Tapi nampaknya rencana yang tertuang dalam Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) itu tak akan berjalan mulus. Sejumlah kalangan seperti mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla serta beberapa pengamat maupun praktisi ekonomi, bersuara keras. Mereka menilai penyatuan tiga zona waktu Indonesia adalah langkah paradoks. Bertentangan dengan kebiasaan yang sudah menjadi habitus impulsif dalam kehidupan masyarakat.
Melawan Habitus
Padahal, habitus kata sosiolog Prancis, Pierre Bourdieau (1930-2002) telah membentuk struktur mental atau kognitif yang digunakan oleh manusia untuk menghadapi kehidupan sosial dengan pola dan sekema yang telah terinternalisasi. Habitus yang diperoleh dari repetisi aktifitas dalam satu lingkungan sosial sehingga menjadi inheren dengan pola interaksi, termasuk bagian dari variabel penting dalam menentukan tingkat produktifitas.
Sebagaimana dikutip dari Arif Wibowo (2008), habitus dalam prakteknya mengafirmasi kecenderungan-kecenderunga
Habitus juga sebagai motivasi, dasar preferensi, membentuk cita rasa atau perasaan (emosi) sehingga melahirkan perilaku yang mendarah daging sebagai suatu pandangan tentang dunia (kosmologi).
Ketika penyatuan zona waktu dilakukan, maka akan mengorbankan 199 juta atau 2/3 penduduk Indonesia. Seperti dirasionalkan oleh Jusuf Kalla, penyatuan zona waktu menjadi Greenwich Meridian Time +8 sebagaimana direncanakan pemerintah, membuat 193 juta jiwa penduduk Indonesia bagian Barat dan 6 juta penduduk Indonesia bagian Timur mengubah pola hidup secara drastis.
Masyarakat Indonesia bagian Barat seperti Jawa, Sumatera dan sebagian Kalimantan harus beraktifitas lebih pagi karena menyesuaikan diri dengan Waktu Indonesia Tengah (WITA) yang dijadikan sebagai acuan zona waktu. Demikian pula dengan mereka yang tinggal di Indonesia bagian Timur, harus menunda satu jam aktifitas mereka, menunggu waktu Indonesia Tengah sehingga mereka bekerja lebih siang.
Jika alasan pemerintah karena untuk kepentingan ekonomi, maka sama saja kepentingan sebagian kecil kalangan mengorbankan jutaan masyarakat Indonesia yang hidupnya sudah terpola. Tujuan produktifitas malah akan sulit tercapai karena secara fisiologi habitus masyarakat suda terbentuk. Sudah terpola kapan harus beraktifitas dan kapan harus istirahat. Jam-jam yang biasanya digunakan untuk istirahat, harus dijadikan jam kerja. Pun sebaliknya. Jika pola yang dibentuk oleh alam itu dilawan, sama saja dengan melawan keseimbangan alam dan bahkan bisa berakibat gangguang fisik yang pada gilirannya mengurangi tingkat produktifitas.
Inilah yang barangkali disebut oleh Karl Marx (1818-1883) hegemoni sebagai kuasa kapital. Menurut nenek moyang sosialisme itu, modal (capital) bukanlah sebuah relasi sederhana, melainkan sebuah proses, di dalam mana berbagai gerakan adalah selalu (berupa) modal. Dalam konteks ini, modal melawan hukum kosmologi dan berupaya mengubah dan menggerakkan budaya baru untuk mengeliminasi budaya lama.
Pentingkan Langkah SubtantifJika kita telisik di dalam berbagai literatur tentang economics development (pembangunan ekonomi), tak ada yang menyebutkan jika perekonomian tumbuh hanya karena parameter pasar modal dan transaksi dibuka jam berapa. Secara komparatif, kita misalnya bisa melihat Australia yang memiliki tiga zona waktu atau Amerika Serikat yang bahkan terbagi ke sembilan zona waktu, namun mereka tetap produktif.
Lebih cepat atau pun lambat lantai bursa sebagai acuan makro transaksi ekonomi nasional dibuka, jika pondasi ekonomi kita rapuh, tetap tidak akan berimplikasi positif apapun. Jika berbicara mengenai (produktifitas) pertumbuhan ekonomi yang menjadi alasan penyatuan zona waktu, sebenarnya masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah agar pertumbuhan ekonomi kita berjalan baik tanpa harus mengorbankan masyarakat.
Jika tujuan utama penyatuan zona waktu adalah memacu laju pertumbuhan ekonomi, maka produktivitaslah yang semestinya digenjot. Budaya kerja disiplin mesti menjadi karakter birokrasi pemerintahan dan dicontohkan oleh para pejabat negeri ini. Harus dibagun budaya malu ketika menerima gaji buta misalnya. Menerima gaji yang tidak sesuai dengan kinerja semestinya.
Demikian pula dengan birokrasi yang tidak efektif, harus dipangkas sehingga memudahkan investasi. Investment grade yang telah diraih Indonesia dari Fitch Ratings pada akhri tahun 2011 lalu dan Moody’s Investment Service pada awal tahun 2012, tidak akan ada artinya tanpa diikuti perubahan mental dalam mengelola tatanan birokrasi di negeri ini. Semua pihak harus sinergis menciptakan iklim investasi yang sehat dan kompetitif.
Termasuk pungutan liar (pungli) di berbagai sektor yang menyebabkan high cost economy, juga harus diberantas.
Karena itulah mari kita bersnergi, bersama-sama mencari solusi bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekonomi kita, tanpa mengotak atik zona waktu yang telah membentuk pola dan habitus masyarakat.
*Klarifikasi, paragraph pertama kalimat terakhir versi cetak, semestinya tertulis 28 Oktobet, bukan 20 Oktober.