Mata Air Pikiran Mengalir Membentuk Kenyataan

  • Opini Kompas | IMF dan Malapraktik Diplomasi

    Jusman Dalle | Opini Harian Kompas Pemerintah memastikan bakal memberikan bantuan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9,4 triliun. Terkait komitmen Indonesia ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, IMF diharapkan tidak hanya menggunakan pinjaman ini untuk membantu negara-negara di Eropa, tetapi juga negara-negara di Asia dan Afrika.

  • Opini Republika | Urgensi Badan Haji

    Jusman Dalle - Opini Republika | Untuk mencapai tujuan pertama yaitu manfaat transformasi manajemen, Badan Haji yang nantinya bakal berfungsi sebagai eksekutor saja, merampingkan organisasi serta secara otomatis memotong rantai birokrasi bertingkat dan kompleks yang melibatkan banyak institusi. Badan Haji juga mengakhiri rezim monopoli kewenangan sebab Kemenag tinggal memegang satu fungsi, yaitu sebagai regulator sementara Komisi VIII DPR yang membawahi persoalan haji, berfungsi sebagai evaluator.

  • Profil Jusman Dalle

    Jusman juga menekuni digital marketing. Merancang dan membuat konten digital berupa tulisan (copywriter), visual dan audio visual untuk sejumlah perusahaan dan institusi skala nasional. Antara lain Partai Gerindra, Kedutaan Besar Jerman, Taksi Ekspress, Bank BTN, PLN, XL Axiata, Agung Podomoro Land, True Money, dll.

  • Rawan Pangan Negeri Pertanian

    Jusman Dalle - Opini Koran Tempo | Program revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan sejak 2005 masih sebatas lip service. Infrastruktur irigasi rusak parah, jalanan di desa-desa basis pertanian pun belum memadai. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 9,25 juta hektare juga baru sebatas “angin surga”.

27.7.20

Opini Kontan | Momentum Great Reset Indonesia

Oleh : Jusman Dalle
Artikel ini terbit di rubrik Opini harian Kontan (27 Juli 2020)
***
Pandemi Covid-19 ditengarai bakal semakin memperparah ketimpangan. Hal itu diungkapkan oleh Angus Deaton. Peraih Nobel Ekonomi tahun 2015. Deaton bahkan mengibaratkan pandemi ini bagai Sinar-X. Mengekspos disparitas secara transparan.

Masyarakat terbelah di dua kutub berbeda. Para pemilik modal, dan mereka yang mapan secara ekonomi dapat terus bekerja dari rumah. Seperti hari-hari biasa. Stamina produktivitas tetap terjaga. Dengan dukungan teknologi panggilan video, dan fasilitas ekstensif lainnya.

 Sementara kelompok rentan yang umumnya pekerja informal, harus berjibaku dengan situasi menegangkan. Menantang maut. Bak mengundi nasib sembari diselimuti rasa was-was. Demi mempertahankan agar dapur terus mengepul.

Kritik senada diutarakan oleh Eleanor Russel dan Martin Parker. Dua ilmuwan Inggris itu secara komparatif menyandingkan pandemi Covid-19 dengan Black Death di Abad 14. Pandemi itu memicu terkosentrasinya kekayaan pada sekelompok konglomerat.

Memunculkan pengusaha-pengusaha yang punya koneksi kuat ke pemerintah. Menciptakan oligarki. Bertahta berabad-abad lamanya. Bahkan berlangsung dua ratus tahun pasca tragedi yang membunuh dua pertiga penduduk Eropa tersebut mewabah. Muncul kekhawatiran, pandemi Covid-19 merepetisi hal yang sama.

Dampak Covid-19 berpotensi membuat yang kaya bertambah makmur, dan yang miskin terperosok semakin dalam ke jurang kemelaratan. Terutama bila pemerintah tidak hati-hati dalam meramu formula kebijakan. Sejarah tujuh abad silam itu, semestinya jadi acuan merespons pandemi.



Upaya menjaga penerimaan pajak dengan menggelontorkan stimulus kepada korporasi melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional, misalnya, ditengarai berpotensi memperlebar kesenjangan pendapatan. Kebijakan itu, menciptakan peluang-peluang yang hanya bisa diraih oleh korporasi. Sehingga, Angus Deaton mewanti-wanti bahwa salah menyikapi pandemi bakal menciptakan masalah baru. Ketimpangan semakin dalam di masa depan.

 
Risiko kecendrungan melebarnya ketimpangan mesti diantisipasi. Bukan dengan menghalang-halangi stimulus yang digelotorkan ke kelompok-kelompok usaha besar seperti suntikan dana ke BUMN. Namun mengorkestrasi UMKM dan pelaku sektor riil lainnya. Terutama petani dan nelayan.

Sektor informal paling signifikan menyerap tenaga kerja. Juga paling terguncang oleh dampak pandemi Covid-19. Maka menopang sektor riil, berarti menjaga tegak kokoh pilar ekonomi bangsa.

Sudah terlihat langkah responsif dan terukur. Presiden Joko Widodo membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Upaya mengakselerasi penanganan Covid-19. Simultan dengan pemulihan ekonomi. Keduanya memang satu kesatuan yang saling memengaruhi.

Durasi pengendalian Covid-19 yang lamban membuat aktivitas ekonomi membeku. Sehingga cost yang bakal dikeluarkan semakin besar. Penerimaan negara menurun. Defisit APBN melebar. Akhirnya, utang jadi solusi menambal kekurangan tersebut.

Namun selain tujuan jangka pendek menangani Covid-19 dan memulihkan ekonomi, Komite ini juga mestinya sudah dirancang mengeksekusi visi jangka panjang pascapandemi. Terutama membangun fondasi arah Indonesia pasca Covid-19.

Kita semua percaya, bahwa dunia dipastikan bakal banyak berubah. Maka perlu dirumuskan mau kemana bangsa melangkah. Orientasi masa depan itu mesti mulai berpijak pada kebijakan dan stimulus yang digelontorkan.

Great Reset

Great Reset, atau pengaturan ulang secara masif, merupakan agenda anyar yang saat ini ditawarkan oleh sejumlah pakar. Seruan Great Reset dikumandangkan dari podium World Economic Forum. Great Reset bahkan menjadi tema utama forum tahunan WEF yang mulai didiskusikan di forum-forum daring.

Pendiri dan Ketua Ekskeutif WEF Klaus Schwab bersama Thierry Mallert bahkan meluncurkan buku “Covid-19 : The Great Reset”. Buku ini secara mendalam mengulas agenda perubahan tatanan kehidupan secara masif. Secara global, keduanya menawarkan Great Reset di lima sektor. Yaitu ekonomi, sosial, geopolitik, lingkungan dan teknologi.

Great Reset tentu saja melampaui new normal yang didengungkan pemerintah. New normal sebatas mengadopsi protokol kesehatan ke dalam berbagai aktivitas individual atau komunal. Atau improvisasi dengan pendekatan teknologi. Sedang Great Reset adalah agenda perubahan tatanan kehidupan dalam spektrum yang luas. Secara fundamental dan filosofis.

Bila dikristalisasi, lima agenda Great Reset itu terkait dua problem mendasar yang dihadapi umat manusia. Yaitu kesenjangan, dan dekadensi lingkungan. Problem kesenjangan yang terjadi, diperparah oleh tatanan geopolitik yang mengusung spirit pertarungan merebut sumber daya alam. Hal itu menimbulkkan risiko terhadap lingkungan seperti yang kita rasakan. Wabah merajalela. Silih berganti bencana melanda.

Agenda Great Reset, berupaya mengikis jarak sosial ekonomi. Juga mengubah tatanan politik dunia untuk mewujudkan kebaikan bersama. Great Reset adalah seruan mengubah sikap personal dan paradigma kolektif kekuasaan. Termasuk menyiapkan kuda-kuda menyongsong deru teknologi dan digitalisasi yang tak terbendung. Schwab dan Mallert menyebut digitalisasi sebagai micro reset. Sebab gelombang adopsi digitalisasi memang telah melanda sebelum Covid-19.

Kini percepatan adopsi teknologi dan adaptasi digital tak bisa dihindari. Mesti dilakukan secara masif dan simultan. Tuntutan akselerasi digitalisasi ini, agaknya belum pernah dibayangkan. Tampak dari tergopoh- gopohnya birokrasi merespons tuntutan adaptasi teknologi. Misalnya, terlihat dari program pembelajaran daring yang diadang jalan terjal ketimpangan infrastruktur digital.

Harus diakui, pemerintah memang selalu ketinggalan dua tiga langkah di belakang inovasi dan gemuruh teknologi. Karena itu, pandemi Covid-19 merupakan momentum melakukan lompatan. Menyejajarkan diri secara relavan.

Sementara Great Reset di bidang ekonomi berarti mengubah struktur ekonomi. Dari berbasis konsumsi menjadi ekonomi yang bertumpu pada sektor produksi, investasi dan perdagangan. Hal itu dapat dimulai dengan mendorong stimulus ekonomi membentuk tatanan yang menampilkan sektor riil, UMKM, pertanian, perikanan dan industri digital kreatif sebagai aktor utama.

Great Reset adalah kompas. Menuntun Indonesia pada tujuan fundamental. Komite Penangan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang baru dibentuk Presiden, mestinya bekerja sebagai Komite Great Reset. Agenda aksinya, bekerja membangun fondasi untuk tatanan baru Indonesia pasca Covid-19. Mengubah dampak pandemi menjadi lompatan epos bangsa. Bila tidak, pandemi hanya akan meninggalkan luka serta trauma sejarah.