Jusman Dalle
22.6.12
Tor-Tor dan Ekonomi Kebudayaan Kita
Dok/Fajar
Jusman Dalle
Jusman Dalle
Opini Koran FAJAR (22/6)
Oleh : Jusman Dalle (Analis Ekonomi SERUM Institute)
Hubungan Indonesia-Malaysia kembali diwarnai ketegangan. Sebabnya, gencar pemberitaan jika tarian Tor-tor dan Gondang Sambilan (Sembilan Gendang) diklaim sebagai peninggalan nasional negeri jiran. Di Indonesia, dua kesenian itu dikenal sebagai kebudayaan asli masyarakat Batak, Sumatera Utara. Seni gerak, Tor-Tor bahkan selalu dipentaskan dalam upacara adat.
Di televisi dan media online Indonesia, Ramli Abdul Karim Hasibuan Ketua Komunitas Mandailing di Malaysia telah mengklarifikasi jika memasukkan Tor-Tor dan Gondang Sembilan dalam warisan budaya Malaysia telah diperjuangkan selama 70 tahun. Namun bukan berarti mengakui dua warisan budaya itu milik Malaysia. Tetapi hanya karena berharap agar Tor-Tor bisa lestari dan mendapat pengakuan negara sehingga disejajarkan dengan budaya lain di Malaysia.
Tetapi reaksi berlebihan di tanah air terus bergulir karena stigma jika negeri serumpun Indonesia itu benar-benar mengakui Tor-Tor dan Gondang Sembilan sebagai miliknya. Ketegangan ini tentu tidak menguntungkan bagi keduabelah pihak. Apalagi jika disikapi secara emosional.
Sebagai negara serumpun dengan akar habitus yang sama, Melayu, banyak kesamaan Indonesia-Malaysia. Bak pinang dibelah dua. Tak heran jika sederet warisan budaya asli Indonesia pernah diklaim Malaysia. Seperti biasanya, ketika klaim itu datang, kita hanya bisa bereaksi, marah, lalu mengecam.
Politik Kebudayaan
Semestinya, kita melihat persoalan dengan jernih pandai mengambil hikmah. Mencontoh bagaimana ketelatenan pemerintah Malaysia dalam menjaga warisan budaya mereka.
Sebagaimana bangunan negara, dalam kebudayaan pun dibutuhkan politik. Karena politik inilah yang menyimpan ruh dan idealisme, yang akan menentukan pilihan sikap serta arah kebudayaan kita di masa depan. Tanpa politik kebudayaan ini, niscaya kita akan semakin kehilangan ruh dan identitas sebagai sebuah bangsa (Smartorial, 19/6).
Apalagi kita memiliki ratusan atau bahkan ribuan warisan budaya yang terlupakan. Bahkan ada yang hampir punah dieliminasi budaya impor yang jelas-jelas tidak konstruktif. Hanya menjadi agen kapitalisme memasuki pasar hiburan Indonesia. Mencipta konsumtifisme.
Demam K-Pop (Korean Popular) melalui Boy band dan Girl Band atau American Pop melanda generasi muda misalnya. Kehadiran mereka tak hanya berimplikasi pada reduksi budaya lokal, tetapi juga menjadi medium diplomasi ekonomi. Barang-barang yang berbau Korea laris manis. Jadilah bangsa kita dieksploitasi secara budaya dan ekonomi.
Generasi muda lebih bangga menggunakan produk buatan Korea dan mengidentikkan gaya hidup dengan artis Korea idola mereka ketimbang menjaga kelestarian budaya lokal.
Sampai saat ini, tak ada catatan valid soal jumlah pasti warisan budaya negeri yang berpenduduk 240 juta jiwa ini. Jumlah yang telah diakui oleh UNESCO hanya sebagian kecil dari khazanah budaya yang tersebar di penjuru nusantara. Mulai dari budaya populer seperti lagu dangdut hingga yang senyap dari perhatian publik seperti budaya orang-orang Kajang yang hidup menyatu dengan alam di pedalaman Kabupaten Bulukumba, Sulwesi Selatan.
Di tengah ragam kekayaan budaya tersebut, permasalahan kita adalah ketidakmampuan memproteksi, merawat, mengembangkan, dan mengkapitalisasi. Tak ada politik budaya yang jelas dan terarah. Akibatnya, generasi muda makin berjarak dari akar budayanya.
Ketika ada klaim dari Malaysia, barulah nasionalisme kita –yang lebih tepat disebut kemarahan-- tiba-tiba berkobar. Namun sayang, tetapi direpitisi lakon paradoksal. Generasi muda malah gandrung dengan budaya baru yang diimpor dari Timur dan Barat. Budaya impor yang juga meminggirkan peran budaya lokal.
Padahal, tak ada beda budaya kita diklaim Malaysia dengan budaya asing menderas ke Indonesia. Subtansianya sama saja. Kita sama-sama kehilangan.
Nilai Ekonomi
Menurut antropolog E.B Tylor (1871) kebudayaan mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Dari dafinisi Tylor, jelas bahwa selain nilai filosofis, kebudayaan memiliki nilai ekonomi yang tinggi bahkan tak terbatas. Nilai ekonomi suatu budaya tentu harus diiukuti oleh kamampuan kapitalisasi. Sebagai contoh, batik. Pasca ditetapkan sebagai warisan budaya dunia, kebanggaan menggunakan batik menjadi gelombang ekonomi.
Pertunjukan atau show di dunia fashion selalu diramaiakan oleh produk batik yang inovatif. Batik yang awalnya dianggap kuno, kini juga digandrungi oleh anak muda karena kampanye masif yang disertai oleh inklusifikasi paradigma mewujud rasa nasionalisme.
Batik menjadi bagian penting industri di tanah air. Bermunculan berbagai produk yang mengelaborasi batik sebagai bagian inovasinya. Seperti sepeda motor yang berlukis batik, brownies batik, hingga terakhir salah satu perusahaan penerbangan komersil swasta nasional menjadikan batik sebagai branding maskapainya dan pesawat mereka tentunya dihiasi oleh lukisan karya seni batik. Batik, mungkin satu-satunya produk budaya Indonesia paling sukses dalam menghasilakn nilai ekonomi dengan berbagai varian derivatifnya.
Kapitalisasi budaya menjadi produk bernilai ekonom telah disinyalir oleh Sosiolog Indonesia,Selo Sumarjan dan Soelaeman Soemardi (1964). Mereka mengatakan jika kebudayaan sebagai hasil karya, rasa dan cipta. Karya menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia.
Kekayaan budaya Indonesia semestinya menjadi salah satu penggerak ekonomi penting di negeri ini. Karena setiap daerah memiliki budaya khasnya masing-masing. Tak hanya berbentuk budaya fisik yang bisa direproduksi (tangiable) seperti batik atau keris, tapi juga budaya non fisik (intangiable) seperti lagu, tari-tarian dan objek wisata yang bisa dikapitalisasi dalam satu kemasan event besar sehingga menjadi pemantik majunya industri kreatif dan pariwisata kita.
Pada titik inilah, kontribusi industri keratif dan pariwisata untuk produk domestik bruto (PDB) bisa terdongkrak. Bukan stagnan pada angka 3 persen saja dari nilai PDB Rp. 7.400 triliun (2011). Tetapi bisa lebih besar hingga mencapai angka 10-15 persen dari PDB. Dua negara tetangga kita, Malaysia dan Singapura bisa memperoleh income 7 hingga 8 persen PDB dari sektor pariwisata.
Padahal secara kuantitas, Indonesia memilik lebih banyak peninggalan budaya yang bernilai ekonomi dari kedua negara tetangga. Persoalan kita, lagi-lagi pada kegagapan mengkapitalisasi aset tersebut. Kegagapan itu yang mestinya membuat kita meradang. Maka mari mulai mencintai dan bangga menggunakan identitas warisan budaya sebagai wujud intuisi bangsa berkebudayaan.
Link Opini Koran Fajar | Nikmati juga tulisan-tulisan Jusman Dalle di Blog Jusman Dalle dan Kompasiana