Jusman Dalle
Setelah melalui pembahasan alot selama enam bulan di DPR, Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1433 H/2012 M akhirnya ditetapkan. Komisi VIII DPR bersama Kementerian Agama (Kemenag) sepakat rata-rata BPIH sebesar USD 3.617 perjamaah atau setara Rp 33.276.400 dengan asumsi kurs Rp 9.200 per USD 1. Besaran BPIH bervariasi berdasarkan embarkasi. BPIH paling rendah untuk embarkasi Aceh sebesar Rp. 30.617.600 dan tertinggi bagi jamaah dari embarkasi Makassar sebesar Rp. 35.714.000 (Jawa Pos, 11 Juli 2012).
Kenaikan BPIH dari tahun ke tahun adalah ironi dalam tata kelola haji Indonesia. Kenaikan BPIH tidak logis karena banyak dana setoran awal calon jamaah haji atau dana abadi umat (DAU) yang menganggur dan bisa digunakan untuk menalangi naiknya biaya pemondokan, biaya transportasi dan melemahnya nilai tukar rupiah yang sering dijadikan alasan oleh Kemenag untuk menaikkan BPIH.
Paradigma Ekonomi
Selama ini, penyelenggaraan ibadah haji oleh Kemenag dijalankan secara konvensional. Padahal, untuk mewujudkan ibadah haji murah namun tetap berdasar efektifitas, efisiensi dancomfortable bukanlah persoalan sulit jika Kemenag serius membenahi dan mengubah cara pengelolaan haji. Salah satunya dengan transformasi pengelolaan dana haji dengan pendekatan bisnis (tapi bukan termasuk swastanisasi).
Sampai 2012 DAU telah mencapai Rp 40 T dengan bunga (bagi hasil) dari sebesar Rp 1,9 T Selain DAU, di rekening Kemenag juga ada dana sisa pelaksanaan haji 2010 (Rp 216 M), sisa pelaksanaan haji 2011 (Rp 218 M), dana optimalisasi 2011 yang belum terpakai (Rp 211 M) dan dana optimalisasi 2012 (Rp 1,885 T). Jika di total, Rp 45,3 T dana umat di tangan Kemenag. Angka yang sangat fantastis bisa memudahkan jamaah menunaikan ibadah jika dikelola dengan paradigma ekonomi yang benar.
Kita ambil contoh Malaysia, di negeri jiran itu, BPIH mencapai Rp 40 juta, tapi jamaahnya hanya membayar Rp 27 juta. Sisa kebutuhan disubsidi dari Tabungan Haji Malaysia (THM). Di Indonesia, mekanisme subsidi dari DAU juga sangat mungkin dilakukan sehingga BPIH bisa diturunkan dari tahun ke tahun karena dana pokok DAU dan bunganya semakin bertambah.
Dari simulasi dan analisis Society Research and Humanity Development (SERUM) Institute, ditemukan angka efisien dan ideal BPIH yaitu sebesar Rp 14,35 juta perjamaah. Angka itu diperoleh dengan pemangkasan pada variavel transportasi.
Kita ketahui bahwa biaya terbesar ibadah haji adalah transportasi yang mencapai 1.820 USD atau setara Rp 16,3 juta dengan kurs Rp 9.000 per USD. Ongkos transportasi mengikuti nilai tukar rupiah terhadap dolar. Ketika nilai tukar rupiah lemah, maka BPIH bisa naik lebih tinggi lagi.
Dengan pesawat sendiri, biaya transportasi bisa jadi Rp 0. Jamaah hanya membayar biaya haji selama di tanah suci meliputi biaya kesehatan, konsumsi, dan penginapan serta transportasi lokal. BPIH tahun 2011 sebagai acuan, Rp 30,65 juta lalu dikurangi komponen biaya transportasi Rp 16,3 juta, berarti jamaah cukup membayar Rp 14,35 juta. Jika pun masih ada biaya lain-lain, asumsinya tak lebih dari Rp 20 juta.
Caranya bagaimana? DAU dan dana operasional digunakan membeli pesawat khusus jamaah haji. Harga pesawat tipe Air Bus 330-300 atau sejenisnya yang berkemampuan kargo besar serta kapasitas hingga 300 seat, ideal untuk pesawat haji, sekira Rp 1,2 T per pesawat. Untuk mengangkut 220 ribu jamaah, dibutuhkan 20 pesawat. Artinya Rp 24 T DAU dan dana operasional digunakan untuk membeli pesawat. Masih tersisa Rp 21 T untuk dana cadangan atau keperluan lain-lain.
Pesawat haji paling lama digunakan 3 bulan, berarti 9 bulan berikutnya pesawat haji bisa disewakan ke maspakai lain. Dengan harga sewa bersih Rp 135 M per pesawat, dalam setahun pesawat haji memperoleh income Rp 2,7 T. Income pertahun dari penyewaan pesawat haji ditambah akumulasi setoran sekira 2 juta calon jamaah haji, tentu menjadi modal besar untuk dikelola pada instrumen bisnis lain yang menjanjikan.
Untuk Apa Anggito?
Dengan latar belakang seroang ekonom, pengangkatan Anggito Abimanyu sebagai Dirjen Haji dan Umrah memang bisa menjadi langkah pembenahan tata kelola haji. Tapi Anggito seorang tidak mungkin bisa menyelesaikan berbagai masalah pelik lainnya seperti pemondokan, katering, transportasi lamban. Anggito bisa jadi hanya menggantang asa persoalan pengelolaan dana haji.
Kita harus kembali ke akar masalah. Faktor kunci buruknya pengelolaan haji karena sistem yang absurd. Fungsi eksekutor, regulator sekaligus evaluator semua bertumpuk pada Kemenag sehingga tak ada good corporate government (GCG) dan good management. Ibadah haji merupakan kepentingan publik sehingga sangat lucu jika Kemenag sekaligus berfungsi sebagai regulator dan eksekutor. Transparansi hanya menjadi mimpi.
Maka kabar bahwa pengangkatan Anggito hanyalah akal bulus menjadikan ekonom yang berintegritas itu sebagai bumper Kemenag, bisa jadi kebenarannya. Dugaan yang muncul, terjadi ketakutan jika kepentingan bisnis sejumlah pihak terganggu jika pengelolaan haji dicabut dari kementrian yang kini sedang dibelit kasus korupsi kitab suci itu.
Pada titik inilah relevansi pembentukan badan khusus pengelolaan haji sebagaimana diusulkan fraksi di DPR. Di bawah kontrol langsung presiden, badan haji bisa diisi unsur ekonom, ahli transportasi, ahli kesehatan, dll tanpa melibatkan banyak kementerian yang menyebabkan kelambanan koordinasi seperti terjadi selama ini. Badan haji bahkan bisa mendirikan BUMN Haji sehingga pengelolaan DAU bisa lebih optimal.
Jika Kemenag serius ingin memperbaiki tata kelola haji, maka Kemenag semestinya berada pada garda terdepan mendorong dibentuknya Badan Haji. Agar jelas posisi Kemenag sebagai regulator. Bila tidak, publik semakin curiga dengan adanya kepentingan rente dari pengelolaan haji. Apa lagi saat ini opini publik semakin buruk menyusul temuan korupsi Al Qur’an dan tingginya peringkat korupsi berdasarkan rangking dari KPK tahun 2011 terhadap lembaga yang paling religius di tubuh pemerintah ini. (*)