6.11.12
Mewaspadai Transimis Krisis Ekonomi Global (2)
Opini Koran Banjarmasin Post edisi 28 Oktober 2012
Perdagangan internasional telah membantu perkembangan ekonomi negara-negara
di Asia, utamanya negara dengan perekonomian berbasis ekspor. Globalisasi meruntuhkan
benteng isolasi negara-negara berkembang sehingga dengan mudah membuka akses
untuk tumbuh lebih cepat. Namun demikian, globalisasi juga memiliki energi
negatif yang bisa dilepaskan tiba-tiba dan menjadi mimpi buruk bila tidak
diantisipasi secara dini.
Demikian tulis peraih nobel ekonomi, Joseph E. Stiglitz di dalam bukunya Globalization and Its Discontens (2002). Peringatan
Stiglits tentang transmisi dinamika ekonomi melalui globalisasi nampak telah
terjadi di kawasan Asia. Beberapa negara emerging market yang perekonomiannya
bertumpu pada sektor perdagangan luar negri, terpukul seiring tak kunjung
redanya krisis ekonomi global yang
bermula di Amerika Serikat (2008) dan juga terjadi di Eropa (2011).
Dari dua sentral ekonomi dunia itu, dampak krisis bergerak
ke berbagai belahan bumi, termasuk ke Asia. Ini dikonfirmasi oleh hasil studi
terbaru Asian Development Bank (ADB) yang mengoreksi proyeksi pertumbuhan
ekonomi Asia tahun 2012 dari 6,9% menjadi 6,1%. Dalam laporan bertajuk Asia
Economic Outlook Update 2012, ADB mengungkapkan melambannya pertumbuhan dua
lokomotif ekonomi Asia (Cina dan India). Cina diproyeksikan terkoreksi 0,8%
menjadi 7,7% dan India turun 1,4% menjadi 5,6%.
Guncangan ekonomi Cina dan India yang merupakan
derivasi krisis utang Eropa dan curamnya tebing finansial di AS, sedari awal
kurang diantisipasi secara cermat dan cepat oleh dua negara emerging market
yang pertumbuhan ekonominya ditopang oleh ekspor itu. Kontribusi sektor ekpor
terhadap PDB Cina mencapai 70% dengan tujuan ekspor tebesar ke Uni Eropa disusul
ke AS. Seperti dikutip dari www.tradingeconomics.com, Perdagangan luar negeri
Cina ke Uni Eropa dalam periode Januari-Agustus jatuh 1,9% year on year
ke angka 365,05 miliar dolar AS.
Kita bernafas lega karena Indonesia masih menjadi
primadona di antara negara-negara Asia lainnya. Berbagai pujian menghampiri
Indonesia karena tetap tumbuh mengesankan. Dengan predikat sebagai runner
up pertumbuhan ekonomi global di belakang Cina, pertumbuhan ekonomi Indonesia
tahun 2012 diproyeksikan hanya menurun tipis 0,1% dari 6,4% menjadi 6,3%.
Namun demikian, perisai kewaspadaan mesti terus dipasang.
Sejumlah pengamat memperkirakan jika dunia akan memasuki guncangan jilid tiga
dari krisis global dalam lima tahun terakhir. Ini implikasi hard landing
Cina yang banyak menyerap komoditas internasional untuk kebutuhan manufaktur
Negeri Tirai Bambu, sehingga dipastikan memengaruhi negara mitra dagangnya.
Misalnya saja, Australia yang disebut oleh Bloomberg Businessweek mengalami
kebekuan, akibat ekspor biji besi dan batu bara Negeri Kangguru itu ke Cina
menurun sangat drastis.
Tingkatkan Kewaspadaan
Pada titik inilah relevansi pesan John Micklethwait
dan Aldrian Wooldridge di dalam bukunya A Future Perfect (2000) yang
mengupas tantangan dan harapan di balik globalisasi. Dua ekonomi ini menulis,
bahwa globalisasi sebagai main frame agenda liberalisasi mengarahkan
negara-negara untuk tumbuh menjadi kuat. Logika liberatif ini menandaskan bila
setiap entitas global baik non state actors maupun state actor,
harus dalam posisi waspada krisis agar tak mudah terseret oleh arus anomali
yang mungkin terjadi tanpa terduga.
Menurunnya kinerja ekspor yang sempat membuat neraca
perdagangan Indonesia defisit pada bulan Agustus lalu, adalah sinyalemen bila
krisis juga telah merayap ke Indonesia. Sehingga harus ada langkah antisipasi second
round effect krisis global agar gairah pertumbuhan tetap stabil. Untuk itu,
ada beberapa langkah antisipasi yang bisa dilakukan.
Pertama, menjaga konsumsi domestik. Modalitas
Indonesia melampauai dua gelombang krisis, tahun 2008 dan 2011, karena besarnya
konsumsi domestik yang didorong oleh kelompok kelas menengah. Mereka adalah motor
perekonomian sesungguhnya yang diidentifikais oleh majalah bergengsi terbitan
AS, Foreign Policy sebagai masyarakat dengan tingkat confidence tinggi
dan penyelamat ekonomi Indonesia.
Dengan daya beli tinggi dari kelompok kelas menengah
yang berjumlah 134 juta jiwa menurut Bank Dunia, mesin perekonomian Indonesia
terus bekerja. Ini tentu saja mensyaratkan instrumen-instrumen mikro yang terjaga.
Survei Nielsen Media Research yang dilansir pada Mei 2012, menandaskan bila indeks
optimisme konsumen Indonesia menduduki peringkat terbaik kedua di dunia.
Rencana penaikan TDL
sebesar 15% untuk kapasitas 1.300 VA ke atas pada tahun 2013 yang
ototmatis juga berdampak pada industri, harus disiasati agar tidak mengerek
harga barang-barang kebutuhan konsumsi masyarakat. Sebab kenaikan TDL rentan menyebabkan
kepanikan konsumen. Apa lagi bila ditunggangi oleh kepentingan politik yang
menjadi variabel “tak terduga” dalam stabilitas perekonomian nasional.
Kedua, mendorong industrialisasi. Komoditas yang
sebagian besar menjadi andalan ekspor, seperti sawit, karet, kayu, rotan
merupakan bahan mentah atau setengah jadi tanpa nilai tambah sehingga berdaya
saing lemah. Oleh karena itu, perlu dibuat regulasi yang memproteksi pasar
domestik (tanpa mengisolasi Indonesia dari perannya sebagai entitas global).
Mulai dari pembatasan ekspor bahan mentah, memberikan kompensasi bagi industri
dalam negeri serta pembatasan impor.
Industrialisasi juga menjawab suplai kebutuhan dalam
negeri yang tidak mampu bersaing dengan impor sehingga volume impor semakin
besar untuk memenuhi permintaan pasar.
Pemerintah juga harus menyiapkan penyokong industri seperti
infrastruktur, suplai energi dan aksesabilitas teknologi. Untuk jangka panjang,
industrialisasi akan sangat menentukan kedaulatan ekonomi nasional.
Ketiga, memperkuat sektor kewirausahaan. Ada satu
artikel menarik yang diterbitkan Market Watch. Media yang berafiliasi dengan The
Wall Street Journal menurunkan tulisan berjudul Wanted In Indonesia:
Entrepreneurs Hungry For More yang menyoroti sektor kewirausahaan dengan
daya serap 60% tenaga kerja di Indonesia namun tidak mampu memberikan benefit
besar bagi pelakunya maupun bagi negara.
Market Watch melihat ironi ini karena lemahnya
perhatian pemerintah pada sektor kewirausahaan. Market Watch merekomendasikan
agar masalah itu segera disikapi dengan pemberdayaan dan regulasi baru agar
para pelaku usaha mikro kecil dan menengah yang disebut di luar jangkauan
pemerintah, bisa mengelola pertumbuhan, meningkatkan produktivitas, serta
bersaing secara lebih luas dan tidak stagnan pada level ‘mikro kecil’.
Sebagai pelaku ekonomi informal, yang pada krisis 2008
lalu turut menyelamatkan ekonomi Indonesia, UMKM perlu dorongan agar bisa
mempebesar skala usaha sehingga memiliki imunitas terhadap krisis. Dengan kondisis
seperti saat ini, dimana penghasilan bersih rata-rata hanya 2 dolar AS perhari,
tanpa upaya perlindungan, pelaku UMKM akan meradang kala krisis mengoreksi
konsumsi domestik. Pada umumnya, nafas UMKM bergantung dengan konsumen domsetik.
KETERANGAN
Jusman Dalle adalah Analis
Ekonomi Society Reseacrh and Humanity Development (SERUM) Institute, Tenaga
Ahli DPR RI dan Pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Bakorda PT