Oleh : Jusman Dalle*
***
Dialektika dan dinamika sosial dan politik, bukanlah barang baru di negeri ini. Yang baru jika dialektika tersebut berlangsung secara adem, dan pesannya diterima dengan baik (baca : sampai ke masyarakat). Kita menyaksikan, masyarakat justru sering kali menjadi korban kebingungan dan eksploitasi.
Bangsa Dinamis
Bagi yang melihatnya secara pesimistik, dinamika yang terjadi disebut sebagai masalah. Tapi itulah faktanya, kita hanya bisa tumbuh menjadi negara dan bangsa yang besar setelah melalui lompatan-lompatan sejarah yang sangat dinamis. Terlalu panjang jika sejarah tersebut harus diuraikan kembali di dalam tulisan ini. Penulis ingin memframing dengan pendekatan konteks dinamika kontemporer dan kaitannya dengan sejarah dan kebutuhan mendesak kita.
Sayang sekali jika di tengah berbagai dinamika itu, bangsa Indonesia harus linglung. Hilang pegangan. Kita saksikan, pemimpin tidak lagi mampu mengendalikan letupan letupan keagamaan, sosial dan politik yang bertransformasi menjadi gurita problematika.
Dalam keagamaan misalnya, mulai dari terorisme, pandangan keagamaan yang diklasifikasi sebagai dogma radikal (radikalisme), hingga penentuan awal Ramadhan yang berbeda antara pemerintah dan ormas, juga tak kalah sering menggambarkan adanya simpul-simpul masalah yang tak pernah terurai. Lagi-lagi, kepemimpinan menjadi sorotan.
Dalam persoalan ekonomi, angka kemiskinan hingga 59,4 juta orang berdasarkan standar purchasing power parity World Bank, menjadi catatan merah pemerintah. Bukan hanya itu, perlindungan kepada warga negara juga sangat lamban karena elit disibukkan oleh permasalah politik yang mengguncang kekuasaan.
Cerita warga yang terpaksa mengadu nasib di luar negeri sering kali terulang. Termasuk mereka yang terpaksa menemui ajal dan hanya kembali dengan kabar nyinyir.
Bukan hanya itu, rakyat kecil juga sering menjadi korban di hadapan hukum. Tak berdaya menerima putusan pengadilan yang tidak adil karena harus berhadapan dengan orang atau kelompok yang mampu membeli palu hakim.
Tak ketinggalan, berbagai skandal hukum yang menyasar elit, makin absurd juntrungannya karena berakhir dengan suap menyuap. Kini yang berkuasa adalah mereka yang mampu memformulasi argumen artifisial, dibalut pencitraan di media massa. Atau elit politik yang mampu meredakan ancaman kekuasaan yang terguncang melalui politik transaksional.
Rahim bangsa yang besar ini, sepertinya telah mandul dalam melahirkan negarawan, pemimpin, tokoh atau pahlawan tak bertendensi pamrih. Intensifnya proses sirkulasi kepemimpinan dari tingkat pusat hingga ke tingkat daerah hanya menjadi seremoni untuk mengganti dari satu pemimpin simbolik ke pemimpin simbolik lainnya. Untuk mencari referensi teladan, kita seperti mencari jarum di hamparan Sahara.
Bulan Juli ini ada peristiwa yang merupakan rangakaian mozaik sejarah Indonesia, kita harapkan mampu menginspirasi bagi munculnya solusi atas kompleksitas problem keumatan dan kebangsaan.
Peristiwa tersebut adalah hari kelahiran Mohammad Natsir. Tepat 17 Juli 1908, Mohammad Natsir dilahirkan di Kampung Jembatan Berukir, kota kecil bernama Alahan Panjang Kabupaten Solok Sumatera Barat dari ayah bernama Idris Sutan Saripado dan ibu bernama Khadijah.
Di dalam pemikiran filsafat dan kebudayaan Islam, Natsir melahirkan orisinalitas sebagai pemikir Islam Indonesia. Bahkan pemikiran Natsir dinilai jauh melampaui pemikiran Neo-Modernis yang selama ini dinisbahkan kepada Fazlur Rahman. Maka tak salah jika beliau dikukuhkan sebagai pemikir pembaharuan dan modernis Muslim yang terkemuka. Natsir salah satu ulama nusantara yang diakui.
Ketokohan Natsir dalam dunia politik, menjadi representasi umat Islam melalui Masyumi. Ketika menjadi Menteri Penerangan, relasi antar Natsir dan Bung Karno mulai terjalin intim. Keberadaan Natsir di pemerintahan menjadikannya mercusuar negarawan yang diabadikan sejarah Indonesia. Berbagai prestasi dengan cita rasa kenegarawaanan ditorehkan oleh Natsir.
Negarawan
Sewaktu menjadi anggota Parlemen Republik Indonesia Serikat (DPR RIS) dan duduk sebagai Ketua Fraksi Masyumi, lagi-lagi Natsir menyelamatkan keutuhan negara dari RIS ke dalam bingkai NKRI. Natsir melihat bahwa bentuk negara serikat sebagai hal yang membahayakan keutuhan NKRI, karena akan menimbulkan ketidak akuran diatara berbagai negara bagian.
Natsir mengajukan Mosi intelektual di hadapan sidang DPR-RIS, agar seluruh wilayah Indonesia dikembalikan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Firasat masa depan Natsir sebagai seorang negarawan yang menghendaki persatuan ini, untuk mengantisipasi disitegrasi bangsa. Menjadi monumen sejarah Natsir bagi negerinya. NKRI akhirnya menjadi salah satu pilar kebangsaan yang hari-hari ini banyak diperbincangkan.
Berbeda dengan Natsir, pemimpin bangsa hari ini lebih tepat dipanggil elit yang elitis. Berpolah paradoks dan mereduksi patriotisme. Kesatuan bangsa hanya menjadi sketsa mati di atas teks-teks pidato, dari podium ke podium. Berperilaku egois. Lebih mementingkan diri dan kelompok partainya ketimbang keutuhan NKRI, dan seluruh kekayaan yang ada di dalamnya, termasuk rakyat kecil. Kita sering kali melihat wajah buruk elit politik saling serang, bertikai memperebutkan kekuasaan.
Kita berharap, ulama dan cendikiawan tidak mengikuti gaya dan cara-cara pedebatan elit politik tersebut. Sebagaimana ketika Natsir dan Soekarno yang terlibat dialog kebangsaan dengan menjadikan agama sebagai pisau bedah dalam menarik ijtihad-ijtihad politik. Natsir dan Soekarno memperdebatkan ideologi dan tetap dalam prinsip menghargai perbedaan.
Toleransi tersebut menjadi cermin keikhlasan sikap tidak ditunggangi oleh kepentingan sesaat. Natsir dengan prinsip dan flatform politik Nasionalisme-Islam dan Soekarno dengan Nasionalisme Sekuler -yang diramu dari pandangan sekuleris Turki modern-, tetap melanjutkan berdilaog di beberapa media. Tak jarang keduanya menggunakan bahasa-bahasa dan kritik tajam.
Akan tetapi di luar dialog tersebut, Natsir tetap menghormati Soekarno sebagai salah satu tokoh bangsa. Pun dengan D. N. Aidit yang merupakan tokoh komunis, sering kali berdebat dengan Natsir di konstituante. Tapi diluar sidang, keduanya bersahabat.
Bukan hanya Natsir yang memperlihatkan karakter bijak tersebut. Ahmad Hassan, tokoh Persis secara intens juga mendakwahi Soekarno. Ketika Soakarno dipenjara Sukamiskin Bandung, juga diasingkan ke Ende Nusa Tenggara Timur, Ahmad Hassan biasa menjenguk dan menanyakan kabar kabar Soakarno. Termasuk juga tetap mendakwahi Soekarno.
Sikap Natsir sebagai ulama dan negarawan pantas dijadikan patron. Juga soal kesederhanaan dan kesahajaannya. Dalam keseharian, beliau hanya menggunakan jas penuh dengan tambalan. Ulama dan negarawan santun, bersahaja, tapi teguh pendirian, semuanya adalah teladan langka hari ini.
Natsir adalah oase. Pantas disebut muslim negarawan. Patron moralitas di tengah miskinnya umat yang sangat besar secara kuantitas ini dalam melahirkan bintang-bintang baru. Pun, Natsir menembus belantara rimba politik yang penuh jebakan. Pelita di tengah pengap kegelapan berfikir dan bersikap.
Pertanyaan sederhana kita hari ini, adakah sosok ulama dan negarawan sekelas Muhammad Natsir? Mampukah ormas dan parpol melahirkan cendikiawan dan politisi sungguhan, atau hanya terjebak dalam silang sengkarut kepentingan pragmatis dan berputar pada urusan tetekbengek? Kita menanti lahirnya muslim negarawan tersebut.
Keterangan : Tulisan ini dimuat di Koran Tribun Timur Edisi 29 Juli 2011