6.11.12
Investasi, Korupsi dan Leadership Presiden
Oleh :
Jusman Dalle
***
Pada akhir September lalu, selama enam hari, Presiden
SBY melawat ke Amerika Serikat. Selain mengikuti Sidang Majelis Umum PBB ke 67
dan menjadi salah satu pembicara dalam sesi debat sidang tersebut, salah satu
agenda penting Presiden SBY adalah melakukan pertemuan dengan sejumlah
pengusaha top AS seperti Presiden Ford Foundation, CEO IBM, CEO Honeywill, dan
CEO Cargill dengan tujuan mengajak mereka untuk berinvestasi di Indonesia.
Pertemuan tersebut merupakan paket inisiatif pemerintah
dalam melakukan promosi investasi bertajuk Indonesia Investment Day
(IID). Mengambil tema Indonesia Rise as Asia's New Economic Power
House: Transformation, Opportunities, and Partnership for All, IID untuk
pertama kalinya itu digelar di pusat keuangan dan ekonomi global, gedung Bursa
Efek New York (NYSE) dengan tujuan mensinergikan kepentingan bersama (mutual benefit) antara Indonesia
dan AS di bidang investasi.
Keterbatasan APBN yang juga dipengaruhi inefisiensi
pengelolaan anggaran, memaksa pemerintah mencari injeksi modal asing untuk
mencapai target-target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan. Untungnya,
Indonesia telah memperoleh predikat negara layak investasi. Ditunjang
pertumbuhan ekonomi yang progresif beberapa tahun terakhir, tingginya daya beli
masyarakat (menurut Survey Nielsen Mei 2012, konsumen Indonesia paling optimis
kedua di dunia), suplai SDM/tenaga kerja serta stabilitas poitik, Indonesia
memiliki daya pikat tersendiri bagi para investor. Apa lagi secara bersamaan krisis ekonomi AS dan
Eropa turut menyeret China, India, Brasil dan Jepang ke tubir krisis, padahal
negara-negara tersebut yang selama ini menjadi tujuan investasi AS dan Eropa.
Oleh karena itu, tak berlebihan bila melalui event
yang dihadiri langsung oleh Presiden SBY itu, pemerintah menargetkan investasi
dari AS hingga 2014 mencapai 5 miliar dollar atau setara Rp.48 triliun.
Meliputi kerja sama pengembangan industri bioteknologi agrikultur, manufaktur,
retail, pertambangan serta investasi di sektor infrastruktur guna mendukung
implementasi proyek infrastruktur yang tertuang dalam Masterplan Proyek
Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Aksi Bank Sentral AS (The Fed) mengeluarkan
Quantitative Easing (QE) ketiga serta kebijakan
bank sentral Eropa (ECB) membantu bailout negara zona Euro yang masih berkutat
dengan krisis utang, bakal semakin memudahkan langkah Indonesia menarik
investasi. AS menggelontorkan stimulus fiskal pada triwulan ketiga sebesar 40
miliar dolar AS di dalam negeri untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. QE berdampak
banjir likuditas di pasar finansial global sehingga investasi bergerak dan
modal berpindah dari negara ekonomi maju ke negara berkembang.
QE digunakan membeli aset finansial sehingga uang
beredar yang semakin banyak dapat meningkatkan penyaluran kredit dan mendorong
produksi serta konsumsi dalam negeri. Menurut catatan Bank Dunia, saat
ini Indonesia merupakan negara berkembang yang masih tumbuh dengan baik
sehingga layak dijadikan tujuan investasi.
Khusus untuk negara-negara di Asia Timur yang
mengalami kejenuhan pasar seperti Jepang dan Korea Selatan, mereka akan
memindahkan basis produksi dan menyasar pasar baru serta membangun regional
supply chain. Kebijakan itu tentu saja diikuti oleh arus investasi. Beberapa
perusahaan asal Jepang dan Korea Selatan, sebutlah misalnya Nippon Shokubai,
Lotte, J-Power dan Ithocu Corp. telah menyatakan komitmen akan berinvestasi pada
sektor energi dan industri dengan total nilai 5,5 miliar dollar atau setara Rp.
52 triliun.
Artinya jika stabilitas perekonomian nasional terjaga,
maka ratusan triliun investasi asing berpotensi mengalir ke Indonesia. Ini tentu
saja membantu kinerja perekonomian dan kita harapkan dapat dirasakan manfaatnya
oleh rakyat Indonesia.
Tantangan
Namun di balik peluang menarik investasi ke Indonesia
secara besar-besaran, sejumlah hambatan masih terus membayangi. Seperti
persoalan keterbatasan infrastruktur, birokrasi, dan korupsi. Khusus masalah
korupsi, Presiden SBY selalu mengimbau semua kalangan masyarakat untuk bahu
membahu melawan kejahatan kerah putih ini.
Senada dengan Presiden SBY, kalangan investor asing serta
pengusaha dalam negeri juga mengeluhkan persoalan korupsi yang menjadi ganjalan
serius dalam berinvestasi di Indonesia. Ini terungkap dari survei yang
dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC).
Indonesia yang disebut-sebut sebagai salah satu
bintang emerging market ternyata menempati peringkat pertama
sebagai negara terkorup dari 16 negara di Asia Pasifik pada tahun 2010, dengan
mencetak skor nyaris sempurna, 9,07 dari skala nilai 1 sampai 10
(terbersih-terkorup). Penilaian PERC didasarkan atas hasil survei pada
ekspatriat (pengusaha asing) dengan menggunakan indikator soal biaya siluman
kepada birokrasi dalam rangka investasi seperti izin usaha, ekspor-impor.
Laporan survei Wolrd Economic Forum (WEF)
menyebutkan, 15 persen responden mengatakan, korupsi atau pungutan-pungutan
liar menduduki peringkat pertama jadi kendala usaha di Indonesia. Biaya siluman
dalam mendirikan usaha mencapai 30% sehingga menyebabkan daya saing usaha
jeblok. Temuan WEF dikonfirmasi oleh temuan anak perusahaan Bank Dunia,
Internasional Finance Corporation (IFC) periode 2010-2011 yang menyatakan,
daya saing usaha di Indonesia berada di posisi 129. Jauh tertinggal dari
negara-negara di Asia tenggara, seperti Malaysia bertengger di peringkat 18,
Thailand posisi 17, bahkan Singapura yang berada di posisi teratas. Oleh
karena itu, dunia bisnis membutuhkan keberadaan penegak hukum.
Pelemahan KPK
Menjalankan roda ekonomi, kepastian hukum merupakan
satu keniscayaan. Sebab kepastian hukum berperan penting mendorong terciptanya good
governance dan good goverment sehingga outcome perekonomian
dirasakan masyarakat melalui persaingan sehat, bukan melalui lobi-lobi gelap di
bawah meja. Ini harapan para pengusaha.
Ironisnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi kerap dihantui upaya
pelemahan. Baik oleh usulan liar sejumlah oknum anggota DPR untuk merevisi
Undang Undang KPK No 30 Tahun 2002. Maupun kriminalisasi terhadap penyidik KPK
yang dilakukan Polri.
Di tengah prospek ekonomi yang cerah, DPR dan Polri emestinya
kompak menguatkan KPK dengan harapan agar tercipta kepastian hukum dan iklim
bisnis yang kompetitif. Bukan malah melakukan langkah konyol dengan berupaya membonsai
KPK.
Peran Presiden SBY yang membawahi langsung institusi Polri
serta posisi sentral sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat sekaligus
pemegang kendali koalisi, dibutuhkan untuk mengekang imajinasi liar sejumlah anggota
DPR dan oknum aparat Kepolisian. Agar langkah-langkah pemerintah mewujudkan perekonomian
berkualitas yang katanya berpihak pada rakyat berjalan sinergis.
Jangan sampai parlemen yang didominasi oleh partai
koalisi pendukung pemerintah serta Polri yang berada di bawah komando Presiden malah
berulah kontrapoduktif. Menempuh jalan yang melawanan arah komando Presiden.
Ini tentu menjadi preseden buruk bagi leadership Sang Presiden.