- Analis Soceity Research and Humanity Development (SERUM)
Institute
- Analis Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas
Muslim Indonesia (UMI) Makassar
- Ratusan
artikel diterbitkan oleh berbagai media massa nasional seperti Jawa Pos,
Koran Tempo, Media Indonesia, Koran Jakarta, Republika, dll.
14.5.12
Tragedi Sukhoi dan Bisnis Burung Besi
(Opini Jawa Pos/Ido Pos | Senin 14 Mei 2012 | Judul "Tragedi Sukhoi dan Peluang PT. DI")
Oleh : Jusman Dalle
***
Tragedi
Sukhoi Superjet 100 (SSJ 100) adalah pertaruhan kredibilitas bagi industri
pesawat komersil Rusia. Pesawat tipe menengah itu merupakan produk pertama yang
sekaligus menandai bangkitnya industri pesawat sipil pasca jatuhnya Uni
Soviet. Selama ini Rusia memang dikenal
handal dalam memproduksi jet-jet tempur untuk keperluan militer, namun beberapa
kali negara itu gagal bersaing dalam industri pesawat sipil.
Sejumlah industri
pesawat komersil dari negara Beruang Merah itu telah berguguran karena tak
mampu bersaing dengan dua raksasa industri pesawat komersil, yaitu Boeing dan
Air Bus. SSJ 100 telah dipersiapkan
selama dua puluh tahun, yaitu sejak dekade 1990 an, dan digadang-gadang masuk
ke segmen industri pesawat komersil menengah. Proyek ini didukung penuh oleh
pemerintah Rusia dan dikatakan sebagai proyek nasional yang cukup penting.
Kejelian Sukhoi dan pemerintah Rusia membaca lalu membidik segmen menengah
tidak lepas dari dua alasan.
Pertama, persaingan
di segmen itu tidak sekeras di segmen atas yang telah didominasi oleh Boeing besutan
Amerika Serikat dan Air Bus pabrikan Prancis. Di segmen menengah, hanya ada dua
pemain utama yaitu Embraer dari Brasil dan Bombardier dari Kanada. Keduanya tak
sulit untuk ditaklukkan oleh Sukhoi yang memiliki nama besar. SSJ 100 pun
termasuk pesawat paling modern karena dilengkapi semua teknologi penerbangan
terbaru.
Kedua, penumpang
pada segmen ini cukup potensial. Yaitu
penumpang dengan penerbangan rute pendek yang umumnya semakin banyak seiring
dengan kebutuhan mobilitas manusia yang kian cepat. Apa lagi untuk negara
kepulauan seperti Indonesia. Harga SSJ 100 ditengarai lebih murah dibanding
pesawat sejenis. Tak hanya itu, SSJ 100 juga terbilang hemat bahan mengonsumsi
bakar sehingga memungkinkan harga tiket lebih murah dan mudah dijangkau oleh
masyarakat.
Di negara-negara
dengan tingkat daya beli masyarakat sudah masuk ke level menengah, seperti Cina
dan Indonesia serta India, Sukhoi berpotensi mengusai pangsa ini. Secara
politik, Rusia juga memiliki kedekatan dengan beberapa negara di Asia.
Sementara Boeing dan Air Bus bersaing pada segmen level atas di Eropa dan
Amerika . Sehingga pembacaan celah Rusia terhadap potensi industri pesawat
komersil segmen menengah, memang harus diikuti oleh kesigapan dan kesiapan,
baik dari segi kualitas produk maupun layanannya.
Tragedi SSJ 100
bisa jadi sandungan besar jika pihak Sukhoi dan Pemerintahan Vladimir Putin
tidak segera memastikan sabab musabab dari kecelakaan yang merenggut nyawa 45 orang itu sebagai bentuk pertanggungjawaban
ke publik.
Dalam telaah
komunikasi bisnis, sikap tanggap pemerintah Rusia yang menawarkan bantuan dan
mengirim tim untuk bergabung dengan tim investigasi dari Indonesia, merupakan
langkah yang tepat menyelamatkan wajah industri pesawat komersil SSJ 100.
Selain menjaga relasi kedua negara, secara
bisnis juga menjadi semacam pelayanan purna jual kepada beberapa maskapai
di tanah air yang telah memesan SSJ 100.
Maka sangat disayangkan
ketika sebelumnya beredar kabar miring jika pesawat nahas tersebut jatuh bukan
karena kecelakaan, tapi by design yaitu dibajak. Sebagaimana ramai
diberitakan oleh berbagai media massa di Rusia, seperti Rusia Today dan RIA
Novosti.
Berita tersebut
hanya merupakan upaya cuci tangan karena kesimpulan dihembuskan sebelum adanya
investigasi dan bahkan sebelum puing-puing SSJ 100 ditemukan. Beruntung pihak
Kedutaan Besar Rusia di Jakarta cepat mengklarifikasi berita yang potensi
menimbulkan atmosfer panas di tengah duka itu.
Menantang PT. Dirgantara
Indonesia
Menurut informasi
dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementrian Perhubungan RI, pesawat SSJ 100 yang telah dipesan berjumlah
30 unit. Adapun maskapai yang memesan adalah Kartika Airlines, Pelita Air, Sky
Aviation, PT. Dirgantara Air Service, PT. Saban Merauke Air Service dan PT.
Merukh Ama Coal. Pesawat pesanan dari maskapai di Indonesia tersebut,
rencananya mulai dikirim pada 2013 mendatang.
Belakangan, kita memang
menyaksikan bandara-bandara di Indonesia
kian padat. Bahkan pada momentum tertentu seperi musim liburan anak sekolah
atau lebaran (mudik), bandara over crowded (penuh sesak). Potensi industri penerbangan di tanah air pun kian cerah. setiap tahun, menurut data dari DPR,
peningkatan penumpang pesawat mencapai angka 20 persen. Tak pelak, maskapai
dari negara tetangga seperti Malaysia juga ambil bagian.
Selain karena semakin
tingginya pendapatan masyarakat, fenomena low cost carrier atau tiket
pesawat dengan harga yang terjangkau menyebabkan sebagian pengguna moda transportasi
laut dan darat berpindah ke moda transportasi udara (Nani Anisah, dkk. : 2012)
Ini adalah peluang bagi semua sektor
yang berhubungan dengan industri penerbangan, termasuk oleh PT. Dirgantara
Indonesia yang pada masa lampau (bernama : Industri Pesawat Terbang Nusantara)
memiliki kejayaan memproduksi pesawat sendiri. Kita tentu ingin, BUMN yang satu
ini tak hanya memproduksi komponen-komponen di tengah peluang yang sangat besar
namun justru diambil alih oleh orang lain.
Potensi besar transprotasi
udara diprediksi akan semakin membaik seiring dengan dukungan pemerintah yang
terus membenahi infrastruktur penerbangan seperti pembangunan bandara baru atau
renovasi bandara lama. Pertumbuhan
ekonomi dan desentralisasi juga turut memacu daerah untuk berlomba dalam
membangun bandara udara baru.
Artinya pasar baru
untuk industri penerbangan, dari hulu seperti pembuatan pesawat hingga ke
hilir. Ini tantangan bagi PT. DI sebagai perusahaan plat merah. Harus bisa
memanfaatkan momentum untuk melipatgandakan kapasitas. Dari yang tadinya hanya
memproduksi komponen, menjadi memproduksi pesawat.
Soal kemampuan
sumber daya manusia, saya fikir Indonesia memiliki. Bukankah banyak warga
negara Indonesia yang bekerja pada industri pesawat luar negeri? Tak kurang
dari 100 insinyur Indonesia yang bekerja di Amerika, Eropa, Kanada dan Brasil.
Lebih dari 30 orang diantara “alumni IPTN” bahkan direkrut oleh Boeing raksasa industri pesawat di
Amerika, dengan jabatan yang cukup tinggi, seperti Senior Leader dan membawahi
puluhan insinyur penerbangan dari negara lain.
IPTN juga bahkan
pernah mendapat pesanan 120 pesawat Casa N-250 yang diproduksi tahun 1997.
Namun akhirnya pabrik burung besi itu harus ditutup atas instruksi
International Monetery Fund (IMF) yang kala itu memegang kendali ekonomi
Indonesia. Kini, potensi besar industri burung besi di depan mata, semoga PT.
DI segera mewujudkan impian kita bersama, kembali memproduksi pesawat.
“Dik, anda semua lihat sendiri, N250 bukan pesawat
asal-asalan dibikin! Pesawat itu sudah terbang tanpa mengalami ‘Dutch Roll’
(oleng berlebihan). Teknologi pesawat itu sangat canggih dan dipersiapkan untuk
30 tahun kedepan. Diperlukan waktu 5 tahun untuk melengkapi desain awal,
satu-satunya pesawat turboprop di dunia yang mempergunakan teknologi ‘Fly by
Wire’ bahkan sampai hari ini”.
Kutipan dari arsitek penerbangan
Indonesia, Profesor DR. Ing. BJ. Habibie yang disampaikan di Bandara Soekarno
Hatta pada 12 Januari 2012 lalu itu, sepantasnya
menjadi refleksi kita semua. Utamanya para pengambil kebijakan.
Keterangan
Tentang Penulis :