18.10.18
Opini Republika | Semua Mengarah ke Fintech
***
Semua akan fintech pada waktunya. Pameo itu kerapdilontarkan di kalangan pelaku ekonomi digital. Pameo yangmenyindir para pemain di industri digital yang pada akhirnyatak mampu menahan godaan untuk terjun menjajal bisnisfinancial technology (fintech).
Fintech memang jadi primadona. Bahkan mengunggulidaya pikat ecommerce atau ritel online yang pada awalgelombang ekonomi digital merupakan ujung tombak industriini. Startup-startup anyar dilahirkan untuk menggarap segmenini. Tak ketinggalan, startup yang sebelumnya telah eksisturut pula mengepakkan sayap bisnisnya ke fintech.
Potensi fintech untuk berkembang memang amat besar. Ini dapat kita lihat dari masih rendahnya tingkat literasikeuangan masyarakat. Menyitir data Otoritas Jasa Keuangan(OJK), baru 31% masyarakat Indonesia yang melek keuangan.Terminologi melek atau memahami literasi keuangan di siniartinya pemahaman mendasar tentang aneka varian produkdan jasa keuangan. Termasuk juga kemampuan mengelolakeuangan berdasarkan fitur, manfaat dan risikonya.
Selain problem literasi, ternyata masyarakat Indonesia juga masih timpang dalam soal indeks iklusi keuangan.Menurut catatan Bank Dunia dalam hal tingkat kepemilikanrekening tabungan atau Financial Inclusion Index, sebanyak40% dari total penduduk Indonesia tidak memiliki rekening. Indonesia masuk tujuh besar negara di dunia yang tak punyarekening bank.
Rendahnya indeks inklusi keuangan tersebut tentuberimplikasi negatif bagi emerging market macam Indonesia.Bahkan dapat menahan laju roda ekonomi. Banyak potensiekonomi yang tersumbat karena masyarakat terkendalamengakses lembaga keuangan.
Catatan-catatan di atas merupakan tantangan sekaliguspotensi yang menjanjikan bagi pelaku industri keuangan.Maka tak heran bila para pemain ekonomi digital mengarahkan bidikan ke sektor fintech. Mengincarperuntungan di industri yang produk-produknya semakindiminati ini.
Bagi masyarakat, kehadiran fintech terasa amatmembantu. Serba praktis dan lebih mudah bila dibandingkanlayanan keuangan konvensional. Fintech memberikan banyakmanfaat. Urusan perbankan lebih praktis, aman dan efektifserta efisien.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, nasabah berurusanbank dengan tanpa harus datang ke bank. Semua selesai dalamgenggaman. Kantor ‘cabang bank’ada di aplikasi. Mengajukan pinjaman untuk kebutuhan konsumtif hinggapendanaan (modal kerja), tuntas dalam waktu lebih cepat daribiasanya. Syaratnya pun tak bertele-tele.
Pameo ‘semua akan fintech pada waktunya’ terbuktidengan keputusan startup-startup unicorn lokal dari segmenberbeda yang akhirnya tergoda ‘bermain’ di fintech. Sebutlahaplikasi ride hailing Go-Jek yang mendirikan GoPay, laluagen perjalanan online Traveloka meluncurkan TravelokaPay. Ada pula Toko Cash besutan ecommerce Tokopedia danyang paling anyar, marketplace Bukalapak meluncurkan BukaDana yang saat ini masih dikhususkan bagi para pelapakmereka.
Sebelum para unicorn tersebut melebarkan kepak bisniske fintech, sudah ada nama-nama startup yang membesutgelombang pertama fintech di Indonesia. Mengutip Financial Stability Board, fintech ada empat segmen. Pertama layananpembayaran, clearing dan settlement. Di segmen inilah para unicorn tersebut bermain. Meskipun ada juga yang mendiversifikasi produk ke segmen lain. Seperti TravelokaPay yang memberikan pinjaman kepada para traveler.
Kedua adalah segmen aggregator yang memberikanperbandingan produk keuangan kepada konsumen. Di segmenini ada CekAja, AturDuit, atau HaloMoney. Ketiga, manajemen resiko dan investasi. Bekerja laiknya konsultankeuangan virtual. Memberikan advice pilihan investasi kepadakonsumen.
Yang terakhir yaitu segmen peer to peer lending (P2P).Metode kerja P2P serupa dengan marketplace, mempertemukan debitur dan kreditur secara online. P2P adalah ujung tombak fintech, diukur dari market size dan azasfungsinya dan manfaat. Menyitir data OJK, per Juni 2018 ada64 startup di segmen yang tengah naik daun ini. Angka yang tidak sedikit.
Tantangan Perbankan
Bukan cuma startup yang melabuhkan sauh ke fintech. Tak mau ketinggalan kereta, para incumbent dari industrikeuangan juga terjun ke bisnis ini. Nama-nama besar dariperbankan seperti bank Mandiri, BCA, BRI dan BNI juga menyisihkan belanja modal hingga triliunan rupiah untukmengembangkan fintech.
Bank-bank papan atas tersebut memasuki fintech baikdengan cara investasi langsung mendirikan startup, maupunmenyiapkan pendanaan kepada startup yang telah ada. Strategi menjajaki fintech juga untuk menunjangsustainabilitas industri perbankan yang padat modal.
Pasalnya, visi ekspansi ke fintech sejalan dengandigitalisasi perusahaan sebagai bentuk transofrmasimerespons era disrupsi. Setelah tersentuh dengan digitalisasidan adopsi teknologi, perbankan menikmati angka efisiensi. Maka dengan memasuki fintech, transformasi kearahdigitalisasi tersebut berjalan kolaboratif. Digitalisasimenghantar pada pencapaian efisiensi, sementara fintechuntuk mengatrol pendapatan.
Apalagi pada tahun 2025, diperkirakan hampir setengahpendapatan bank dari consumer banking akan termakan olehtekfin. Selain consumer banking, bisnis bank yang juga terancam punah adalah produk-produknya yang menyasarUKM. Seperti pembiayaan yang kini semakin marak di fintech.
Sebagai ilutrasi, nasabah bank saat ini lebih memilihmelakukan aktivitas banking menggunakan kanal-kanaldigital. BCA mengklaim 97% nasabahnya melakukantransaksi secara digital. Demikian pula bank Mandiri yang mengaku sebanyak 95% nasabahnya telah terkoneksi denganlayanan transaksi digital.
Perkiraan efisiensi industri perbankan dari implementasidigitalisasi mencapai mencapai angka 20%. Ini merujuk padakian praktisnya operasional perbankan. Efisiensi dituai daripemangkasan biaya pada saat penarikan, proses menabung, pembukaan dan pengelolaan rekening nasabah.
Bila tidak berlari mengejar kereta yang telah melaju, perbankan terancam babak belur. Fintech bakal kian dominan. Saat ini, bahkan semakin ekspansif merambah ke pasar yang sebelumnya sulit terjamah oleh perbankan.
Berhadapan dengan startup yang lebih ramping danlincah (agile) tentu tidak mudah bagi industri perbankan yang sistem dan birokrasinya berlapis. Bank-bank besar sekalipun, hanya akan mampu mengimbangi GoJek dan kawan-kawanbila mereka memplot startup khusus untuk misi itu. Siap atautidak, bank pada akhirnya ‘terpaksa’ menjadi bagian darifintech. Tak cukup dengan sekadar digitalisasi.
Agresifitas fintech bukan sebatas merambah ke pasarpotensial. Bahkan harus diakui bila sebagian pasar industriperbankan perlahan diambil alih oleh startup fintech. Layanandan produk-produk perbankan berhasil diadaptasi ke dalamsatu aplikasi yang memberikan benefit lebih kepadakonsumen. Mulai dari metode pembayaran, dompet digital hingga urusan pinjam meminjam.
Ringkasnya, sumber utama pendapatan industriperbankan saat ini telah diakuisisi oleh fintech startup.Jantung industri perbankan perlahan ‘digerogoti’ oleh fintech. Dengan segala anasir yang telah dipaparkan di atas, kita bisamemastikan masa depan industri keuangan bakal beralih kepangkuan fintech.