12.12.12
Industri Perbankan dan Kedaulatan Bangsa
Oleh : Jusman
Dalle
***
Baru-baru ini
salah satu koran ibu kota menerbitkan berita tentang laba perbankan nasional.
Mirisnya, dua dari tiga bank dengan laba tertinggi ternyata bank asing. Ini
salah satu penanda bila perekonomian Indonesia yang kerap dibangga-banggakan
dan mendapat sanjungan, memang salah arah, khususnya di sektor perbankan. Salah
arah sebab perekonomian dinikmati oleh asing.
Keberpihakan Pemerintah
Bila melihat belied
yang diterbitkan Bank Sentral (BI) pada Agustus lalu, belum ada sikap tegas
berpihak pada kedaulatan perbankan di tanah air. Di dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor
14/8/PBI/2012 tentang Kepemilikan Saham Bank Umum, disebutkan, bank-bank yang
tingkat kesehatan bank (TKS) atau good corporate governance (GCG)-nya
rendah per Desember 2013, pemilik saham wajib melepas sahamnya ke investor
lain. Itu berarti masih terbuka peluang bagi investor asing untuk semakin
menguatkan hegemoni kepemilikan bank di tanah air.
Belied itu bertentangan
dengan spirit Kementrian BUMN yang belakangan berupaya memperkuat eksistensi
dan kapasitas bank-bank lokal, khususnya bank BUMN. Bank Mandiri dan Bank BNI
misalnya, dua bank milik negara yang sudah membentangkan sayap ke beberapa
negara seperti Malaysia, Cina dan Singapura. Dengan membuka cabang di luar
negeri, berarti bank-bank tersebut harus mengukuti standarisasi internasional,
paling tidak standar di negara tujuan ekspansi yang berarti kapasitas modal dan
SDM harus kompetitif.
>
Di dalam negeri,
penguasaan asing terhadap industri perbankan nasional telah sangat dominan. Setiap
tahun, ada saja bank lokal yang diakuisisi oleh investor asing. Akibatnya, aset
bank lokal kian susut. Tercatat, 34
persen aset perbankan nasional kini telah dikuasai asing Padahal, tahun 1998
sampai 2004, pangsa aset bank milik asing hanya 16 persen. Sementara pangsa
aset bank lokal turun dari 89 persen pada tahun 1998 menjadi 66 persen pada
tahun 2011. Dari 121 bank umum di Indonesia, jumlah bank yang dikuasai investor
asing mencapai 47 bank.
Sebagai catatan,
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 yang melegitimasi kepemilikan 99
persen saham suatu bank oleh investor asing merupakan kran yang mengawali arus
liberalisasi perbankan nasional sejak krisis ekonomi melanda Indonesia. Kala
itu alasannya menyelamatkan ekonomi nasional. Maka irasional jika peraturan
serupa masih diberlakukan saat kondisi perekonomian sudah lebih baik, bahkan
mendapat sanjungan dari berbagai pihak.
Masa depan ekonomi
regional dan global mengindikasikan jika peran dunia perbankan akan semakin
urgen. Pertama, menyambut interkoneksi regional dalam traktat Masyarakat
Ekonomi ASEAN (AEC) yang akan berlaku bersamaan dengan integrasi ASEAN pada
tahun 2015 mendatang. Ketika aktifitas ekonomi negara-negara di Asia Tenggara
terkoneksi, maka arus mobilitas uang semakin besar yang berarti akan
bersentuhan dengan perbankan.
Namun dalam pada
itu, bank nasional menghadapi pasar yang kompetitif karena harus bersaing
dengan bank-bank besar utamanya dari Singapura dan Malaysia, dua negara yang memiliki industri perbankan
terbaik di ASEAN. AEC sudah di depan mata dan tinggal hitungan masa, jika bank
lokal belum siap, maka selamanya kedaulatan industri perbankan hanya ilusi.
Menurut Menteri
Negara BUMN, Dahlan Iskan, saat ini 51 persen aktivitas ekonomi ASEAN ada di
Indonesia. Perbankan di Indonesia semestinya penen untung dengan berlakunya AEC
karena berarti Indonesia menjadi pusat arus ekonomi ASEAN. Maka langkah tepat
jika kapasitas bank-bank BUMN terus diperkuat baik dari segi modal maupun
sumber daya manusia. Lalu bagaimana dengan bank-bank swasta lokal? ini yang
masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah.
Kedua, potensi
kepemilikan rekening masyarakat Indonesia masih sangat besar dan belum tergarap
optimal. Hanya 19,6 persen dari 239,9 juta penduduk Indonesia yang berumur di
atas 15 tahun (bisa membuka rekening bank) yang memiliki rekening bank.
Dibanding dengan kepemilikan rekening masyarakat negara anggota ASEAN lain yang
cukup tinggi, seperti Malaysia (66,2 persen), Thailand (72,7 persen), Filipina
(98,2 persen) dan Singapura (98 persen).
Ditambah lagi
dengan pasar prospektif dari lapis kelas menengah yang mencapai 7-9 juta orang
pertahun. Saat ini, jumlah kelas menengah kita menembus angka 134 juta orang
atau 55,83 persen dari 240 juta penduduk. Jika sektor ini digarap secara
optimal, maka dana pihak ketiga (DPK) semakin memperkuat posisi bank-bank
lokal.
Pertumbuhan
ekonomi rata-rata di atas 6 persen pertahun hingga beberapa tahun kedepan
sebagaimana ditargetkan pemerintah, dipastikan turut mendorong membaiknya
kesejahteraan masyarakat. Masyarakat sejahtera tentu akan menyisihkan dana
untuk investasi dalam bentuk deposito dan bentuk lain serta saving (tabungan)
di bank.
Ketiga, makin
gencarnya modal asing yang masuk ke Indonesia setelah predikat layak investasi
dari berbagai lembaga pemeringkat global, maupun karena suramnya ekonomi Eropa
dan Amerika akibat amuk badai krisis. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bahkan
mencatat investasi membukukan rekor baru. Sampai dengan kuartal ke III
tahun 2012, realisasi investasi di Indonesia telah mencapai Rp229,9 triliun.
Terbesar sepanjang sejarah.
Optimalkan
Investasi berarti
akan bersentuhan dengan sektor perbankan. Injeksi modal asing dalam jumlah
besar, harusnya dioptimalkan oleh bank-bank lokal. Namun jika layanan bank
lokal tidak kompetitif, dengan mudah investor mengambil keputusan untuk beralih
pada bank asing.
Bank asing telah
terlanjur hadir dalam perekonomian nasional. Kehadiran bank asing mesti
diotpimalkan bagi industri perbankan nasional. Selain menjadi ‘juru selamat’
bagi bank kecil atau bank sakit yang justru menjadi tanggungan pemerintah, bank
asing juga bisa menjadi komparasi baik dari sisi produk, kualitas SDM maupun
manajemen. Bank asing menjadi benchmark dalam memajukan perbankan
nasional.
Kehadiran mereka
akan lebih baik bila diikuti aturan menggulirkan modal kerja dari sekian persen
kucuran kreditnya untuk memacu sektor ril. Ini sangat positif mendorong
kualitas pertumbuhan ekonomi nasional. Para pengusaha juga bakal memiliki
banyak referensi dalam menjalankan bisnis.
Oleh karena itu, keberadaan
bank asing harus menjadi lecut. Bank-bank lokal segera berbenah agar tidak
tandas. Menjadi pemain di rumah sendiri. Mengingat kembali tamsil tokoh
revolusioner Cina, Deng Xiaoping (1904-1997), bahwa kedaulatan atas sektor perbankan
adalah indikator berdaulat penuh atau tidaknya suatu bangsa.
Jusman
Dalle adalah Analis Ekonomi Society Reseacrh and Humanity Development (SERUM)
Institute dan Tenaga Ahli DPR RI