24.5.13
Pledoi Ekonomi Century
Oleh : Jusman Dalle [1]
***
Kasus Bank Century yang telah diselamatkan
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan dana akhir Rp 6,762 triliun masih
menyisakan kontroversi. Hingga saat ini, babakan Century belum usai. Keputusan Bank Indonesia (BI) yang kala itu di bawah
kepemimpinan Boediono yang menetapkan Bank CENTURY sebagai bank gagal berdampak
sistemik sehingga diputuskan mendapat dibailout, sampai saat ini masih
menyimpan tanya di nurani publik.
Pasalnya, penetapan status bank gagal berdampak sistemik
dapat dikeluarkan apabila bank tersebut memenuhi sejumlah kategori. Diantanya
berukuran besar dan memiliki kaitan dengan bank lainnya. Namun jika melihat
positioning CENTURY dalam portofolio perbankan nasional, secara akademis dan empiris
sulit rasanya menerima bahwa CENTURY memiliki pengaruh besar dalam kancah
perekonomian, khususnya resistensi yang
ditimbulkan terhadap lanskap dunia perbankan.
Menurut data dari BI, CENTURY hanya menempati porsi sekitar
0,4% dalam transaksi keuangan antar bank
atau Pasar Uang Antar Bank (PUAB). CENTURY juga tidak termasuk dalam salah satu
dari 15 bank terbesar yang menguasai sekitar 80% aset perbankan nasional. Artinya,
jikapun CENTURY mengalami default kala itu, pengaruhnya tidak akan signifikan.
Sebab jumlah nasabahnya tak terlampau besar. Bahkan, diketahui, nasabah CENTURY
hanya nasabah khusus saja. Yaitu para konglomerat dari etnis tertentu.
Azis
Setiawan dalam menjelaskan argumentasi bahwa CENTURY tidak sistemik salah
satunya mengutip pendapat Iman Sugema yang menyatakan bahwa pada waktu itu
(Oktober 2008), total aset CENTURY adalah sekitar Rp 15 triliun, tak lebih dari
0,75 persen dari total aset perbankan nasional. Jumlah nasabah yang 65 ribu
orang hanya sekitar 0,1 persen dari total nasabah perbankan. Begitupun total
dana pihak ketiga yang terkumpul sekitar Rp 10 triliun atau tak sampai satu persen
dari total simpanan masyarakat yang tertampung di semua bank.
Mantan Gubernur Senior Bank Indonesia, Anwar Nasution berpendapat bahwa
bilamana kala itu penyelamatan CENTURY dilakukan dengan pertimbangan kegagalan
operasionalnya berdampak sistemik, hal itu merupakan kesalahan indikator. Bila
mengukur dari pendekatan PUAB dan pasar devisa yang digunakan untuk menilai
posisi bank, kegagalan Century tidak akan berdampak sistemik. Masalah Bank Century merupakan kasus yang berkaitan
dengan case management dan akibat krisis global.
Menarik fakta
yang disampaikan oleh Anwar Nasution bahwa jika melihat track record sejak Bank
Century beroperasi Februari 2005, semestinya bank itu tidak usah diselamatkan.
Tercatat, beberapa pelanggaran dilakukan. Diantaranya, pencurian uang senilai
12 juta USD oleh Dewi Tantular yang merupakan saudara pemilik Bank CENTURY,
Robert Tantular.
Dari data di atas, bisa disimpulkan bahwa CENTURY
merupakan bank yang relatif kecil. Dan, kalangan akademisi di negara mana pun
tak akan menilai bahwa bank tersebut dapat menimbulkan risiko
sistemis. Biasanya, hanya bank-bank yang masuk kategori 10 besar yang
dianggap too big to fail.
Selain itu penjaminan simpanan telah mencakup
nilai maksimum sebesar Rp 2 miliar sehingga praktis mayoritas nasabah
sebenarnya sudah terlindungi oleh LPS. Memang CENTURY memiliki kerentanan
terhadap paniknya nasabah besar yang tidak dijamin oleh LPS. Bahkan, ada satu
nasabah yang simpanannya berada di atas Rp 2 triliun. Bila nasabah seperti ini
panik, bank langsung mengalami kesulitan likuiditas.
Pemerintah pada saat itu sangat
mengkhawatirkan kesulitan yang sama akan merembet ke bank-bank, yang satu kelas
dengan CENTURY dan jumlahnya ada sekitar 18 bank. Kekhawatiran seperti itu bisa
jadi benar, tapi juga bisa salah sebab sekali lagi, PUAB CENTURY tak lebih dari
0,4%.
CENTURY juga pada saat itu tidak menimbulkan
risiko kebangkrutan serial karena kewajiban antarbanknya hanya sekitar Rp 750
miliar. Artinya, bank ini tidak memiliki potensi untuk menimbulkan kolapsnya
sistem pembayaran. Lagipula, bank ini memiliki jumlah cabang yang relatif tidak
masif, seperti bank-bank besar sekelas Mandiri atau BRI. Efeknya terhadap
kelancaran transaksi masyarakat relatif minimum.
Dari indikator-indikator teknis di atas,
hampir tak ada alasan untuk memperlakukan CENTURY sebagai bank yang memiliki
risiko sistemis sehingga perlu diselamatkan. Alasan penyelamatan bank ini jelas
bukan karena too big to fail.
Mungkin alasan sebenarnya adalah too important to fail. Dengan
kata lain, bank ini bagi sebagian pihak terlalu penting untuk dibiarkan kolaps.
Pertanyaannya untuk kepentingan siapa bank ini diselamatkan. Mungkin untuk
kepentingan para deposan kakap yang uangnya tertanam sampai triliunan rupiah.
Mereka merupakan kelompok kecil yang bisa dihitung dengan jari, tapi memiliki
koneksi yang kuat terhadap kekuatan politik.
Kalau sinyalemen di atas benar, keputusan
yang melatarbelakangi penyelamatan bank tersebut tidak sepenuhnya didasarkan
pada pertimbangan profesional. Rakyat berhak melakukan Pledoi untuk menangkis
apologi ekonomi yang menjadi argumentasi para pengambil kebijakan kala itu.
Yang nampak justru ada kepentingan pemodal besar yang dilindungi oleh KSSK. Lalu
siapa mereka? Ini yang harus dikejar ke ranah hukum!
[1]
Jusman Dalle adalah Analis Ekonomi dan Penulis Kolom Ekonomi di Kompas, Jawa
Pos, Tempo, dll, Alumni KIEI FSI FE Universita Indonesia 2012