27.3.13
Terjebak Dilema BBM Subsidi
Seperti yang sudah-sudah, wacana menaikkan harga BBM kerap kali menimbulkan gejolak politik luar biasa. Sehingga wajar jika pemerintah gusar menghadapi realitas melambungnya konsumsi BBM subsidi yang akhir-akhir ini mendapat sorotan tajam dari sejumlah kalangan karena membebani APBN dan rentan menimbulkan dampak komplikasi pada makro ekonomi.
Walaupun bisa menaikkan harga BBM sesukanya dan kapan saja karena kebijakan tersebut telah diundangkan di dalam UU APBN 2013 sehingga tak lagi harus melalui persetujuan dari DPR, namun ternyata pemerintah tak jua berani memanfaatkan kesempatan dan mengambil keputusan menaikkan harga BBM.
Pemerintah terjebak dilema. Dilema menaikkan harga BBM tidak lepas dari momentum pemilu dan pilpres yang setahun menjelang. Isu kenaikan harga BBM sangat sensitif dan mudah digiring dan digoreng sebagai isu politik menarik karena menyangkut hajat hidup rakyat banyak yang dalam waktu singkat bisa berubah hujat pada pemerintah. Ini tentu saja resiko besar di tengah runtuhnya kredibilitas, distrust serta gelombang demoralisasi yang melanda Partai Demokrat. Sebagai pengusung pemerintah di bawah megalomania sosok Presiden SBY, pastik akan berdampak pada Partai Demokrat. Opsi menaikkan harga BBM bak buah simalakama. Ironis.
Jika pemerintah keukeh dengan kalkulasi politik tersebut dan enggan menaikkan harga BBM, resikonya akan menyerang denyut nadi pembangunan kita. APBN terancam jebol. Realisasi kuota volume BBM bersubsidi 2013 menurut perkiraan Bank Indonesia (BI) bakal membengkak hingga mencapai 50 juta kiloliter. Sesuai APBN 2013, subsidi BBM ditetapkan Rp193,8 triliun dengan asumsi volume 46 juta kiloliter, harga minyak mentah Indonesia 100 dolar AS per barel, dan kurs Rp9.300 per dolar AS. Kenyataannya, saat ini kurs rupiah sudah menyentuh Rp 9. 600 hingga Rp 9.701 per dolar AS.
Saat ini, konsumsi BBM dalam negeri mencapai 1,3 juta perbarel perhari (bph) sementara lifting minyak kita hanya 830 ribu bph. Karena lonjakan konsumsi BBM bersubsidi, sekitar 470 ribu barel perhari diantaranya merupakan impor sehingga pembengkakan subsidi ini rentan menimbulkan komplikasi ekonomi di tengah volatilitas harga minyak dunia.
Impor BBM dipastikan membebani neraca perdagangan, menyedot devisa, menekan nilai tukar rupiah serta memantik inflasi. Jika ini terjadi berlarut-larut maka bakal membuat ekonomi seret. Makro ekonomi bakal jeblok. Gejala komplikasi ekonomi tersebut terlihat dari realisasi belanja subsidi BBM pada dua bulan pertama tahun 2013. Sepanjang Januari-Februari, belanja subsidi BBM sudah menyedot anggaran sekitar Rp, 37,8 triliun.
Konsumsi BBM bersubsidi diperkirakan sebesar Rp.800 miliar sampai Rp. 900 miliar per hari. Ironisnya, selama dua bulan ini, tak kurang dari Rp. 28 triliun atau 74% APBN menguap percuma sebab BBM bersubsidi salah sasaran, justru dikonsumsi oleh kendaraan pribadi atau kalangan masyarakat mampu.
Selama ini, beberapa solusi yang sifatnya jangka panjang diantaranya diversifikasi penggunaan energi dari minyak dan gas ke energi alternatif seperti geotermal dan biofuel dengan harga lebih murah hanya sebatas wacana. Solusi paling bijak menghadapi keterdesakan saat ini, hemat penulis adalah menaikkan harga BBM lalu merealokasi subsidi pada upaya penguatan kemandirian ekonomi personal.
Subsidi menukik untuk kegiatan ekonomi ril, seperti bantuan modal usaha, beasiswa, subsidi kesehatan dan skim subsidi yang sifatnya memacu produktivitas.
Subsidi model ini akan lebih efektif dan tepat sasaran dalam memperkuat akses ekonomi serta daya beli masyarakat secara individu lalu diikuti oleh naiknya standar ekonomi. Dengan demikian, berapapaun harga BBM dan berbagai kebutuhan lainnya tetap bisa terjangkau.
Kemungkinan daya beli masyarakat terpukul karena dampak kenaikan BBM tentu saja bisa terjadi. Setiap kenaikan 10% diperkirakan menyebabkan inflasi sebesar 0,6%. Namun, hal itu, menurut prediksi penulis tak akan berlangsung lama. Sebab, saat ini konsumen Indonesia termasuk memiliki tingkat optimisme yang terbaik di dunia. Artinya, purchasing power masyarakat masih bisa menoleransi implikasi kenaikan harga BBM pada harga kebutuhan sehari-hari.
Dalam konteks Indonesia, model subsidi yang langsung membantu pada subjek kongkrit, senafas dengan spirit konstitusi kita. Yaitu mewujudkan keadilan sosial, mengembalikan APBN pada track yang sebenarnya sebab masyarakat distimulus untuk lebih produktif sebagaimana menjadi anutan negara demokrasi modern. APBN kembali ke jalan yang benar sebagai instrumen fiskal dan stimulan ekonomi. Bukan untuk komoditas politik berbungkus program populis atas nama “subsidi” namun ternyata menyimpan bom waktu.
Persoalannya sekarang berpulang pada keberanian pemerintah. Siap mengambil resiko kebijakan tidak populis, merealokasi subsidi. Atau memilih berlarut-larut membiarkan persoalan BBM bersubsidi menyedot APBN dan benar-benar menimbulkan komplikasi pada sektor ekonomi, sosial hingga pada akhirnya nanti meminta harga politik yang bisa saja lebih dahsyat dari apa yang menghantui imajinasi pemerintah saat ini.
RALAT : Pada versi cetak paragraf kedua tertulis "Walaupun bisa menaikkan harga BBM sesukanya dan kapan saja karena kebijakan tersebut tidak diundangkan di dalam UU APBN 2013 sehingga tak harus melalui persetujuan dari DPR,"
SEHARUSNYA : "Walaupun bisa menaikkan harga BBM sesukanya dan kapan saja karena kebijakan tersebut TELAH diundangkan di dalam UU APBN 2013 sehingga tak harus melalui persetujuan dari DPR"