![]() |
Jawa Pos (19/7) |
19.7.12
Marhaban Yaa (Kapitalisme) Ramadhan
Diterbitkan pada kolom opini Jawa Pos edisi Kamis (19/7) "Marhaban Yaa.. Bulan Belanja"
Oleh : Jusman Dalle
***
Kapitalisme
memiliki intuisi untuk abadi karena mampu berinovasi. Demikian ungkapan Ian
Bremmer di dalam bukunya The End Of Free Market (2011) yang banyak
mengupas transformasi kapitalisme dalam kehidupan ekonomi, sosial dan politik
di akhir abad 20 hingga memasuki abad 21. Kreativitas, merupakan satu dari
karakter generik yang mengabadikan kapitalisme seperti dikatakan oleh “nabi
kapitalisme” Adam Smith.
Jauh hari
sebelum hilal Ramadhan bertengger di atas cakra pandang pasca konjungsi di
ufuk, kita telah menyaksikan kreatifitas dan inovasi kapitalisme terbit
benderang dari layar televisi, koran, media online, jejaring sosial, spanduk,
baliho dan berbagai media promosi. Pertunjukan kapitalisme kian mengesankan
sekaligus mengenaskan karena memasuki area paling suci dan bertolak belakang
selama ini. Ranah agama atau religiusitas versus keberturutan hasrat tanpa
batas, atau apa yang disebut sebagai ammaratun bis suu’ (hawa nafsu yang
cenderung mengajak pada keburukan).
Kemampuan
mendamaikan dua kutub berbeda, yaitu antara kutub transenden ramadhan dan kutub
profan kapitalisme, melimitasi nalar rasional. Kita tergugu, lalu tak bisa
menelisik di mana garis retriksi dua wajah yang awalnya paradoks itu. Sebabnya,
kapitalisme mampu menjadi sosok religius dan keluar dari stigma profan.
Demikian pula religiusitas (artifisial) yang tiba-tiba menjadi loba karena
terkooptasi modernisme keberagamaan yang ditawarkan oleh permainan desain iklan
atau media promosi, lalu dianggap biasa saja.
Gangguan Kejiwaan
Transmisi
kapitalisme di bulan suci membuat warna ketamakan kapitalisme dan perintah
menjauhi mubadzir oleh ajaran agama menjadi absurd. Ramadhan, kata Nabi
Muhammad SAW, semestinya menjadi momentum untuk megetatkan ikat pinggang,
meredam hawa nafsu, mengendalikan diri dari hingar bingar goda duniawi. Tapi
repetisi pesan audio visual terlanjur menyihir alam kesadaran (subconscious) sehingga
menyebabkan gangguan kejiwaan (neurosis) dengan laku konsumtif. Mengacu pada
terminologi puasa (shaum) yang berarti menahan, semestinya ramadhan membuat
kita kian mampu mengendalikan diri.
Statistik
menunjukkan betapa kian loba kita di Indonesia pada bulan puasa. Mengutip data
BPS November 2011, pada triwulan ke III Tahun 2011 dalam interval waktu yang
bertepatan dengan bulan Ramadhan, konsumsi rumah tangga paling tinggi. Dilihat
dari sisi penggunaan, komponen PDB Indonesia berupa pengeluaran konsumsi rumah
tangga atas dasar harga konstan 2000 meningkat Rp. 7,7 tiliun dari Rp339,0
triliun pada Triwulan II-2011 menjadi Rp346,7 triliun pada Triwulan III-2011
atau tumbuh secara riil sebesar 2,3 persen.
Sedangkan
pengeluaran konsumsi rumah tangga atas dasar harga berlaku, naik signifikan Rp.
58,5 triliun dari Rp. 983,7 triliun pada Triwulan II-2011 menjadi Rp. 1.042,2
triliun pada Triwulan III-2011. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan
III merupakan yang tertinggi dibanding periode lainnya dengan angka pertumbuhan
mencapai 4,8 persen atas rata-rata PDB 6,5 persen.
Sebagai gambaran, pada tahun
2009 total belanja konsumen di bulan Ramadhan dan sebulan sebelumnya mencapai
Rp. 18 triliun. Penggerak belanja konsumen di pusat-pusat perbelanjaan modern
adalah kategori makanan yang permintaannya meningkat 29 persen di supermarket,
dan 19 persen di mini market di banding bulan biasa. Bahkan pada Ramadhan tahun
2008, ketika belum terjadi krisis ekonomi global, penjualan makanan di
minimarket meningkat 40 persen dan di pasar tradisional naik 19%.
Syrup dan makanan kecil
adalah dua jenis produk yang penjualannya meningkat tajam, terlebih jelang Idul
Fitri, dengan masing-masing peningkatan permintaan 100 persen untuk makanan
kecil dan 600 persen untuk syrup. Demikian pula dengan penjualan soft drink
yang meningkat hingga 50 persen dari bulan-bulan biasa. Untuk konsumsi cokelat
sebagai bahan olahan bagi makanan, minuman, biskuit, roti dan wafer, meningkat
hingga 20 persen. Adapun permintaan biskuit dan mie instan, menurut Ketua Umum
Asosiasi Industri Roti, Biskuit dan Mie Instan (Arobim), Sribugo, meningkat
hingga 15 persen.
Tahun ini, optimisme konsumen
kian tinggi karena ekonomi Indonesia terus membaik. Pada bulan Mei lalu, Nielsen
melansir hasil survey global yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan
konsumen paling optimis dengan urutan ketiga di dunia, sehingga bisa ditebak
jika permintaan (konsumtifisme) akan meningkat signifikan pada bulan Ramadhan.
Serbuan
iklan di televisi yang sangat menggoda karena disetting senafas euforia
religiusitas, satu variabel penting pendorong konsumtifisme. Tren setiap tahun, belanja
iklan di media mencapai puncak di kuartal ketiga, ketika bulan Ramadhan tiba
dengan memanfaatkan premium time seperti jelang dan setelah berbuka dan saat
sahur.
Menurut Nielsen Media Research, jumlah pemirsa
televisi pukul 02.00 hingga 06.00 di bulan-bulan biasa hanya sekitar 707 ribu. Pada
bulan Ramadhan melonjak signifikan hingga 725 persen menjadi 5,22 juta pasang
mata. Acara televisi seperti banyolan dan reality show “berbau” agamis
menggandeng produk makanan, minuman, pakaian, operator seluler hingga produsen
kendaraan sebagai sponsor. Ceramah agama, bahkan tak lolos dari
kapitalisasi. Durasi iklan kadung lebih panjang dari pada nasehat sang ustadz. Jadilah televisi kita full
komersialisasi ketimbang nilai (value) dari pesan yang hendak
disampaikan.
Pertumbuhan Semu
Jika kita
cermati, belanja rumah tangga maupun belanja iklan justru pada sektor padat modal
dan teknologi yang tidak berpengaruh signifikan terhadap sektor ril dimana
sebagian besar masyarakat mencari rupiah. Artinya, eksposur pertumbuhan ekonomi
musiman itu semu karena hanya dinikmati perusahaan-perusahaan besar atau
retail-retail modern sedangkan masyarakat bawah menjadi korban eksploitasi.
Anekdot bahwa bulan Ramadhan adalah bulan mengabiskan (rupiah) setelah 11 bulan
sebelumnya bekerja mengumpulkan rupiah, benar-benar terjadi. Ramadhan menjadi
bulan konsumtifisme habis-habisan. Ironis.
Hak setiap
pribadi untuk menggunakan uang mereka, itu tidak salah. Namun permasalahan
terjadi ketika berkah ekonomi momentum ramadhan dinikmati segelitir orang, dan
Ramadhan berlalu tanpa makna yang terikat di hati. Tak ada kebaharuan ruhiyah
pasca Ramadhan akibat terlalu fokus ‘beribadah’ di mall, supermarket, dan
pusat-pusat perbelajaan lainnya. Padahal bulan Ramadhan datang hanya sekali
setahun, dan tak ada jaminan kita masih berjumpa pada tahun-tahun mendatang.
Ramadhan
kali ini mestinya kita optimalkan, tanpa meninggalkan hak-hak fisik untuk
didandani dan diberi bakanan bergizi seiring dengan ikhtiar perbaikan iman dan
taqwa di bulan suci sehingga pantas berhari raya idul fitri. Pada titk inilah,
prinsip keseimbangan (tawazun) dalam menjalani hidup perlu kita
iplementasikan. Bukan terjebak pada ritus kapitalisme. Karena kita hendak
berucap marhaban yaa Ramadhan, bukan marhaban yaa bulan belanja dalam kapitalisme. Selamat
menyambut dan meraih keutamaan bulan suci!