Menurut pihak Istana, kabinet hasil reshuffle akan membawa cara pandang baru, komitmen baru, semangat baru, dan orientasi baru melaui tindakan cepat dan sigap dalam merespon berbagai problem yang tergambar dari kritik publik pada masa-masa sebelumnya.
Dari Jaka Baring ke Hambalang
Reshuffle yang dalam bahasa Inggris berarti pengocokan kembali, memang santer terdengar akhir-akhir ini. Hampir dua tahun pemerintahan SBY-Boediono, kekecewaan publik semakin mengkristal akibat tidak memuaskannya kinerja KIB Jilid II yang disebut-sebut sebagai kabinet politis, hasil power sharing para parpol koalisi.
Berbagai instrumen digunakan untuk menakar kegagalan (bad performance) KIB Jilid II –hingga memasuki tahun kedua-. Diantaranya yaitu tergambar dari rendahnya daya serap APBN untuk kementrian dan lembaga pada tahun anggaran 2011 yang hanya di bawah angka 30 persen, sebagaimana diungkapkan Sutan Batagoena, anggota DPR dari Partai Demokrat (detik.com/Rabu, 21/09/2011).
Redahnya serapan anggaran ini menandakan tidak berjalannya program kerja pemerintah. Apatah lagi belakangan diketahui bahwa banyak anggaran negara yang dikorupsi, artinya angka dibawah 30 persen itu juga tidak digunakan secara maksimal.
Selain itu, beberapa kali evaluasi dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), mengindikasikan beberapa kementrian yang dinilai tidak progresif dengan parameter pencapaian program kerja dibawah target.
Fakta lain menunjukkan jika kurang dari 50 persen implementasi dari 77 arahan dan instruksi Presiden SBY yang dilaksanakan. Data terakhir yang ditemukan UKP4, bahwa 10 persen dari 47 kementerian dan lembaga dibawah KIB Jilid II, berkinerja buruk alias rapornya merah.
Rangkaian kekecewaan dari lemahnya kinerja KIB Jilid II tersebut memuncak ketika berbagai kasus korupsi yang membelit pemerintah terkuak ke publik.
Diantaranya kasus korupsi anggaran pembangunan Wisma Atlet Sea Games di Jaka Baring Palembang yang kemudian berkembang hingga ke korupsi dana proyek pembangunan pusat pelatihan atlet serbaguna di Hambalang, Bogor.
Dua korupsi ini terjadi di Kementrian Pemuda dan Olah Raga yang dipimpin oleh Andi Alfian Mallarangeng. Tekanan publik sampai pada titik kulminasinya ketika terungkap kasus korupsi baru, yaitu di Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang dipimpin Mihaimin Iskandar.
Akibat berbagai permasalahan di tubuh pemerintah tersebut, citra pemerintah semakin anjolok. Hasil survey Lingkar Survey Indonesia (LSI) periode 5-10 September 2011 yang dilansir pada Ahad (18/9) kemarin, menunjukkan jika kepuasan rakyat pada pemerintah tinggal 37,7 persen. Melorot 15 persen dalam dua tahun terakhir.
Angka sangat kritis dan menjadi alarm delegitimasi bagi Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Oleh karenanya, muncul skeptisme jika wacana reshuffle ini hanya menjadi panggung pencitraan bagi Presiden SBY untuk memulihkan kepercayaan rakyat.
Zaken Kabinet
Pakar leadership John C. Maxwell di dalam The Maxwell Daily Reader : 2007, pernah mengatakan bahwa tim merupakan cerminan dari pemimpinnya. Pandangan Maxwell ini berarti bahwa idealitas harmonis suatu tim seharusnya dilahirkan oleh kekuatan leadership berintegritas.
Dalam konteks pemerintahan Indonesia, capaian-capaian sisa masa kerja KIB Jilid II selama 3 tahun kedepan, merupakan wajah integritas Presiden SBY yang akan melekat pada memory rakyat Indonesia selamanya. Apakah Pemerintahan SBY akan berakhir dengan khusnul khatimah (happy ending) atau justru zu’ul khatimah (akhir yang buruk)? Itu yang akan direkam sejarah.
Oleh karenanya, jika benar-benar Presiden SBY melakukan pengocokan ulang kabinet, maka tentu banyak faktor yang harus diperhatikan agar hasil pengocokan ulang tersebut tidak sekedar seremoni normatif yang tidak berdampak signifikan.
Selain itu, karena pemilu semakin dekat, maka untuk efektifitas kabinet agar menteri tidak mengeksploitasi jabatannya untuk persiapan pemilu, maka dibutuhkan kabinet yang jauh dari kepentingan politik.
Pada titik inilah logika zaken kabinet menjadi mutlak adanya. Disisi lain, SBY pasti butuh nama baik di akhir masa kepemimpinannya. Maka SBY harus menanggung resiko tekanan politik –jika mengurangi jatah menteri dari parpol-, demi kepentingan publik.
Presiden SBY juga harus belajar, bahwa sedari awal kabinet yang dibentuk lebih pada konsesi politik, bukan berdasarkan basis integritas, profesionalisme dan kemauan untuk melayani rakyat atau zaken kabinet, pada akhirnya banyak merugikan pemerintahannya. Jika hal tersebut diulangi kembali, maka SBY akan terperosok pada lubang yang sama.
Dalam rentang waktu 3 tahun kedepan hanya menambah berat pertimbangan politik Presiden ketika diperhadapkan pada kondisi sebagaimana saat ini terjadi.
Maka saatnya Presiden SBY memotong-putus rantai setan mismanajemen yang telah dia lakukan sendiri. Karena toh telah terbukti bahwa fit and propert test yang dipopulerkan oleh Presiden SBY (katanya) sebagai cara menyeleksi menteri berkualitas, tidak ada gunanya sama sekali.
Hanya menjadi formalitas yang sangat sarat dengan aroma pencitraan belaka dan menandakan tidak pekanya instink politik Presiden SBY.
Akhirnya publik tetap skeptis, apakah wacana reshuffle ini memang mengarah pada pembentukan zaken kabinet, atau hanya pencitraan semata, dan Pemerintahan SBY akan kembali mengulangi kesalahan yang sama, pengelolaan negara masih diberikan pada politikus karena mereka diback up kekuatan politik yang menyandera Sang Presiden?
Kabinet pemburu rente yang doyan berselingkuh dengan anggota legislatif (DPR), kemudian mengalirkan uang ke kantong pribadi dan partai masing-masing. Jangan sampai Presiden SBY hanya melakukan pengocokan kocak ala permainan ular tangga. Untung-untungan dengan cover pencitraan.
Semua masih tanda tanya selama Presiden SBY tidak pernah tegas dan mengubah gaya kepemimpinannya yang kemayu, ingin menyenangkan semua fihak, takut mengambil resiko dan terlalu banyak perhitungan sehingga terkesan lamban.
*Penulis adalah Analis Ekonomi Politik SERUM Institute, Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)