Oleh : Jusman Dalle
(Opini Suara Karya - 4 April 2013)
***
Seolah terpengaruh karut marut persoalan politik dan hukum di negeri ini, sektor ekonomi juga sedikit meredup. Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami tekanan pada 2013 dan berada pada kisaran 6,2 persen atau diperkirakan meleset dari target pemerintah (6,8 persen). Target penerimaan pajak pun meleset dan turut berkontribusi dalam perlambatan ekonomi. Padahal, pajak adalah sumber utama pendapatan negara sebagaimana termaktub dalam APBN. Tahun ini pemerintah menargetkan penerimaan dari sektor pajak sebesar Rp 1.192.9 atau 78,01 persen dari keseluruhan target pendapatan negara.
Jika tidak ingin terjebak oleh utang yang kian menggunung sebagai jalan terakhir menutup defisit APBN, optimalisasi penerimaan pajak harus dilakukan. Sebaliknya, bila defisit APBN kian membengkak, tak ada pilihan lain kecuali menambah utang untuk menambal APBN. Tapi, dengan berbagai gejolak internal dan eksternal, naga-naganya, pemerintah bakal kedodoran mengelola APBN jika tanpa utang tambahan. Defisit anggaran pada 2013 yang ditetapkan 153,3 triliun rupiah atau 1,65 persen dari PDB bisa jadi melebar.
Tahun ini pemerintah menargetkan utang baru melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) sebesar 172,8 triliun rupiah dan pembiayaan luar negeri negatif 19,5 triliun rupiah. Total utang outstanding pemerintah Indonesia sampai Januari 2013 naik Rp 4,33 triliun menjadi Rp 1,979 triliun. Utang Indonesia meningkat lebih dari 40 persen dalam enam tahun terakhir ini.
Setiap bangsa yang berutang pasti akan menghadapi masalah, hal ini ditegaskan oleh Thomas Sargent (2011). Ungkapan peraih nobel ekonomi saat berkunjung ke Indonesia itu memang terbukti. Utang telah menceburkan Indonesia ke dalam kubangan masalah. Tak hanya beban moral dan hilang kedaulatan karena harus mengikuti resep penyembuhan dari si pendonor yang biasanya berupa kompensasi. Saban tahun, APBN juga tersedot untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang.
APBN seharusnya berorientasi pada kesejahteraan rakyat, namun karena beban tagihan pokok dan bunga utang hingga 15 persen, kepentingan rakyat terabaikan. Seperti termaktub dalam APBN 2013 yang telah disahkan oleh DPR, cicilan bunga dan pokok utang diperkirakan mencapai Rp 171,7 triliun, atau 15 persen terhadap belanja pemerintah pusat.Rinciannya untuk pembayaran bunga Rp 113,24 triliun dan pokok utang luar negeri sebesar Rp 58,4 triliun. Lebih besar untuk membayar bunga ketimbang pokok utang. Bahkan, jika pemerintah berhenti menambah utang mulai tahun ini, kita masih butuh waktu sekitar 40 tahun untuk melunasi semua utang. Utang telah menyedot kedaulatan APBN.
Ironisnya, walaupun APBN terbebani utang namun masih inefisiensi dalam alokasi anggaran. Belanja pegawai, misalnya, dengan pelayanan lamban dan masih jauh dari kata memuaskan ekspektasi publik, dalam APBN 2013 justru memperoleh kenaikan anggaran dua kali lipat menjadi RP 28 triliun. Pembengkakan belanja pegawai disebabkan oleh skema pensiun PNS yang menjadi tanggungan negara sejak 2009, bahkan jumlahnya mencapai Rp 74 triliun atau mencapai 35 persen belanja pegawai, ditambah tambahan remunerasi yang diterapkan pada seluruh K/L di tahun 2013 serta lembaga non struktural yang semakin menjamur.
Demikian pula kebijakan subsidi energi yang hari-hari ini membuat pemerintah galau, ternyata juga salah sasaran. Subsidi BBM, misalnya, lebih kental unsur populis-politis menyedot APBN hingga Rp 193,8 triliun. Padahal, menurut PT Pertamina Persero, 74 persen subsidi energi, khsususnya BBM salah sasaran. Inefisiensi anggaran juga terjadi karena lambannya penyerapan. Mengaca pada data tahun anggaran 2012, hingga sebulan sebelum pergantian tahun, APBN baru terserap 70,8 persen. Seperti yang sudah-sudah, realisasi penyerapan biasanya terkesan dipaksakan dengan membuat proyek-proyek sistem kebut semalam dan bahkan rawan korupsi melalui proyek-proyek fiktif.
Bila hal-hal seperti ini bisa dihilangkan, tentu saja oleh seorang strong leader, maka tak perlulah kita berutang. Tak harus kita menunda-nunda proyek pembangunan dengan alasan keterbatasan APBN. Sebab, pada kenyataannya memang banyak anggaran yang menganggur, tidak tepat sasaran dan lebih mengedepankan popularitas.
Anggaran negara sangat besar dan terus meningkat dari tahun ke tahun, misalnya, tahun 2013 mencapai Rp 1.683 triliun, dialokasikan hanya untuk pos-pos yang bisa mengungkit popularitas pemerintah nir kekuatan stimulan ekonomi. Padahal, sejatinya APBN adalah stimulan fiskal untuk menggerakkan sektor-sektor ekonomi rakyat. Fungsionalisasi sebagaimana spirit konstitusi hanya bisa tercapai bila sejak awal APBN didisain tidak defisit demi menghindari jebakan utang.
Proyek-proyek negara yang dibangun dengan utang tak ubahnya perangkap gali lubang tutup lubang. Konsekuensinya, perlahan-lahan sumber daya dalam negeri dikeruk sebagai bagian dari konsesi utang tersebut. Inilah satu asal muasal petaka yang disebut mantan Wakil Ketua Senior Ekonom Kepala Bank Dunia Joseph E Stiglitz (2006) sebagai "Kutukan Sumber Daya Alam". Padahal, anggaran semestinya diprioritaskan untuk mendorong sektor-sektor hajat hidup rakyat banyak. ***
***Penulis adalah analis di Society Reseacrh and Humanity
Development (Serum) Institute, Tenaga Ahli Anggota DPR RI.