Sihir si kulit bundar tak
pernah pudar. Bahkan menyelai himpitan krisis. Itulah fakta yang kita saksikan
dari gegap gempita pesta sepakbola Piala Eropa. Euforia Euro -sebutan populer
Piala Eropa- yang akan berlangsung 8
Juni sampai 1 Juli, sesaat bisa mengeliminasi gundah karena krisis ekonomi yang
terjadi di benua biru.
Ilustrasi rona bahagia dan
spirit perjuangan menjadi pemandangan umum. Lihatlah di wajah pemain Yunani
yang negaranya paling menderita karena krisis dan terancam didepak dari
Eurozone. Saat laga perdana, pemegang piala Euro 2008 itu menahan imbang tuan
rumah Polandia.
Spirit 16 negara di ajang Euro,
barang kali sekaligus menjadi ilustrasi semangat pertarungan Eropa melawan
krisis ekonomi. Imajinasi menjadi pemenang, membela tegaknya panji negara
masing-masing, membuat laga
sepak bola paling bergengsi setelah Piala Dunia itu bisa jadi berlangsung
lebih sengit katimbang Euro pada tahun 2008.
Euro 2012, -meminjam istilah Abraham maslow dalam Needs Theory-
adalah prestige. Menurut Maslow, prestige yang juga bagian dari self
esteem, diafirmasi untuk membuktikan ketangguhan. Misi Euro bergeser, bukan
saja ajang adu keterampilan dan kekuatan masing-masing timnas memainkan si
kulit bundar, tapi sekaligus sebagai ajang pertaruhan mengangkat harkat dan
martabat negara pemenang di tengah krisis. Agar kepala tetap tegak di tengah
krisis ekonomi. Euro menggandeng misi multi dimensi.
Penggerak Ekonomi
Dalam
perspektif ekonomi, event sepakbola internasional selalu menarik karena mampu
menjadi penggerak pembangunan. Seperti Afrika Selatan yang ekonominya tumbuh
pasca penyelenggaraan Piala Dunia tahun 2010. Wisatawan dan investasi terus
berdatangan menyusul sukses Afsel
menjadi penyelenggara Piala Dunia.
Untuk Euro
2012, Cable News Network (CNN) melaporkan, Polandia merogoh kocek 27 miliar
dollar Amerika untuk mempersiapkan dan menyelenggarakan event akbar itu. Sementara
Ukraina menggelontorkan anggaran 25 miliar dollar Amerika.
Dana itu
tentu kembali dari berbagai sumber sepanjang dan pasca Euro. Baik dari tangan para pendukung keseblasan yang datang ke
kedua negara, maupun dari sponsor serta ‘peninggalan’ berupa infrastruktur olah
raga dan pariwisata. Para supporter, tak hanya sebagai penonton, tapi juga
sebagai wisatawan. Mereka tentu banyak membelanjakan banyak uang selama tinggal
di Polandia dan Ukraina.
Dari hasil
perhitungan Kementerian Olahraga dan Pariwisata Polandia, Produk Domestik Bruto
(PDB) mereka diestimasi akan meningkat sekitar 5 miliar Euro (sekitar US$ 6,3
miliar) antara tahun 2008 hingga 2020 berkat penyelenggaraan Euro. Lebih dari 40 miliar Euro atau setara
Rp. 468 triliun uang yang beredar selama penyelenggaraan Euro 2012. Sebelum juara
Euro diketahui, Polandia dan Ukraina sudah bisa dipastikan menjadi “juara
ekonomi” dari Euro. Mereka paling banyak mendapatkan manfaat ekonomi.
Di belahan negara lain,
diperkirakan 150 juta pasang mata tertuju pada Euro. Jumlah penonton yang besar
itu adalah potensi ekonomi. Pemilik hak siar sadar, bahwa sihir sepakbola sudah
begitu kuat merasuki kesadaran penduduk bumi, maka dijuallah hak siar Euro
dengan mahal. Stasiun TV menggandeng sponsor, memanfaatkan jeda permainan untuk
beriklan. Tarif premium berlaku. Siklus ekonomi global tercipta dari hanya
menonton laga Euro.
Di negara-negara dengan
persepakbolaan yang maju, sepakbola memang tidak lagi sekadar olah raga dan
hiburan (sportaiment). Tapi telah bertransformasi menjadi olah raga, hiburan (enterteiment)
dan sekaligus bisnis (entrepreneurial).
Sepakbola dielaborasi, diasimilasi, dipadukan dengan berbagai produk barang dan
jasa sebagai nilai tambah (add value).
Eksposure dimensi ekonomi
sepakbola, tidak hanya kepada pemilik klub atau pemain, tetapi juga ke
masyarakat yang bahkan berbeda benua. Saat momentum Piala Dunia, Euro atau
Final Liga Champion misalnya, varian atribut sepakbola di Pasar Tanah Abang
Jakarta dan Cihampelas Bandung, laris manis. Mulai dari jersey, payung, handuk,
topi, selendang dan handuk berlogo tim dan klub pavorit diserbu para fans panatik. Ekonomi sektor ril
bergerak ‘hanya’ dengan demam sepak bola.
Pada skala bisnis yang
lebih besar, klub sepakbola bahkan bisa mendirikan resort komersil, hotel,
sekolah sepakbola dan berbagai produk lainnya yang menjual superioritas klub. Sebutlah
misalnya di Spanyol, klub sepak bola raksasa Real Madrid, baru-baru ini
mendirikan kawasan bisnis : olah raga, liburan dan hiburan terpadu di Dubai,
Uni Emirat Arab.
Tak hanya itu, sepak bola
juga banyak melahirkan miliarder. Sebutlah David Beckham (Inggris) menurut
Forbes adalah olah ragawan terkaya dengan pendapatan Rp. 343 miliar disusul
Christiano Ronaldo (Portugal) Rp. 328 miliar dan Lionel Messi (Argentina) Rp.
271 miliar. Dengan nama besarnya, Beckham juga bahkan terjun ke dunia bisnis
dengan menjual pakaian dalam pria.
Industri Sepakbola Indonesia
Ketika negara-negara di
Eropa sudah sedemikian rupa mengkreasi sepak bola dan produk turunannya, lalu
di Indonesia kita bisa apa? Bukannya menjadi industri, induk sepak bola tanah
air, Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang tiap tahun dikucuri dana
dari APBN malah bertikai dan nihil prestasi. APBN tersebut semestinya menjadi
stimulus agar sepak bola Indonesia bisa maju ke level industri sehingga
menggerakkan perekonomian. Tapi apa lacur, kita harus mengelus dada menyaksikan
kepentinggan politik menggerogoti kesehatan tubuh PSSI belakangan ini.
Oleh karena itu, perdamaian
PSSI dan Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) pada Kamis (7/6) yang
difasilitasi oleh tim Task Force Asosiasi Sepakbola ASIA (AFC) kita harapkan
menjadi happy ending kisruh di tubuh persepakbolaan nasional. Sekaligus
momentum menata sepakbola kita agar lebih berprestasi melampaui capaian
tertinggi saat ini sebagai runner up Piala ASEAN/Piala Suzuki AFF 2010.
Potensi pemain dan penonton
harus dikelola secara optimal hingga persepakbolaan di Indonesia menjadi
industri yang bermanfaat bagi ekonomi kita. Akhirnya, kepada 16 keseblasan di ajang Euro
2012, kita ucap selamat berlaga. Dan sebagai penonton, mari kita menggali
inspirasi dan hikmah. Semoga timnas jagoan kita meraih kemenangan!