29.5.12
Mesir Baru Pascapilpres Bersejarah
Menarik mengikuti
perkembangan terkini pemilihan presiden di negeri Piramida, Mesir. Pilpres yang
digelar pada 23-24 Mei itu merupakan Pilpres bersejarah. Untuk pertama kali,
rakyat Mesir memilih pemimpin mereka pasca jatuhnya rezim diktator Husni
Mubarak akibat amuk badai Arab Spring (revolusi) pada sepanjang
Januari-Februari tahun 2011. Mesir memasuki babak baru dalam perpolitikannya.
Pilpres menjadi tahap akhir dalam masa transisi menuju negara demokrasi.
Pilpres Dua Kutub
Hasil perolehan suara
sementara memperlihatkan jika pilpres Mesir akan berlangsung dua putaran. Dari
13 calon yang bertarung, dua teratas akan masuk ke putaran kedua. Pilpres
putaran pertama didominasi oleh calon dari partai Islam, Al Hurriyah wa Al Adalah atau Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) yang berafiliasi
ke Ikhwanul Muslimin. FJP mengusung Mohammed Mursi yang merupakan salah seorang
petinggi Ikhwan.
Seperti dilansir Al Jazeera,
Mursi memperoleh 24,8 persen suara dan dibuntuti oleh Ahmed Shafiq dengan hasil
perolehan 23,7persen. Shafiq merupakan calon dari bekas rezim Mubarak. Terakhir,
Shafiq menjabat sebagai Perdana Menteri yang ditunjuk langsung oleh Mubarak.
Terjadi dua kutub kekhawatiran melihat
hasil pilpres putaran kedua ini. Pertama, pejuang revolusi dari kelompok
Islamis yang telah mendominasi pemilihan anggota parlemen dengan jumlah suara
61 persen (gabungan dari partai Islam FJP 36,6 persen dan Partai Al Nur Salafi
24,4 persen), khawatir jika kemudian Shafiq yang merupakan sisa rezim Mubarak
memenangi Pilpres. Hal itu akan berdampak bagi masa depan demokrasi yang mereka
perjuangkan melalui revolusi. Karena Safiq bekas orang Mubarak. Sehingga jika
dia terpilih menjadi presiden, sia-sialah demorkasi yang diperjuangkan. Sama
saja jika demokrasi tersandera pada pemimpin pro status quo.
Kedua, kelompok sekuler-liberal juga
pasti was-was. Jika Mursi terpilih menjadi Presiden maka Mesir disetting
menjadi negara Islam yang dalam imajinasi mereka, Mesir tak ubahnya Arab Saudi
yang mengkooptasi kebebasan dengan alibi syariat Islam. Walaupun beberapa kali
Ikhwan mengatakan jika mereka menjamin keberagaman dan kebebasan. Namun
kekhawatiran yang ditiupkan kelompok sekuler juga mendapat dukungan Barat,
utamanya Amerika dan Israel yang memiliki kepentingan besar dalam arah politik
luar negeri Mesir.
Oleh karena itu pada putaran kedua
nanti, pilpres Mesir akan berlangsung panas. Dua kepentingan akan bertarung vis
a vis. Bagi kelompok Islamis, pertarungan itu sebenarnya medan uji bagi
eksistensi dakwah, transformasi gerakan Islam menjadi negara. Gerakan Islam
yang mencita-citakan pemerintahan Islam di Mesir, bermula sejak tahun 1928
seiring berdirinya Ikhwanul Muslimin oleh Hasan Al Banna. Melampaui dua
pemerintahan represif yaitu Gamal Abdul Naser dan Husni Mubarak, kematangan
gerakan Ikhwan memang semakin terbentuk. Turbulensi gerakan sepanjang 84 tahun membuat
soliditas Ikhwan semakin kuat sehingga pada momentum pilpres ini, Ikhwan
bertaruh integritas gerakan sekaligus menjawab tudingan barat yang sering
mendiskreditkan bahwa gerakan Ikhwan merupakan ancaman bagi demokrasi.
Lain Ikhwan, lain pula Barat. Bagi
Amerika yang menganakemaskan Israel, mendukung capres sekuler merupakan
keniscayaan. Capres yang dianggap bisa diajak berkompromi. Patut dicatat, bahwa
Mesir merupakan negara strategis dalam mengatur ritme pengaruh Amerika di
kawasan Timur Tengah dan dunia Islam. Secara politik, Mesir dimasa Mubarak
adalah boneka yang dengan mudah diarahkan sesuai dengan kepentingan mereka.
Terbukti dengan ketundukan Mubarak pada Israel yang merupakan anak emas Amerika
di Timur Tengah.
Potensi Besar
Pada sektor ekonomi, Amerika dan Barat
secara umum berkepentingan dengan suplai energi Mesir yang berperan menggerakkan
industri Amerika Cs. Tak hanya itu, Terusan Zues yang merupakan akses
perdagangan internasional ke Eropa, Afrika dan Arab adalah kawasan strategis
bagi nyawa perdagangan luar negeri Amerika. Bayangan- bayangan inilah yang kemudian
membuat Amerika gusar membaca bola liar politik Mesir. Apakah sesuai ekspektasi
atau justru seperti ketakutan mereka. Barat yang saat ini sedang meradang
karena krisis, tentu tak ingin kehilangan potensi ekonomi di Timur Tengah yang
selama ini turut berpean besar membuat dapur mereka mengepul.
Goldman Sach, Bank yang berbasis di
Amerika pernah melansir bahwa Mesir pada tahun 2050 merupakan salah satu
kekuatan ekonomi baru dunia bersama Indonesia, Korea Selatan, Filipina dan
beberapa negara lainnya. Prediksi itu disimpulkan dari PDB Mesir yang tinggi,
pembangunan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi yang masif serta
populasi yang besar ditunjang oleh lapisan demografi produktif.
Karena berbagai potensi besar yang
mereka miliki, rakyat Mesir penting kiranya merefleksikan fatwa Ekonom Amerika, Joseph Schumpeter
(1883-1950). Bahwa matinya suatu ideologi atau sistem bukan jaminan akan
munculnya sistem yang lebih baik. Kadang kala, sistem yang baru justru menjadi
pupuk bagi reinkarnasi sistem lama sehingga melahirkan rezim serupa.
Dalam konteks pemilihan
presiden Mesir, fatwa Schumpeter menjadi peringatan bagi generasi baru di
negeri Fir’aun itu. Jangan sampai pilpres hanya menjadi luapan euforia
kebebasan tanpa arah. Melahirkan rezim baru yang tak berbeda dengan Mubarak,
sama-sama tidak pro perubahan. Sama-sama berjiwa Fir’aun. Pasca pilpres putaran
kedua, 16-17 Juni mendatang, semua teka-teki itu terjawab. Semoga saja Mesir
tidak salah arah.