Mata Air Pikiran Mengalir Membentuk Kenyataan

  • Opini Kompas | IMF dan Malapraktik Diplomasi

    Jusman Dalle | Opini Harian Kompas Pemerintah memastikan bakal memberikan bantuan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 9,4 triliun. Terkait komitmen Indonesia ini, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, IMF diharapkan tidak hanya menggunakan pinjaman ini untuk membantu negara-negara di Eropa, tetapi juga negara-negara di Asia dan Afrika.

  • Opini Republika | Urgensi Badan Haji

    Jusman Dalle - Opini Republika | Untuk mencapai tujuan pertama yaitu manfaat transformasi manajemen, Badan Haji yang nantinya bakal berfungsi sebagai eksekutor saja, merampingkan organisasi serta secara otomatis memotong rantai birokrasi bertingkat dan kompleks yang melibatkan banyak institusi. Badan Haji juga mengakhiri rezim monopoli kewenangan sebab Kemenag tinggal memegang satu fungsi, yaitu sebagai regulator sementara Komisi VIII DPR yang membawahi persoalan haji, berfungsi sebagai evaluator.

  • Profil Jusman Dalle

    Jusman juga menekuni digital marketing. Merancang dan membuat konten digital berupa tulisan (copywriter), visual dan audio visual untuk sejumlah perusahaan dan institusi skala nasional. Antara lain Partai Gerindra, Kedutaan Besar Jerman, Taksi Ekspress, Bank BTN, PLN, XL Axiata, Agung Podomoro Land, True Money, dll.

  • Rawan Pangan Negeri Pertanian

    Jusman Dalle - Opini Koran Tempo | Program revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan sejak 2005 masih sebatas lip service. Infrastruktur irigasi rusak parah, jalanan di desa-desa basis pertanian pun belum memadai. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 9,25 juta hektare juga baru sebatas “angin surga”.

26.12.19

Opini Republika | Pabrikasi Cyber Army

Pengerahan serdadu media sosial atau familiar disebut cyber army dalam kontestasi politik membuktikan bahwa cengkraman dan pengaruh digitalisasi dalam pesta demokrasi semakin kuat.Kanal-kanal digital menjadi gelanggang perang baru di jagat politik. Media sosial hingga forum-forum daring didaulat menjelma menjadi panggung citra dan opini. Untuk satu tujuan, meraih dukungan.

Terpapar digitalisasi membuat tensi politik selalu hangat. Aliran perdebatan nyaris tak pernah reda. Terutama di media sosial. Setiap kubu politik selalu punya amunisi yang dilontarkan menyerang lawan. Ini konsekuensi dari karakter media sosial yang super cepat dalam mengirim pesan.


Laporan anyar The Guardian berjudul 'I felt disgusted': inside Indonesia's fake Twitter account factories memuat pengakuan keberadaan tim cyber army Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Yang mengejutkan, mereka mendaku menggunakan identitas-identitas palsu. Senyampang, pengakuan itu membuat asumsi-asumsi tentang ‘tentara maya’ yang selama ini seolah misterius kini jadi terang benderang. Karya jurnalistik Kate Lamb yang ramai diperbincangkan itumembuka tabir di balik sengitnya pertarungan opini entitas politik di panggung media sosial.

Saat ini pun, setahun jelang pemilihan presiden dihelat, kita bisa merasakan betapa riuhnya agitasi sarat nuansa politik berseliweran di platform-platform digital. Bukan cuma di media sosial seperti Twitter, Facebook atau Instagram saja. Di platform blog dan video sharing hingga di forum-forum perbincangan online, nuansa kontestasi menuju Pilpres 2019 terasa sangat kental.
Motif Ekonomi
Bagi para serdadu siber dengan tingkat militansi dan intensitas tinggi berperang di gelanggang maya, motif ekonomi nyaris dipastikan menjadi alasan kuat mengapa mereka melakoni pekerjaan itu. Meski bukan alasan satu-satunya. Sebab ada juga yang ditrigger oleh dorongan emosional atas dasar ideologis.

Sebetulnya, aktivitas penggalangan opini dan dagang pengaruh melalui aneka varian komunikasi digital adalah bisnis yang telah lama dikenal dalam dunia public relation dan pemasaran digital. Penggalangan opini di kanal digital bahkan dilakukan perusahaan-perusahaan besar hingga institusi pemerintah dengan memanfaatkan public figure dan influencer yang eksis di media sosial.

Tahun 1984, Jay Conard Levinson melahirkan taktik guerrilla marketing. Yaitu pemasaran yang dilakukan bak perang gerilya. Dimana amunisi-amunisi pemasaran dimuntahkan di pusat-pusat keramaian yang disasar. Pada waktu itu, guerrilla marketing tentu saja belum dilakukan secara online karena belum era internet.
Barulah setelah kemunculan blog, media sosial hingga platform pesan instan, taktik guerrillamarketing diadopsi ke kanal-kanal digital. Dalam praktiknya, kita kemudian mengenal istilah buzzing di media sosial. Salah satu cara gerilya pemasaran dengan memancing perbincangan untuk menarik audiens bergabung maupun menerima pesan-pesan dari perbincangan tersebut. Esensi dari taktik pemasaran ini yaitu menyampaikan pesan-pesan positif yang menarik empati.

Fakta bahwa ada bisnis yang bergulir dan uang mengalir di balik perang cuitan di media sosial tak bisa lagi disembunyikan. Toh efektivitas platform digital dalam menyampaikan pesan-pesan politik diklaim lebih mumpuni ketimbang menggunakan cara-cara tradisional. Lebih tepat sasaran dan tentu saja lebih efisien. Karena jangkauannya yang luas tak terbatas ruang dan waktu.

Tak ayal, keberadaan serdadu siber yang juga disebut buzzer politik ini, lahir dan berkembang karena dipicu oleh pasar (demand). Maka pabrikasi cyber army tak dapat dipisahkan dari ekonomi digital. Ia muncul sebagai satu lahan bisnis baru di tengah permintaan pasar politik yang bergeser ke kanal digital. 

Perkembangan teknologi digital yang sangat pesat memang menggiurkan. Teknologi ini menggiring umat manusia ke komunitas desa global (global village). Istilah yang dipopulerkan oleh Marshall Mc Luhan di dalam buku popularnya The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1962). Di dunia datar atau desa global tanpa tembok pemisah, setiap orang yang piawai memanfaatkan (pengguna) gawai, berpeluang menjadi aktor utama.

Tengoklah daftar Most Valuable Brands yang dirilis oleh Forbes. Di posisi Top 5, bertengger perusahaan berbasis teknologi komunikasi, Apple, Google, Microsoft, Facebook dan Amazon. Posisi perusahaan-perusahaan teknologi tersebut mencerminkan tingginya kebutuhan dan ketergantungan umat manusia saat ini pada perangkat komunikasi. Perusahaan teknologi komunikasi memiliki positioning yang kuat dalam memberikan pengaruh terhadap tatanan dunia.

Demikian pula di dalam dunia politik. Banyak tokoh politik yang dibesarkan oleh media digital. Termasuk berhasil meraih tampuk kekuasaan berkat sokongan media sosial. Dua Presiden Amerika Serikat, Barack Obama dan Donald Trump adalah kisah sukses politisi di panggung dunia dalam memanfaatkan media sosial untuk menggalang dukungan.

Hanya saja, di dunia politik kita, ia melompat keluar dari kewajaran. Sebab menggunakan cara-cara yang tidak sehat. Menyerang pribadi, bertabur hoax hingga fitnah yang punya konsekuensi hukum. Bahkan rentan mengakibatkan perpecahan sosial. Disinilah akar problem mengapa buzzerpolitik kerap diasosiasikan secara negatif.

Cara-cara tak etis para buzzer politik ini mengusik kenyamanan. Kerapkali miskin konten. Lontaran umpatan dan cacian sembari menyebut nama-nama satwa lebih menonjol ketimbang pesan yang hendak disampaikan.

Padahal bila diisi konten-konten sehat nan edukatif, perang serdadu siber sejatinya memberi banyak benefit. Menjadi medium pembelajaran berdemokrasi yang inklusif. Terutama bagi generasi milenial yang juga komposisi dominan aktor demokrasi, agar tak jadi permisif. Nyatanya, perang antar buzzer politik tak ubahnya pepesan kosong.