Mata Air Pikiran Mengalir Membentuk Kenyataan

  • Opini Kompas | IMF dan Malapraktik Diplomasi

    Jusman Dalle | Opini Harian Kompas Pemerintah memastikan bakal memberikan bantuan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9,4 triliun. Terkait komitmen Indonesia ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, IMF diharapkan tidak hanya menggunakan pinjaman ini untuk membantu negara-negara di Eropa, tetapi juga negara-negara di Asia dan Afrika.

  • Opini Republika | Urgensi Badan Haji

    Jusman Dalle - Opini Republika | Untuk mencapai tujuan pertama yaitu manfaat transformasi manajemen, Badan Haji yang nantinya bakal berfungsi sebagai eksekutor saja, merampingkan organisasi serta secara otomatis memotong rantai birokrasi bertingkat dan kompleks yang melibatkan banyak institusi. Badan Haji juga mengakhiri rezim monopoli kewenangan sebab Kemenag tinggal memegang satu fungsi, yaitu sebagai regulator sementara Komisi VIII DPR yang membawahi persoalan haji, berfungsi sebagai evaluator.

  • Profil Jusman Dalle

    Jusman juga menekuni digital marketing. Merancang dan membuat konten digital berupa tulisan (copywriter), visual dan audio visual untuk sejumlah perusahaan dan institusi skala nasional. Antara lain Partai Gerindra, Kedutaan Besar Jerman, Taksi Ekspress, Bank BTN, PLN, XL Axiata, Agung Podomoro Land, True Money, dll.

  • Rawan Pangan Negeri Pertanian

    Jusman Dalle - Opini Koran Tempo | Program revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan sejak 2005 masih sebatas lip service. Infrastruktur irigasi rusak parah, jalanan di desa-desa basis pertanian pun belum memadai. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 9,25 juta hektare juga baru sebatas “angin surga”.

12.8.20

Trisula Pemulihan Ekonomi | Kolom Detikcom

Oleh Jusman Dalle
**
Untuk kali pertama sektor konsumsi rumah tangga tidak berdaya. Kehilangan tenaga menopang pertumbuhan ekonomi bangsa. Padahal, saban tahun sektor konsumsi rumah tangga selalu tampil memesona. Namun kali ini keadannya berbeda.

Sektor konsumsi rumah tangga mengalami kontraksi -5,51%. Kinerja terburuk dalam sejarah. Sementara itu, secara keseluruhan PDB tumbuh -5,32%. Demikian kinerja ekonomi Triwulan II 2020 yang baru saja dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).

Kendati didera kontraksi, kinerja sektor konsumsi rumah tangga masih lebih baik. Tidak sejeblok sektor lain. Belanja pemerintah misalnya, -6,90%, konsumsi Lembaga Non-Profit yang Melayani Rumah Tangga (-7,76%), investasi (-8,61%), ekspor (-11,66%) dan impor (16,96%).

Secara umum, konsumsi rumah tangga masih tampil dominan dalam struktur PDB. Yakni berkontribusi 57,85% terhadap kue ekonomi sepanjang tiga bulan terakhir. Artinya, aktivitas berbasis konsumsi masih jadi tumpuan. Meski laju pertumbuhannya mengalami kontraksi atau negatif.


Dalam konteks ini, dapat dipahami mengapa sektor konsumsi paling pertama dipacu. Menjadi pedal gas agenda pemulihan ekonomi. Selain sektor konsumsi, pemulihan ekonomi yang semakin menantang juga bertumpu pada kelas menengah dan berkah ekonomi berbasis kota. 

Tiga hal ini merupakan satu kesatuan. Kita menyebutnya trisula ekonomi. Tiga ujung mata tombak yang diandalkan di tengah upaya pemulihan. 

Pemerintah sudah berikhtiar memacu mesin konsumsi. Sejak dua bulan lalu. Melalui penerapan kebijakan masa transisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan pelonggaran itu diikuti oleh pembukaan pusat perbelanjaan dan aktivitas perkantoran. 

Kita tidak sedang berbicara bagaimana dampak kebijakan transisi itu berimplikasi memicu tingginya gelombang Covid-19. Mengakibatkan spektrum penyebaran tambah luas. Memunculkan kluster-kluster perkantoran yang kian meresahkan.

Secara kasat mata, tampaknya frasa transisi new normal sukses menggiring masyarakat beraktivitas ke luar rumah. Cafe-cafe kembali ramai. Banyak nongkrong. Melepas rindu setelah empat bulan terkurung. 

Piring dan gelas di restoran serta  mal kembali beradu. Makan malam bersama di luar rumah sudah lama didamba. Wisatwan bahkan kembali bergeliat. Masyarakat beranjak membanjiri destinasi anjangsana. 

Pengalaman Sabtu malam (1/8) kemarin melintas di Puncak, Bogor, parkiran restoran-restoran sepanjang Jl. Raya Puncak tumpah ruah memakan jalan. Bahkan mengakibatkan macet panjang dari Cipanas sampai Cisarua. Hingga tengah malam. 

Fenomena yang tidak cuma terjadi di satu atau dua tempat. Tapi juga terjadi di berbagai daerah. Jika aktivitas konsumtif itu disebut sebagai paramater upaya pemulihan ekonomi, secara simplistis bisa disimpulkan bakal membawa kabar gembira. 

Bila dilacak, kita akan menemukan fakta bahwa motor penggerak sektor konsumsi yang meramaikan mal, dan destiansi-destinasi wisata adalah kelas menengah. Populasinya 167 juta jiwa atau 65% dari total penduduk Indonesia. 

Menurut data paling anyar yang dirilis oleh Bank Dunia. Kelas menengah ini kategorinya ada dua. Yaitu kelas menengah atas yang jumlahnya 52 juta, dan kelas menengah harapan 115 juta jiwa.

Kelas menengah umumnya tinggal di kota. Tempat dimana kebutuhan gaya hidup dapat dipenuhi dengan mudah. Mulai dari urusan pekerjaan hingga hiburan. Proyeksi Worldmeters, tahun 2020 ada 152,4 juta jiwa atau 56,4% penduduk Indonesia yang merupakan warga kota. Terutama terkosentrasi di kota-kota di Pulau Jawa.

Maka wajar jika perekonomian kerap disebut Jawa sentris. Begitulah fakta statistiknya. Pertumbuhan dan distribusi perekonomian memang didominasi Pulau Jawa. Data teranyar BPS mencatat 58,55% perekonomian terpusat di Jawa. Sumatera 21,49%. Sisanya terbagi ke Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Papua, Bali dan Nusa Tenggara.

Konsentrasi penduduk dan kelas menengah ini yang mengubah kota-kota di Jawa menjelma menjadi pembuluh darah ekonomi Indonesia. Ketika ekonomi kota terinfeksi Corona, amat dalam dampaknya. Lihatlah, bagaimana episentrum Corona di Indonesia yang terjadi di Jabodetabek dan beberapa kota utama di pulau Jawa, berimplikasi signifikan terhadap ekonomi nasional. 

Rapuh. Tidak solid. Itulah masalah bawaan ketika terjadi pemusatan ekonomi secara spasial. Namun terlanjur menjadi potret peta ekonomi Indonesia. Pemusatan ekonomi di kota, juga merupakan masalah global. Trend di dunia. Banyak faktor pemicunya. Termasuk urbanisasi. Perpindahan penduduk secara masif ke kota-kota.

Untuk jangka panjang, tantangannya adalah pemerataan. Dientaskan dengan pembangunan infrastruktur fisik yang bertumpu pada investasi.

Dalam jangka panjang, gemuruh ekonomi digital tumpuan menjembatani pemerataan. Ekonomi digital menawarkan alternatif distribusi pertumbuhan yang inklusif. Membuka potensi-potensi ekonomi baru.

Sementara untuk jangka pendek, upaya menghela ekonomi nasional yang terkulai harus mengorkestrasi ekonomi kota. Pusat konsentrasi motor ekonomi Indonesia. Di kota, kelas menengah dengan kekuatan konsumsinya didaulat maju ke muka.

Sejak Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah menurut kategori yang dibuat Bank Dunia, kelas menengah berperan signifikan dalam peta leisure economy. Yaitu pergeseran pola konsumsi masyarakat dari konsumsi berbasis barang ke konsumsi berbasis pengalaman. (Linda Nazareth, 2007). 

Pola ini pula yang mengakibatkan sektor konsumsi rumah tangga terjatuh karena pandemi. Lapangan usaha berbasis jasa yang juga merupakan leisure economy babak belur. Terinfeksi Corona. Membeku.

Terlihat dari data BPS. Sektor transportasi dan pregudangan terpukul hingga -30,84%, bisnis akomodasi dan makan minum jatuh ke titik -22,02%. Sektor industri leisure economy tersebut menopang gaya hidup. 

Setelah terinfeksi Covid-19, primadona leisure economy memudar. Tidak lagi sememukau prapandemi. Leisure economy bahkan diprediksi berada dijajaran trend yang mengalami deklinasi terinfeksi Corona. 

Kebiasaan dan gaya hidup bergeser besar-besaran. 
Kini, di tengah upaya pemulihan ekonomi, kita disergap rasa cemas. Pandemi belum melandai. Spektrumnya bahkan bertambah luas. Kasus positif melampaui angka psikologis 100.000. Jika dirata-rata sebulan terakhir, setiap menit lebih dari 1 orang terinfeksi Corona. Di Indonesia.

Covid-19 serasa menghantui. Di stasiun KRL, di terminal, di halte busway, atau di bandara, ia mengintai. Siap menerkam. Kita bak menggantung di antara was-was dan upaya untuk optimis. 

Di saat bersamaan, kebatinan ekonomi tambah mendebarkan. Pertumbuhan yang minus cukup dalam, memaksa kita berpacu menghindar dari bayang-bayang resesi. Yang rasanya sudah semakin dekat. 

Kini trisula ekonomi jadi pegangan. Membawa bangsa ini selamat meniti pemulihan. Melindungi dari resesi yang mengancam. Tanpa harus terus menerus menimbun pusara duka korban yang berjatuhan.

***Jusman Dalle adalah Direktur Eksekutif Tali Foundation dan Praktisi Ekonomi Digital


https://news.detik.com/kolom/d-5129771/trisula-pemulihan-ekonomi