota partai yang tidak dibatasi. Sehingga bisa saja, setiap anggota partai politik nyetor hingga ratusan miliar dalam setiap tahun anggaran. Maka celah ini dimanfaatkan oleh partai politik untuk merekrut politisi yang bisa mereka manfaatkan untuk menyuplai bahan bakar bagi dapur partai. Tentu disertai kontrak atau konsensus dengan prinsip sama-sama menguntungkan. Mereka biasanya berasal dari kalangan pengusaha.

Terjadi perselingkuhan antara parpol dan pengusaha. Posisi pengusaha di partai politik, apa lagi di partai berkuasa memungkinkan akses ke proyek-proyek pemerintah. Maka tak heran jika tak kurang dari 40 persen anggota DPR berlatar belakang pengusaha. Mereka inilah yang menjadi pipa, mengalirkan dana ke partai politik.

Money Teisme

Elit terkondisikan pada orientasi ekonomi. Politik untuk rakyat menguap begitu saja, karena perhatian hanya terpusat pada etika utilitarian yang lahir dari rahim materialisme.

Etika ini menyelubungi sistem partai politik yang mengusung sitem moral Darwinisme “the survival fo the fittes”, yang memuja kultus pemenang dengan ukuran material. Terjerembabnya demokrasi ke dalam jurang borjuasi, diakibatkan oleh lapuknya partai politik sehingga tidak lagi mampu menjadi pilar demokrasi.

Inilah tamsil yang dikatakan oleh Daniel G. Groody, bahwa masyarakat modern yang pragmatis, materialistis, dan hedonistis telah menjadi penganut money-theism (keyakinan pada kekuatan uang sebagai agen tunggal). Dalam dunia politik, money-theism telah menempatkan subjek politik berdasarkan kepemilikan harta. Artinya bahwa kita masuk pada periode gelap demokrasi semua. Pertanyaannya, apakah kita membiarkan ini berkelanjutan? Mari sama-sama bersikap.

*Keterangan : Tulisan ini dimuat di Koran Banjarmasin Post Edisi Selasa 26 Juli 2011